Ketua RT Sebagai “Pauwan”
Tulisan ini mencoba merefleksikan dan menghikmahi Tetes dari Romo Iman Budhi Santosa “Lubang Sampah” serta Tetes Mbah Nun “Pauwan”.
Alhamdulillah sebagai wong desa, saya tahu apa yang disebut Pauwan sebagaimana ditulis Mbah Nun. Pauwan atau lubang sampah adalah jogangan tanah yang digali dengan kedalaman rata-rata 1 hingga 3 meter, dan biasanya berbentuk kotak atau persegi. Pauwan berfungsi sebagai tempat “pembuangan” sampah. Lokasi ideal Pauwan adalah di bagian belakang rumah atau area kebon.
Sampah yang “dibuang” ke Pauwan beraneka ragam. Mulai dari daun-daun kering, sampah plastik, sisa makanan, botol bekas, kertas, koran, telék pitik, dan lain-lain. Pauwan menjadi terminal akhir bagi segala benda atau barang yang dianggap “tak lagi berguna”.
***
Belum lama ini, di dusun tempat saya tinggal baru saja diadakan sidang pemilihan ketua RT. Dulu, dulu sekali, jabatan sebagai ketua RT sama sekali tidak menarik. Dilirik pun tidak. Sebab tugas dan tanggung jawabnya berat, tapi apresiasinya tak sepadan.
Ketua RT ialah sarang aduan. Ada kasus apa saja lapornya ke Pak RT. Ada orang mau punya hajat lapor ke Pak RT. Ada warga yang sakit lapor ke Pak RT. Ada orang kesripahan lapor ke pak RT juga. Ada tetangga yang sering cekcok dilaporin ke Pak RT. Mau ngadain kerja bakti izin dulu ke Pak RT. Dan entah urusan atau kepentingan apalagi yang semuanya mesti disampaikan kepada Pak RT sebagai tetua pemangku desa.
Zaman dulu menjadi ketua RT tidaklah dibayar dan tidak digaji. Sepeser pun tidak. Menjadi ketua RT merupakan dedikasi serta pengabdian total kepada masyarakat. Tanpa embel-embel apapun. Maka, sungguh hanya pribadi yang jembar segarané yang saguh — sanggup memikul beban berat sebagai ketua RT.
***
Kue bolu kue keranjang. Lain dulu lain sekarang. Profesi ketua RT kini jadi rebutan. Apa alasannya? Satu di antaranya, uang! Ya, di era modern ini seorang ketua RT mendapatkan gaji bulanan. Persis seperti pegawai kantoran, perangkat desa, atau Aparatur Sipil Negara (ASN).
Tak heran, jika dalam acara pemilihan ketua RT di desa saya kemarin, ada orang yang berani mencalonkan dirinya sendiri. Bukan dicalonkan tapi mencalonkan. Patrap dan maqom ketua RT agaknya kini telah bergeser. Menjadi ketua RT tidak semata dalam rangka pengabdian, melainkan ada motif lain yakni mencari penghasilan (uang). Apakah itu salah? Tendensinya bukan salah atau benar. Tetapi hal tersebut lebih menyangkut kadar kebijaksanaan dan kedewasaan.
Mbah Nun pernah berpesan, uang bukanlah tujuan. Uang hanyalah efek dari suatu pekerjaan yang kita lakukan. Yang terpenting adalah bekerja sebaik-baiknya, dan seoptimal mungkin. Nanti uang (rezeki) akan mengikuti. Prinsip tersebut berlaku pada jenis pekerjaan apapun. Termasuk menjadi ketua RT.
***
Singkat cerita, terpilihlah satu nama yang menjadi ketua RT baru melalui jalur voting. Usai terpilihnya Mas Sudi sebagai ketua RT itu, Pak Bayan (yang kalau bahasa Arab artinya pandai berbicara. Ar Rahman ayat 4) pun menyampaikan sedikit wejangan.
“Mas Sudi, dados ketua RT niku ibarate koyo Pauwan?”
“Sampeyan wis siap dadi Pauwan?”
“Pauwan niku tegesé dos pundi pak Bayan?”, seseorang menyela bertanya.
“Jenengé Pauwan kuwi meh diguwangi sampah, utawa regetan opo wae yo ditompo.”
“Dadi nek wis dadi ketua RT, segala uneg-uneg warga kudu sampeyan terima. Mbuh apik, mbuh elek ditompo. Ampun ditolak!”
“Syukur-syukur, opo sing elek soko warga iso sampeyan olah ben metune dadi apik. (Syukur-syukur, apa yang jelek dari warga bisa Anda olah agar outputnya jadi baik),” pungkas pak Bayan.
***
Apa yang diamanatkan pak Bayan kepada pak RT, selaras dengan yang ditekankan oleh Mbah Nun pada Tetes “Pauwan”. Bahwa “Pauwan” merupakan impresi dari sikap rendah hati khas wong cilik Jawa. Atau “kawicaksanan” bahwa Pauwan adalah kerelaan sosial untuk ikhlas menampung yang kotor-kotor sehingga berfungsi menjadi alat menjaga kebersihan. Relevan dengan ngendikan Romo Iman, bahwa setiap orang apalagi seorang pemimpin mesti mengutamakan sikap tepa slira.
Demikian pula menjadi ketua RT. Seyogianya mengerti dan memiliki kesadaran jiwa “Pauwan”. Siap menerima, menampung, dan mengolah “sampah” atau “limbah” menjadi “buah” yang segar lagi mengenakkan.
***
“Kalau ketua RT saja mesti siap menjadi “Pauwan”, lha terus kalau seorang lurah, camat, bupati, walikota, gubernur, atau presiden kudu siap jadi apa?”, seseorang bertanya.
“Ya mesti siap menjadi ‘Segara Pauwan!’”, tegas Pak Bayan.
Gemolong, 8-8-2020