CakNun.com

KiaiKanjeng dan Filosofi Jawa

Yayi Yahya
Waktu baca ± 6 menit

Lho lho lho…, lagu Barat kok dibawakan dengan gamelan??? Unik banget nih…!” Itulah reaksi pertama saya saat melihat video musik Kiai Kanjeng mengiringi lagu lawas era 90s, Nothing Compares To You-nya Sinead O’Connor. “Oalah… Ini tho yang namanya KiaiKanjeng…”, batin saya saat itu. Alat musik saron, bonang, kendhang, seruling yang berasal dari kebudayaan Jawa melebur begitu luwesnya dengan gitar, bass, biola, keyboard, rebana, ketipung, conga, drum di setiap aksi KiaiKanjeng. Musik kontemporer tanpa malu-malu bersenandung ria bersama musik tradisional. Hasilnya? Terdengar asing di telinga namun rasa ini sangat menikmatinya.

Pikiran saya pun berkata, sebuah fenomena! Bagaimana tidak, dari segi teknis, memadupadankan alat musik tradisional dengan alat musik modern saja memerlukan keahlian tersendiri, belum lagi susunan nada saron dan bonang KiaiKanjeng yang berbeda dengan susunan gamelan biasa. Entah bagaimana komposer KiaiKanjeng dan para personelnya dalam meramu komposisi nada gamelan mereka, efek yang dihasilkan pada lagu yang mereka mainkan terdengar berbeda dengan efek lazimnya gamelan non-KiaiKanjeng dimainkan.

Dalam video yang saya tonton, tampak reaksi jamaah seperti menemukan oase baru dengan tata cara bermusik yang unik tersebut. Saya pernah mendengar kabar bahwa KiaiKanjeng sering diundang berpentas hingga ke luar negeri. Pantas saja… Rasa bangga pun timbul di hati akan karya anak negeri.

Belum lagi upaya KiaiKanjeng menyesuaikan musik mereka dengan latar belakang jamaah yang hadir, apakah itu jamaah di desa, di kota kecil, kota besar, hingga di luar negeri. Lagu rock, lagu slow rock, lagu pop, lagu dangdut, lagu jazz, sholawatan, wirid, musikalitas puisi silih berganti disajikan di meja hidangan namun tetap dengan bumbu dasar yang sama, yakni selalu kembali kepada orisinalitas kesenian Nusantara, cita rasa Jawa khususnya.

Kalau Panjenengan mau mendengar lagu Bruno Mars dibawakan dalam Bahasa Inggris gaya sinden disambung dengan Bahasa Jawa, iringannya jazz plus gamelan, KiaiKanjenglah yang harus dicari. Bukti sahih bahwa KiaiKanjeng sangat andal dalam memenuhi hasrat jamaahnya dan jati diri bangsa Jawa tetap exist.

Fleksibilitas KiaiKanjeng tersebut mengingatkan saya akan filosofi orang Jawa; Wong Jowo iku gampang ditekuk-tekuk, mudah bergaul, tidak membedakan ras, golongan dan lain sebagainya. Pertanyaan yang kemudian muncul di benak saya; tidak mudah mempersiapkan pementasan musik seperti itu, tidak hanya bagi yang didatangkan, namun bagi yang mendatangkannya juga, pengundang haruslah detail memahami spesifikasi apa yang dibutuhkan untuk pementasan KiaiKanjeng.

Orkestra bukan, grup band pun bukan, campursari nemen-nemen ya tidak juga. Pada salah satu video pementasan KiaiKanjeng yang pernah saya lihat, ukuran panggung tidak besar, bahkan dikelilingi oleh rumah penduduk yang cukup rapat. Apresiasi saya kepada KiaiKanjeng dan tuan rumah yang mengundang, luar biasa antusiasme mereka untuk saling melebur dengan segala keterbatasan yang ada. Di era kebarat-baratan seperti sekarang ini, semangat khalayak untuk hanyut dalam kesenian tradisional itu ternyata masih ada.

Tentu tidaklah mudah me-manage personel KiaiKanjeng dengan spesialisasi alat musik yang sedemikian beragam menjadi sebuah fenomena yang di satu sisi layak dinikmati sebagai karya seni dan hiburan, di sisi lain berperan sebagai media komunikasi yang menyertai jamaah dan khalayak dalam proses Maiyahan.

Alat musik elektrik dan akustik tentu berbeda, ego masing-masing kepala juga harus dihilangkan agar mampu melangkah dalam sebuah aransemen dengan tujuan yang sama. Bagaimana me-maintain kekuatan energi masing-masing personel KiaiKanjeng juga merupakan tantangan.

