CakNun.com

Keluarga Maiyah dan Tadabbur Corona

dr. Ade Hashman, Sp. An.
Waktu baca ± 10 menit

Berwudhu

Ukuran Covid-19 yang super halus, menurut tadabbur Mbah Nun seolah “menyerempet dimensi ruhani”. Sehingga pendekatan untuk mengatasinya seyogyanya tidak terbatas pada aspek-aspek fisik material saja. Upaya-upaya spiritual layak dilakukan untuk menyempurnakan ikhtiar pencegahan bahkan pemulihan.

Di antara yang dianjurkan Mbah Nun salah satunya dengan lebih sering berwudhu. Wudhu tidak semata membersihkan tujuh anggota tubuh yang terpapar daerah luar saja, tapi wudhu juga berdimensi ruhani. Wudhu membersihkan anggota fisik dan juga mensucikannya dari hadats. Saat membasuh tangan, selain membersihkan pergelangan tangan, kita juga mensucikan perbuatan kita. Saat membasuh mulut, selain membersihkan daerah oral, kita juga mensucikan lisan ucapan kita. Saat membasuh muka, selain membersihkan wajah, kita juga mensucikan penglihatan kita, begitu seterusnya. Posisi wudhu menjadi tabir proteksi yang bersifat jasmani dan spiritual.

Memperkuat Imunitas

Pada abad ke-19, berlangsung perdebatan dari dua dokter hebat dalam sejarah (Claude Bernard vs Louis pastur) tentang apakah yang terpenting dalam suatu mekanisme penyakit infeksi. Apakah lahannya yakni tubuh manusia sebagai tuan rumah, ataukah bibit penyakitnya (virus, bakteri, jamur) sebagai agen? Pada akhir kesimpulannya, menjaga lahan dipandang jauh lebih penting dibandingkan melawan agennya. Memperkuat pertahanan diri jauh lebih efektif daripada menyibukkan diri menciptakan senjata-senjata farmakologis melawan mikroorganisma.

Para ahli mikrobiologi sudah lama menyadari bahwa manusia tidak akan pernah menang melawan mikroorganisma. Walau wujud mereka mikroskopis teramat kecil, tapi hakikatnya ukuran mereka “sebesar dunia ini”, karena mereka memenuhi seluruh permukaan tempat di dunia ini. Bahkan populasi mikroorganisma di dalam tubuh kita sepuluh kali lebih banyak daripada jumlah sel-sel tubuh kita sendiri. Hidup kita sangat bergantung pada keberadaan mereka. Kini diyakini, keberadaan jasad-jasad renik tersebut bukan hanya membantu pencernaan, atau status imunitas kita, bahkan juga ikut memanipulasi perasaan dan pikiran kita (?).

Sudah menjadi pemahaman umum bahwa kecukupan intake nutrisi yang bergizi, alami dan proporsional penting untuk menjaga status imunitas dengan baik. Termasuk kualitas kesehatan jiwa, dengan hidup penuh kegembiraan, jauh dari kecemasan dan ketakutan yang berlebihan penting bagi status imunitas kita. Default-nya, manusia bersama mikroorganisma hidup ko-eksisten (berdampingan secara damai). Mungkin baik kita bertadabur, berupaya mencari tahu mengapa Covid-19 kini hadir dan “menghantam” peradaban umat manusia? Apa refleksi kita atas peristiwa ini? Bagian apa yang harus dibenahi dalam kehidupan kita?

Beberapa ahli penyakit infeksi misalnya mempermasalahkan keberadaan pasar grosir di Wuhan China yang mencampurkan hewan yang lazim dikonsumsi dengan satwa-satwa liar eksotik sebagai wujud pelanggaran ekologis. Dr. Asok Kurup sebagai presiden ahli penyakit infeksi di Singapura mengatakan “manusia dan satwa-satwa liar tidak ditakdirkan hidup berdampingan, jika dipersatukan dalam suatu tempat dalam rentang waktu yang lama akan menghasilkan penyimpangan (seperti wabah) di suatu hari”.

