Ketinggian Allah
Al-‘aliyyu, al-a’laa, dan Al-Muta’al berasal dari akar kata yang sama, yaitu ‘alaa-ya’luu, yang artinya tinggi. ‘Alaa-ya’luu kemudian ‘aalin. Kata ‘aalin ini kalau ditambah alif-lam (al) menjadi al-‘aalii, dari sini kemudian juga ‘aliyyun, al-‘aliyyu. Artinya adalah tinggi, mulia, Maha Tinggi, Maha Mulia.
Kemudian dari al-‘alii ini lahir al-a’laa, paling tinggi, yang tertinggi. Kemudian, kalau al-muta’alii itu dari kata ta’alaa — yata’alaa — muta’alun — al-muta’ali. Artinya, Maha Tinggi, Maha Unggul. Jadi, pada dasarnya ketiga nama dan ketiga sifat mulia ini mempunyai makna yang sama.
Berdasarkan beberapa penyebutan ketiga asma Allah tersebut dalam Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah: 255, QS. Al-Hajj: 62, QS: Asyura: 51, QS. An-Nisa’: 34), ketinggian Allah itu mencakup beberapa aspek.
Yang pertama adalah ‘uluwudz dzat, ketinggian dzat Allah. Allah bersemayam di atas singgasana (arasy) yang agung dan mulia. Simbol ketinggian yang tidak merujuk kepada tempat karena Allah terbebas dari tempat dan waktu. Dengan ketinggian-Nya ini, Allah bisa mengatur dan menguasai semua makhluk ciptaan-Nya.
Yang kedua adalah ‘uluwwush shifati wal ‘adzamah, ketinggian sifat dan keagungan. Tidak ada sifat makhluk yang dapat menyamai sifat Allah dalam keagungannya. Ilmu manusia tidak cukup bisa memahami dan mendeskripsikan satu saja dari sifat-sifat Allah.
Yang ketiga adalah ‘uluwwul qahri wal ghalabah, keunggulan memaksa dan mengalahkan. Artinya kehendak Allah itu mutlak atas semua makhluk-Nya. Apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi, yang tidak dikehendaki tidak akan terjadi. Andaikata seluruh makhluk bersepakat untuk mewujudkan sesuatu yang tidak dikehendaki oleh Allah atau menggagalkan kehendak Allah, maka hal itu tidak akan terjadi.