Contoh, bagaimana daya dukung fisik mereka untuk berpindah-pindah pementasan dari satu kota ke kota lain dalam jadwal yang padat? Kemudian masing-masing tempat pementasan pun memiliki latar belakang sosial yang beragam. Kemampuan ekonomi masyarakat desa, kota kecil, kota besar, hingga luar negeri tentunya tidak sama, sehingga bagaimana dengan nafkah lahir mereka yang mana personel laki-laki lazimnya adalah seorang kepala keluarga?

Duh, duh, duh….disinilah rupanya cerminan nilai keikhlasan yang dipelihara KiaiKanjeng. Keikhlasan dalam melayani khalayak desa hingga luar negeri untuk bermaiyahan. Filosofi bangsa Jawa; Ojo gumunan, ojo kagetan, ojo getunan, lan ojo aleman yang bermakna jangan mudah terheran-heran, jangan mudah terkejut, jangan mudah menyesal dan jangan mudah putus asa, tampak sukses menyelinap dengan tenangnya dalam keikhlasan yang konsisten terpelihara tersebut.

Tak seberapa perjuangan itu dibandingkan dengan berusaha mendekatkan diri kepada-Nya. Untuk ukuran grup kesenian yang kerap pentas di luar negeri, antara lain atas undangan Duta Besar, personilnya pun tetap sederhana dan tidak ada kesan mencari popularitas. Ojo Adigang, Adigung, Adiguna, filosofi bangsa Jawa yang bermakna jangan merasa diri yang paling benar, berkuasa dan paling sakti. Memang, hidup itu harus dijalankan dengan segala kerendahan hati. KiaiKanjeng adalah contoh panutan untuk filosofi tersebut.

Mbah Nun, sosok terdepan KiaiKanjeng, bisa disebut juga ikon KiaiKanjeng, dengan penuh kebijaksanaan menangkap seluruh dinamika itu dan beliau dengan penuh kasih sayang mengkolaborasikan KiaiKanjeng dengan Maiyah, begitu pula sebaliknya. Bagaimana mengajak masyarakat untuk memperkaya ilmu dan menerapkan kebijaksanaan dalam cara pandang dan budi pekerti, segala hal ini bukanlah persoalan mudah.

Seluruh upaya menyatu dengan Ilahi tersebut haruslah dilakukan dengan kekhusyukan plus kegembiraan, sehingga semangat untuk menyatu tidak akan pernah padam. Musikalitas merupakan upaya untuk menghasilkan kedua nuansa tersebut. Musikalitas yang layak dinikmati hanya dapat dicapai dengan rasa. Rasa berkasih sayang untuk menghasilkan karya yang bermanfaat bagi sesama. Filosofi bangsa Jawa Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti, yang bermakna segala sifat keras hati, picik, angkara murka hanya bisa dikalahkan dengan sifat bijak, lembut hati dan sabar diwujudkan dalam harmonisasi KiaiKanjeng dan Maiyah.

Lalu, bagaimana reaksi jamaah terhadap kehadiran KiaiKanjeng? Take and Give! Bukan sekedar AMKM, Anda Meminta Kami Memutar ala salah satu radio ternama yah…(pembaca dilarang tersenyum…). Maka yang timbul kemudian KiaiKanjeng dan jamaah saling bersinergi, suasana guyub pun tercipta selama Maiyahan berlangsung, jamaah seolah dituntun untuk kembali kepada jati dirinya di tengah keriaan, bukankah keguyuban saat sinau bareng adalah rasa yang selalu kita semua dambakan?

Ibarat filosofi bangsa Jawa, Mangan ora mangan sing penting kumpul. Disinilah arti penting KiaiKanjeng, tidak hanya sebagai grup musik, grup kesenian belaka, bahkan lebih dari “sekadar” bapak mentornya grup musik Letto yang sangat kondang itu. Namun sebagai media komunikasi sosial budaya masyarakat dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Seperti yang Mbah Nun selalu katakan, bersedekahlah untuk Indonesia.

Memayu Hayuning Bawono, Ambrasta Dur Hangkoro, filosofi bangsa Jawa yang bermakna manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan, serta memberantas sifat angkara murka dan tamak. Melalui musik saja, Mbah Nun dan KiaiKanjeng sepertinya sudah banyak beramal ibadah untuk bekal mereka di akhirat, lantas bagaimana dengan saya? Raga ini terdiam, akal hanya mampu termangu-mangu, tak mampu menjawab tanya sang kalbu.

Peran KiaiKanjeng yang sedemikian melebur dengan masyarakat seolah-olah meniadakan dirinya, mengingatkan Penulis akan bagaimana kiprah Wali Songo saat melakukan syiar Islam pada bangsa Jawa, begitu bijaksana beliau-beliau menyikapi perbedaan yang ada.

