Ketepatan Teknologi bagi Manusia
“Teknologi seharusnya menghamba pada manusia, bukan manusia yang menghamba pada teknologi,” kurang lebih demikian diungkapkan Mas Sabrang dalam video yang baru dirilis channel Youtube caknun.com.
Beberapa waktu yang lalu, saya menonton The Social Dilemma. Sebuah film dokumenter mengenai media sosial, menghadirkan narasumber orang-orang yang berada di belakang layar platform-platform media sosial yang kita gunakan saat ini. Film yang tidak mudah dicerna, dan pasti sangat membosankan jika tujuan kita menonton film ini dalam rangka mencari hiburan.
Artificial Intelligence, atau disebut sebagai kecerdasan buatan adalah produk manusia yang sayangnya saat ini justru mengancam manusia sendiri. Kecerdasan buatan di media sosial saat ini justru tidak bisa dikendalikan oleh manusia. Algoritma media sosial hanya mengetahui kebiasaan yang dilakukan oleh pengguna melalui gadget yang digunakan. Aktivitas pengguna direkam secara otomatis, kemudian datanya diolah oleh mesin, yang kemudian digunakan untuk mempengaruhi pengguna itu sendiri.
Jangan heran ketika kita membicarakan sesuatu, bahkan tanpa menuliskannya di mesin pencari Google, tetapi ketika kita membuka media sosial justru disajikan informasi mengenai sesuatu yang kita bicarakan. Memang sudah sedemikian canggih teknologi hari ini. Dan tanpa sadar, sebagian dari kita sudah menjadi budak algoritma media sosial. Dan algoritma tersebut di setiap platform media sosial sangat berbeda tipikalnya. Kecuali platform yang dinaungi oleh satu perusahaan yang sama, seperti Facebook dan Instagram misalnya. Algoritmanya tentu mirip, bahkan mungkin sama persis.
Data dari We are social yang dirilis pada bulan Januari 2020 menunjukkan bahwa durasi rata-rata masyarakat di Indonesia mengakses internet hampir 8 jam per hari. Nyaris sepertiga dari 24 jam dalam satu hari. Memang tidak semua masyarakat di Indonesia mengakses internet. Hanya sekitar 175 juta penduduk di Indonesia yang saat ini mengakses internet secara rutin. Pernahkah kita menghitung berapa lama kita melakukan interaksi di dunia maya dalam sehari?
Ketika berbicara media sosial hari ini, kita akrab dengan istilah; viral, like, share, subscribe, comment, dan lain sebagainya. Semua istilah itu menjadi acuan umum ketika kita bersentuhan dengan media sosial. Di satu sisi, parameter tersebut mempermudah kita untuk mengetahui informasi terkini yang sedang menjadi pembicaraan. Secara real time kita mampu dengan cepat mengetahui informasi yang sedang ramai dibicarakan khalayak.
Yang terjadi saat ini, ketika kita mengunggah sesuatu di media sosial, yang kita tunggu adalah notifikasi dari platform yang kita gunakan. Adakah yang me-like? Adakah yang menuliskan komentar? Adakah yang menyebarkan (share)? Parameter yang memang diciptakan untuk memberi kepuasan personal bagi pengguna. Mungkin awalnya fitur like di media sosial hanya fitur biasa, semakin berevolusi, fitur tersebut ternyata memiliki value yang tinggi dan bisa dijual. Orang dengan jumlah pengikut jutaan di media sosial, apalagi ditambah impresi yang bagus, maka dia memiliki daya jual tinggi di media sosial. Maka hari ini kita mengenal istilah endorsement. Untuk mendapatkan uang, tak perlu menajdi bintang iklan di media massa, cukup mengiklankan produk orang lain di akun media sosial personal. Lebih hemat, bayaran yang diterima juga cukup menggiurkan.
Ketika membincangkan sesuatu yang viral, itu juga tidak bisa kita percaya bahwa sepenuhnya terjadi secara instan. Di film dokumenter The Social Dilemma dijelaskan oleh salah satu narasumber, bahwa memang ada skenario mengelompokkan para pengguna media sosial untuk dikumpulkan dalam satu ruangan yang sama. Beberapa waktu lalu sempat ramai teori Flat Earth, Bumi Datar. Yang ternyata dampaknya tidak hanya memperdebatkan apakah bumi datar atau bulat. Dari perbincangan mengenai Flat Earth, ternyata kemudian bisa dikelompokkan sejumlah user dalam satu kelompok, yang ketika sebuah informasi disepakati kebenarannya dalam kelompok tersebut bisa mengakumulasi menjadi isu yang diperbincangkan banyak orang.