Dari pasar grosir Wuhan itulah Covid-19 hadir dikenal untuk pertama kalinya. Menyambung dengan itu, seorang dokter ahli penyakit infeksi yang cukup bereputasi di Singapura, Dr. Leong Noe Nam setelah ia menyaksikan apa yang dikonsumsi orang dari pasar Wuhan mengatakan, “Kita harus meninjau kembali, apa saja yang layak kita makan”. Covid-19 boleh dibilang muncul dari keserakahan manusia mengeksploitasi alam dan melanggar batas-batas kodrat yang wajar.

Prinsip “Menjaga Jarak”

Bila beranalogi, andai kita harus berkelahi satu lawan satu tentu “wajar” kita menghadapinya, bila jumlah lawan bertambah dua dengan kalkulasi yang matang masih mungkin kita menghadapinya. Tetapi jika jumlah lawan bertambah banyak (keroyokan), maka rumus paling logis adalah mengelak dan menghindar darinya jika perlu bahkan lari dari situasi itu. Covid-19 tidak pernah hadir sendirian. Jelas jumlahnya sangat amat teramat banyak. Perkembangan Covid-19 tidak berjalan seperti rumus deret hitung 1,2,3,4 dst, tapi melesat secara quantum eksponensial 2,4,16,32, …berjuta-juta dst.

Covid-19 menyebar secara droplet yakni lewat serbuk-serbuk butiran cair halus yang dikeluarkan saat bersin atau batuk. Radius penularan berkisar satu meter dari mereka yang terinfeksi. Setelah Covid-19 keluar lewat droplet lalu berceceran pada benda-benda di sekitarnya, mereka masih dapat “bertahan hidup” beberapa jam. Berposisi berdekatan, tukar-menukar udara, salaman atau cipika-cipiki, berisiko besar terhadap penularan. Atas fenomena ini, kemudian ada saran untuk tidak menyentuh mata, hidung dan mulut sendiri. Saran yang sebenarnya sukar dijalani (untuk tidak menyebut mustahil), karena secara reflektoris orang dalam seharinya menyentuh 3000 kali wajahnya sendiri. Maka sikap yang paling logis bukan menantang menghadapinya tapi menghindar jauh darinya.

Sebelum para ahli mengajarkan apa yang dikatakan sebagai membuat jarak dengan sumber, apakah itu disebut social distancing, physical distancing, work from home, stay at home, karantina wilayah atau lockdown, 1400 tahun silam, Rasulullah Muhammad saw sebenarnya juga sudah memberi pedoman kepada kita:

Tha’un (wabah penyakit menular) adalah suatu peringatan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menguji hamba-hamba-Nya dari kalangan manusia. Maka apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari daripadanya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Tindakan untuk membuat jarak ini adalah strategi prinsipil penting bahkan terpenting untuk memutus mata rantai penularan wabah. Tindakan ini memerlukan partisipasi dan kesadaran semua pihak. Terasa sulit bila tanpa backup pemerintah berwenang untuk mengantisipasi gejolak ekonomi dan sosial yang timbul bila startegi ini diterapkan dalam jangka yang panjang.

Munajat Do’a, Ada Wirid Kelembutan

Kembali pada momen acara KC pada malam itu, Mbah Nun menyempatkan diri berdo’a mohon perlindungan dan mengajarkan wirid “Tetes Kelembutan Muhammad” bermunajat bersama-sama agar semua jamaah yang berkumpul dalam satu titik keramaian dilindungi Al-Hafidz Yang Maha Pelindung dari segala marabahaya, kini, nanti dan seterusnya. Sehat dan sakit hakikatnya bukan milik manusia. Allahlah yang menentukan siapa yang tengah dikaruniakan kesehatan dan siapa yang akan diuji dengan penyakit. Tetapi sebagai seorang hamba, mengikhtiarkan untuk dapat hidup sehat, untuk terhindar dan ikut berpartisipasi mengatasi wabah penyakit adalah sebuah keharusan yang dijalani.

Corona Virus Disease 19 sebenarnya hadir memberi kita banyak hikmah pembelajaran, tinggal bagaimana kita mensikapinya, adakah kita memetik pembelajaran darinya?

Sangatta, 1 april 2020

Lainnya

Topik