Wali Songo memahami bahwa jati diri bangsa Jawa adalah pluralitas. Konsep Bhinneka Tunggal Ika pun diaplikasikan dengan baik dalam gerak langkah Wali Songo. Konsep Islam rahmatan lil alamin yang diterapkan secara partisipatif dalam proses asimilasi kebudayaan Islam dan Hindu-Budha, merupakan kunci keberhasilan syiar Islam Wali Songo, terutama oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang.

Ngluruk tanpo bolo, menang tanpo ngasorake, sakti tanpa aji-aji, sugih tanpo bondho, filosofi bangsa Jawa yang bermakna menyerang tanpa bala tentara, menang tanpa merendahkan, sakti tanpa ajian, merasa kaya tanpa banyak harta pun berbalik melebur pada akal dan nurani Wali Songo.

Hasilnya? dengan keindahan Gusti Allah Swt menyatu dengan hamba-hambaNya di tanah Jawa hingga ke menyebar ke pelosok Nusantara. Akan bagaimana nilai-nilai Islam membangun peradaban di negeri timur, dalam hal ini sejarah bertutur kepada dunia tanpa cela. Entah KiaiKanjeng bermaksud melakukan syiar Islam atau tidak, hemat saya dengan menikmai karya-karya KiaiKanjeng, seseorang dapat jatuh hati mempelajari dan meyakini Islam.

Lir-Ilir, adalah lagu karya Sunan Kalijaga yang diaransemen ulang oleh KiaiKanjeng, termasuk lagi favorit jamaah Maiyah. Jamaah seringkali me-request lagu ini. Lagu Lir-Ilir yang dibawakan KiaiKanjeng mampu menimbulkan mood swing jamaah. Bernyanyi sambil berdoa. Efek nyata mood swing ala KiaiKanjeng. Di satu sisi bergembira, di satu sisi memohon, bermunajat kepada Gusti Allah SWT. Jamaah mengaminkan doa yang dimohonkan Mbah Nun diiringi irama gamelan KiaiKanjeng.

Bukan maksud memuji, namun baru kali ini saya menemukan hal yang demikian. Mood swing yang saya rasakan, membuat saya kemudian sibuk mencari tau apa makna dari lagu Lir-ilir. Setelah menemukannya, ternyata cocok sekali dengan konsep Maiyah. Lir-Ilir kurang lebih bermakna, sebagai umat Islam, kita harus sadar, kemudian bangun dari keterpurukan, bangun dari sifat malas dan lebih mempertebal keimanan yang telah ditetapkan oleh Gusti Allah Swt.

Saya pun termangu-mangu kembali. Pantas saja aransemen ulangnya bagaikan orkestra ala Andrea Bocelli dan Sarah Brightman, para penyanyi sopran (opera) kelas dunia, lha wong misi lagunya begitu dalam. Matur sembah nuwun Kanjeng Sunan Kalijaga, dan KiaiKanjeng.

Melalui KiaiKanjeng, saya memahami bahwa musik adalah salah satu anugerah Gusti Allah Swt yang mencerminkan betapa indah nian menyatu denganNya. Hal ini selaras dengan ajaran Mbah Nun kepada jamaah dan khalayak selama ini, bahwa puncak dari keimanan dan ketaqwaan adalah keindahan.

Para founding fathers KiaiKanjeng dan seluruh personilnya sukses merepresentasikan keindahan tersebut dalam karya mereka. Setiap lantunan nada, getaran suara hasil aransemen ulang lagu Hasbunallah, Ilir-ilir, sampai Heal the World-nya Michael Jackson, dari sholawatan, wirid sampai musikalisasi puisi, seolah menuntun jiwa-jiwa yang haus menggapai ridha Tuhannya.

Wajah-wajah di sekeliling panggung Maiyah yang terlihat lelah akibat tempaan hidup, berganti menjadi wajah-wajah yang tenang bercampur sumringah, larut dalam bersenandung bersama. Kedamaian, ketenteraman nampaknya tak sekadar mampir, namun telah merembes ke dalam kalbu setiap insan.

Bagaimana kesenian berperan dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, bagaimana gamelan dengan segala filosofi bangsa Jawa yang menyertainya menjadikan kita kaya, disinilah arti penting KiaiKanjeng. Urip iku urup, filosofi bangsa Jawa yang bermakna hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi orang di sekitar kita, jangan sampai menyesatkan masyarakat kita, telah diimplementasikan oleh KiaiKanjeng dengan. Begitu indahnya.

Lainnya

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

Sejak jum’at siang (8/5) KiaiKanjeng sudah berada di Jakarta untuk malamnya menghadiri Kenduri Cinta, setelah menjalani rangkaian Maiyahan di Jawa Timur, mulai tanggal 4 Mei 2015 di Universitas Airlangga Surabaya, kemudian 5 Mei 2015 di Universitas PGRI Adibuana Surabaya, dilanjutkan tanggal 6 Mei-nya di Sidoarjo.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta

Topik