Kesadaran Nur
Gusti Bendara Pangeran Harya Yudhaningrat yang akrab dipanggil Gusti Yudho pernah menuturkan ajaran hikmah Jawa yang bunyinya “Cecikal, Bebakal, Tetingal”.
Marja’ Maiyah Prof. Dr. Syekh Nursamad Kamba menuliskan bahwa “Dalam Kitab Suci dikabarkan bahwa Tuhan telah hadir pada diri janin semenjak masih di dalam rahim ibunya, dan mengikuti proses-proses perkembangannya sampai lahir ke dunia”.
Sabrang MDP dalam suatu perbincangan pernah menjelaskan kepada saya lapisan-lapisan memori yang dikandung oleh jiwa manusia. Kita harus bertanya ulang agar jelas, karena saya hanya mengingatnya sekilas, itu dengan bingkai pemahaman saya yang terbatas dan subjektif. Yang kita kenali dalam kehidupan sehari-hari hingga ke ranah kegiatan ilmiah adalah memori akal pikiran dan budaya. Lamat-lamat katanya ada memori-janin, memori-sel, ada memori-gen, saya serampangan membayangkan yang paling asal-muasal dari semua itu adalah memori-cahaya. Tatkala Allah menciptakan Nur Muhammad, kita semua bersama jagat raya dan isinya terlibat dan ada di situ, meskipun masih berupa apa yang oleh Gusti Yudho diseyogyakan kelak menjadi kesadaran “cecikal, bebakal, tetingal”.
Syekh Kamba menunjuk kembali apa yang Allah Swt sendiri menginformasikan di Surah Sa’ad 72: “Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya”.
Yang dimaksudkan oleh Sabrang, Gusti Yudho dan kasus Nur Muhammad bahkan adalah tahap penciptaan jauh sebelum “faidza sawwaituhu”, ketika telah Kusempurnakan kejadiannya.
Mohon jangan bertanya dan menuntut kepada saya maupun kaum Ulama atau Gus siapapun, karena sanad pengetahuan manusia tak kan sanggup mundur hingga “cecikal”,“bebakal”, meskipun kemudian harus menjalani “tetingal”. Kelak kalau Allah berkenan menemui kita di Surga, kita coba bertanya langsung, atau minimal kita konfirmasi kepada Kanjeng Nabi Muhammad Saw.
Termasuk mohon jangan ajak saya berdebat secara (yang kita akui secara tekabur) “Ilmiah”. Juga tatkala Allah berfirman: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)” — mohon jangan pojokkan saya tentang kebenaran sejatinya sebenarnya bagaimana.
Kita di Maiyah tidak “ngeyel” tentang kebenaran, karena ukurannya bukanlah kebenaran itu sendiri, atau adalah apakah sesuatu yang kita “sangka”, kita asumsikan, kita hipotesiskan, atau kita “sepakati” sebagai kebenaran. Melainkan apakah efek atau akibat atau fungsinya membuat kita menjadi lebih mendekat kepada Allah dan “sallimu taslima” kepada sesama manusia serta makhluk-makhluk kesayangan Tuhan lainnya.
Apa yang coba saya tuturkan untuk menjadi “babul ‘ilmi” atau “lawang kawruh” ini sekadar berhajat pragmatis kepada anak-anak cucu-cucu saya pelaku Maiyah semua khususnya para Penggiat Simpul-simpul Maiyah.
Keterikatan Anda semua oleh situasi Covid-19 sekarang ini jangan sampai tidak melahirkan keajegan silaturahmi dan Sinau Bareng Anda semua. Setiap Simpul Maiyah di berbagai wilayah, sembari istiqamah Sinau Bareng dalam keterbatasannya, bisa mengajak, menganjurkan dan menseyogyakan aktivasi atau penyelenggaraan forum-forum yang sama meskipun dalam satuan-satuan yang lebih kecil. Satu Simpul bisa “mengglepung” menjadi sekian atau banyak lingkaran-lingkaran (10-20an orang pun).
“Mengglepung” itu yang saya maksudkan dengan kesadaran sel, kesadaran zarrah, kesadaran gen, kesadaran inti, kesadaran saripati, kesadaran serbuk, kesadaran cahaya, kesadaran Nur Muhammad. Sebab kesadaran akal pikiran dan skala budaya sedang dilumpuhkan oleh Covid-19. Maiyah menghajatkan Wabal kepada Maha Langit, dan oleh Allah dikabulkan taburannya ke Bumi, sehingga Maiyah sendiri terkurung di dalamnya.
Sekarang inilah jalan sunyi yang tersunyi. Tetapi niati berkumpul untuk shalat rohani, kontemplasi, tadzakkur, tafakkur, membuka lebar-lebar jiwamu untuk memohon dan menerima limpahan hidayah serta rizki Allah yang bisa akan mengagetkanmu, karena ternyata di kedalaman sel, ada alam semesta, di dalam setisp serbuk, apalagi di kandungan setiap partikel terkecil dari cahaya, yang kita menyadarinya sebagai Nur Muhammad, terdapat galaksi-galaksi dan jagat raya yang bahkan bisa lebih luas dibanding yang diidentifikasi oleh akal dan kesadaran materi atau jasadiyah.
Kerumunan massal Maiyah diganti dengan penumbuhan sel-sel Maiyah sebanyak-banyaknya, dengan ghirrah dan semangat sinau bareng yang sama.
Selamilah “kehadiran Allah” seperti Syekh Kamba menuturkan. Reidentifikasikan “cecikal, bebakal”nya Gusti Yudho, karena tahun depan engkau menjadi pelopor modus dan formula “tetingal” yang lebih baru dan revolusioner.
Di setiap tahap dari kontemplasimu, Allah memperdengarkan suara-Nya: “alastu bi rabbikum?”, dan kalian istiqamah konsisten menjawab “Bala syahidna” dengan semua lapisan-lapisan memorimu.