Saya menduga, awalnya, fitur trending topic diluncurkan untuk memudahkan user agar lebih mudah mencari informasi mengenai sesuatu yang sedang diperbincangkan. Setelah diluncurkan, fitur tersebut kemudian “diakali” oleh pengguna untuk menjadikan informasi yang sedang mereka sampaikan untuk masuk ke dalam urutan trending topic. Kemudian kita mengenal istilah buzzer. Secara fungsi, fitur trending topic itu tidak buruk sama sekali. Tetapi pemanfaatannya oleh pengguna yang menjadikan fitur tersebut menjadi salah kaprah. Sehingga saat ini orang sudah tidak kaget jika ada satu kata kunci yang menjadi trending topic di media sosial, karena memang sangat bisa dilakukan saat ini secara cepat.
Pada konsep trending topic ini, Jamaah Maiyah sudah terlatih untuk melakukannya secara organik. Sudah berulang kali tagar-tagar Maiyahan masuk dalam 5 besar trending topic bahkan memuncaki di urutan teratas di media sosial Twitter. Namun demikian, ternyata belum mampu dilakukan di platform media sosial lainnya. Seperti Youtube misalnya. Video-video resmi yang dirilis oleh channel Youtube caknun.com masih kalah jumlah penontonnya dibandingkan video-video yang dirilis oleh akun-akun non ofisial. Karena memang berbeda algoritma yang digunakan antara Twitter dan Youtube.
Tidak bisa memang sepenuhnya menyalahkan bagaimana media sosial hari ini dipergunakan. Yang seharusnya dilakukan adalah bagaimana manusia beradaptasi dengan evolusi teknologi yang diciptakan oleh manusia itu sendiri. Mereka yang ada di belakang layar platform media sosial pun mengakui bahwa mereka juga saat ini juga diperbudak oleh mesin yang mereka ciptakan sendiri.
Manusia harus beradaptasi dengan evolusi teknologi yang berkembang setiap detik. Mas Sabrang merilis Symbolic.ID dalam rangka mengajak kita untuk beradaptasi dengan teknologi yang ada. Parameter saat ini entah itu like, viral dan lain sebagainya diformulasikan oleh Symbolic.ID agar dapat digunakan oleh manusia untuk membiasakan diri membuktikan bahwa dia memang layak untuk didengar.
Mungkin saya kurang akurat. Sejauh pengamatan saya, Symbolic.ID adalah wahana yang sangat pas untuk melatih kita menyampaikan pendapat. Mungkin saat ini arenanya tidak seluas media sosial yang ada, tetapi Symbolic.ID bisa menjadi salah satu jawaban agar manusia tidak diperbudak oleh algoritma media sosial.
Seperti yang disampaikan Mas Sabrang, Symbolic.ID saat ini belum menjadi start up yang final release, setahu saya masih beta version. Maka Symbolic.ID membutuhkan dukungan dari teman-teman Jamaah Maiyah khususnya untuk turut bersama-sama berkontribusi dalam mengembangkan Start up ini. Sederhana saja, menurut saya bagaimana kita menyikapi Symbolic.ID ini akan menentukan seperti apa Symbolic.ID di masa mendatang. Jika ternyata perilaku kita di media sosial yang sudah ada kemudian kita bawa lagi di Symbolic.ID, maka jangan menuntut terlalu banyak kepada Symbolic.ID.
Dalam diskusi Reboan Kenduri Cinta dua minggu lalu, Mas Gandhie menyebutkan bahwa saat ini yang dibutuhkan oleh manusia adalah human firewall. Mau tidak mau, manusia sendiri yang harus bisa membatasi dirinya untuk tidak terbawa arus di media sosial bahkan internet. Ketepatan pengambilan posisi bahwa internet adalah alat, bukan tujuan, akan mendewasakan manusia itu sendiri dalam menggunakan internet.
Kita tidak bisa menghentikan laju kemajuan teknologi. Pilihannya adalah kita harus beradaptasi dengan teknologi, sehingga kemudian kita mampu memanfaatkan teknologi sesuai dengan peruntukannya. Atau jika mampu mengambil pilihan yang ekstrem, tinggalkan teknologi.
Tidak mudah memang jika kita bukan seorang inovator. Tetapi setidaknya di Maiyah kita pernah dibekali oleh Mbah Nun bahwa di sela-sela hujan yang deras masih terdapat ruang kosong. Maka, di tengah keramaian informasi hari ini, terutama yang datang dan kita akses melalui internet, masih ada ruang kosong untuk kita manfaatkan agar kita tidak basah kuyup dan terbawa arus.