Ki Seno Nugroho Penyambung Lidah Masyarakat
Sosok dalang kondang ini punya satu hal yang tak dimiliki dalang sepuh lain. Di antaranya mengakrabkan wayang ke semua kalangan. Bahkan jamak generasi kiwari kali pertama menggandrungi wayang berkat Ki Seno. Itu pun lewat saluran resmi Dalang Seno di YouTube miliknya. Menonton wayang semalam suntuk terasa tak mengundang kantuk bila dinikmati di balik layar komputer sambil rebahan.
“Saya kira Mas Seno punya sumbangan yang luar biasa,” ungkap Yai Tohar, “dari jagat batin wayang yang dia bawakan karena juga bisa dikreatifi sehingga menjadi pembelajaran.” Senada dengan Cak Nun, Yai Tohar bersepakat agar generasi berikutnya melakukan studi tentang Ki Seno sebagai dalang.
Menurutnya, dalang lintas generasi ini mempunyai metodologi tertentu yang membuat wayang makin dicintai masyarakat luas. Yai Tohar menuturkan bahwa penyambuh lidah masyarakat itu bukan hanya Bung Karno, melainkan juga Ki Seno Nugroho.
Pendekatan komunikasi yang Ki Seno bawakan sangat membumi. Biasanya orang mengernyitkan dahi tanda tak memahami alur cerita wayang karena memakai bahasa Jawa halus, namun di tangan kreatifnya penokohan wayang ia langgamkan secara populer.
Bahasa “gado-gado” acap ia pakai agar audiens mengerti sekaligus terhibur. Banyolannya sangat khas. Ketika orang mendengar sontak langsung mengenalinya: Ki Seno! Namanya juga menjadi sebuah penanda, yang sekarang melekat dengan predikat dalang carangan. Walaupun pakem pewayangan tetap ia pertahankan, namun bukan satu-satunya sumber baku.
Tak berbatasnya garis batas pakem dan carangan dalam dunia pewayangan inilah yang membuat Ki Seno lekas naik daun di YouTube. Segmen warganet yang menonton pagelarannya lintas teritori. Dari desa-kota hingga domestik-mancanegara menjadi kabur batas pemisahnya. Mereka sama-sama terhubung ke dalam satu frekuensi kegemaran menonton wayang.
Selalu Kritis dan Rendah Hati
Tanpa tekad dan ketekunan, menjadi dalang nampak mustahil. Adik kandung Mas Bayu Kuncoro, salah satu personil KiaiKanjeng, ini dinilai Cak Nun, “Sinaune apik, mempeng, gampang bebrayan.” Ki Manteb Sudarsono salah satu saksinya.
Ia menyaksikan betapa mendiang selama prosesnya menjadi dalang sangat rajin belajar dan bertanya. “Bahkan dia tidak pernah puas dengan jawaban yang saya berikan. Selalu bertanya dan menggali,” kenang Ki Manteb.
Kepada Ki Manteb, Ki Seno pernah bertanya apa itu sangkan paraning dumadi (dari mana akan ke mana). “Dari falsafah Jawa itu dia terus menggali pertanyaan kepada saya. Mengapa hidup, mengapa harus urip ,sampai pungkasan e urip kepiye,” ujarnya. Ia menjawab dengan lugas bahwa hidup itu bertujuan untuk kembali kepada Yang Maha.
Sikap tak pernah puas terhadap jawaban yang tunggal itu mendorong Ki Seno giat berlatih dan berdialog dengan para sesepuh dalang lainnya. Karakternya yang terbuka dan mudah bergaul membuat Ki Seno dihormati jamak orang. “Banyak yang belum tahu kalau weton dia Rabu Wage dan meninggalnya juga Rabu Wage. Saya yakin khusnul khatimah,” tegas Ki manteb.
Cak Nun punya pendapat berbeda. Ki Seno itu bukan lagi khusnul khatimah, apalagi su’ul khatimah. Ia sudah khusnul khayat. “Ada beda antara semua itu. Kalau khusnul khatimah itu akhir hayatnya yang baik. Sedangkan yang satunya sebaliknya. Nah, Ki Seno ini memang dari awal sampai akhir baik. Selama hidupnya memang sudah baik,” responsnya.
Meninggalkan Ilmu, Mewasiatkan Karya
Melengkapi pendapat Cak Nun, Gusti Yudaningrat menggambarkan rekam jejak Ki Seno dalam filsafat Jawa. Selama hidup Ki Seno dianggap telah melakoni cecikal bebakal tetinggal. Cecikal merupakan awalan hidup dan tumbuh dengan baik. Seperti pernikahan sebagai sebuah fase pertama, seorang kepala keluarga harus memberikan contoh terbaik selama membina anak dan istri. “Saat itu kita harus belajar prihatin pula,” ucapnya.
Lain halnya dengan bebakal (hidup berkembang dengan baik). Tumbuh-kembangnya sang anak harus dibarengi dengan proses pendidikan. Fase ini peran ilmu sangat penting. Ilmu membuat anak semakin matang. Kematangan pribadinya itu lalu diuji melalui pemberian tanggung jawab. Anak akan belajar banyak dari kesempatan selama berproses.
Berikutnya baru tetinggal. Gusti Yudaningrat mengartikannya sebagai sebelum orang meninggal ia harus meninggalkan sesuatu. Baik berupa ilmu, harta, maupun bentuk bermanfaat lainnya. “Dan Ki Seno saya kira sudah melewati itu semua. Soal peninggalan yang sudah ada tinggal diteruskan dan dijadikan bahan belajar buat kita semua,” jelasnya.
Seperti peribahasa “gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama” malam peringatan tujuh hari Ki Seno itu tiap orang saling mewariskan banyak hal. Selain memberikan nama tambahan kepada anak Ki Seno, Ki Manteb juga memberikan ananda tiga wayang: Gathotkaca, Janaka, dan Cakil. “Iki kenang-kenangan dari simbah. Di sini juga tertulis 1552. Tahun lahirnya Cakil,” katanya seraya menunjuk angka di tubuh wayang tersebut.
Ki Manteb membuka diri kepada Gading Pawukir Seno Saputro agar belajar wayang ke rumahnya. “Saya dulu ngandhani bapakmu juga begitu. Mau belajar wayang yang bagaimana. Sampai suluk seperti apa. Yang penting belajar, rezeki akan mengikuti,” imbuhnya. Ia juga berpesan, seperti nasihatnya dahulu kepada Ki Seno, kalau letih wajib istirahat. “Kesehatan harus menjadi pertimbangan utama.”
Malam itu orang saling meneladani rekam jejak Ki Seno. Cak Nun sendiri berpesan supaya keluarga dan masyarakat terus mengirimi Ki Seno doa. “Di Islam ada kata wasilah. Itu artinya medium atau jalur agar Allah menerima. Mas Seno ini sudah punya wasilah. Sering-sering kita membatin beliau dan mengirimi Mas Seno Al-Fatihah,” pungkasnya.