Keluarga Maiyah dan Tadabbur Corona
Mentadabburi Corona
Adalah Qadarullah bahwa kita bertemu dengan momentum pandemi (wabah) global yang tercatat siklusnya kerap berulang di dunia setiap satu abad. Berkaitan dengan pandemi kasus virus Corona, Mbah Nun malam itu mengajak jamaah Maiyah KC untuk mentadabburi kejadian besar ini. Ada apa dengan Corona? Siapa keluarga Corona ini? Dari mana “mahkluk” ini berasal? Siapa yang menyuruhnya hadir di tahun ini? Mengapa entitas yang teramat halus ini menjadi momok menakutkan bagi warga dunia? Ikhtiar apa yang harus kita lakukan dalam menghadapinya? dsb.
Covid-19, Jangan Pernah Berperang Melawannya
Virus Corona (covid-19) adalah generasi update dari keluarga virus influenza. Virus adalah “mahkluk senior” di planet ini. Keluarga besar mereka dipercaya telah hadir di bumi sejak miliaran tahun silam. Virus sudah sangat “mengenal” asam garamnya planet ini. Wujud covid-19 “hanya” 150 nm saja, analog dengan telur kutu rambut dibagi sepuluh ribu kali. Namun Covid-19 segera menjadi selebritis di antara ribuan virus influenza lainnya dikarenakan “reputasi transmisinya” (penyebarannya) yang sangat cepat, efisien dan masif pada manusia. Dalam sebulan covid-19 telah “menjelajah” samudera pasifik hingga atlantik. Hingga April ini sudah 200 negara disinggahinya. Tidak ada negara yang bisa menjamin steril dari kehadirannya.
Covid-19 menjadi semakin populer, karena ia hadir pada zaman di mana ia “mendapat panggung” di dunia media. Setiap waktu, setiap saat orang-orang di media cetak apalagi elektronik ikut mempopulerkannya, dengan memposting berita, mengupdate status FB, bahan berkicau di Twitter, atau sebagai obrolan di WA group sehari-hari. Boleh dibilang, tidak ada orang yang tidak mengenalnya.
“Kehidupan” Corona sebagai virus sebenarnya masih menyimpan banyak misteri. Tidak ada yang dapat memastikan dari mana ia berasal? Penularan periode awal dipercaya berasal dari hewan (zoonosis). Corona adalah kerabat dari virus yang berdiam pada kelelawar. Sebelum berpindah ke manusia, masih ada hewan lain yang belum ditemui yang menjadi perantara penularan. Yang pasti telah terjadi perubahan pola, sehingga Covid-19 dapat menularkan dari manusia ke manusia, sehingga penyebaran di masyarakat manusia sangat efisien.
Dunia kedokteran tidak memasukkan virus dalam kategori tumbuhan atau hewan, bahkan juga belum ada kesepakatan apakah virus itu “mahkluk hidup atau benda mati”. Virus adalah substansi ambigu, yang mungkin mewakili transisi antara “an-organisma” dan “organisma”. Covid-19 tidak butuh makan, minum, bernafas layaknya ciri entitas kehidupan. Covid seperti “zombie kimia”, karena satu-satunya misi yang ia lakukan adalah mencari “rumah hidup” untuk membajak materi genetik dari inangnya untuk dipakai “berketurunan”.
Di dalam tubuh manusia, ia berdomisili secara khusus di sistem pernapasan. Masuk lewat hidung dan tenggorokan, lalu akan membajak material RNA sel-sel di dalamnya. Kemudian ia akan mendapat perlawanan dari pasukan imunitas kita. Jika ia bertahan, maka covid akan terus merasuk jauh kedalam hingga jaringan paru-paru menciptakan efek kerusakan dan malapetaka yang lebih besar.
Bila seseorang dengan status imunitas yang baik terinfeksi Covid-19, umumnya ia akan tampil tanpa gejala (asimptomatik). Mereka disebut silent carrier, sekumpulan orang yang terinfeksi yang tampak benar-benar sehat dan tak bergejala sama sekali ini, jumlahnya dapat mencapai 30% dari total yang terinfeksi. Kelompok ini tidak akan terdeteksi. Dan ketika imunitas seseorang mulai kewalahan, barulah terlihat gejala-gejala klinis seperti flu pada umumnya: demam, batuk kering, nyeri tenggorokan, sakit kepala, lemah dan nyeri di persendian.
Umumnya mayoritas penderita mengalami gejala sakit ringan, sekitar 20% mengalami infeksi berat: radang dinding paru (pneumonia) hingga gagal nafas. Penurunan daya imunitas terutama pada orang tua (di atas 65 tahun) dan orang-orang yang memiliki penyakit penyerta seperti diabetes, hipertensi dsb memperbesar risiko infeksi menjadi memberat. Dan risiko kematian berkisar antara 2 hingga 4%.
Hingga 3 bulan pandemi global ini berlangsung, belum ada vaksin atau obat definitif yang dapat dipergunakan untuk mengobati penyakit akibat Covid-19 ini. Tatalaksana medis yang diberikan sebatas penanganan suportif berdasar gejala dan perbaikan imunitas diri dengan memenuhi nutrisi yang bergizi dan seimbang serta cukup istirahat.
Sekarang coba renungkan apa yang dihadapi umat manusia? Sesuatu yang tidak terlihat. Sesuatu yang jumlahnya teramat banyak lagi ada di mana-mana tidak teridentifikasi. Sesuatu yang membaur dari yang terinfeksi tampil tersamar tidak menampilkan gejala sama sekali. Dan, sesuatu yang belum ada peluru farmakologis untuk mencegah apalagi membasminya. Ini adalah “perang asimetrik”. Seolah-olah kita bertempur dengan “kehampaan”. Oleh karena itu logis untuk mengatakan “jangan berperang melawan Covid-19, secara vis a vis, karena itu sama seperti menikam angin agar ia terluka!”.
Ikhtiar Dalam Mengatasi Wabah
Ketidakmampuan kita melawan virus secara agresif harusnya mendorong kesadaran kita untuk memprioritaskan upaya-upaya preventif. Problematika yang sama bagi seluruh umat manusia, menjadikan wabah ini sebagai “common enemy” seharusnya mampu mempersatukan persepsi dan tindakan kita dalam menghadapinya. Ketidaksatuan langkah para pengambil kebijakan publik, rasio tenaga medis yang jauh dari ideal, ketersediaan alat-alat penunjang kesehatan yang sangat tidak memadai, bahkan institusi pelayanan kesehatan rujukan juga jauh dari proporsional kebutuhan di lapangan membuat persoalan ini mustahil dapat diselesaikan oleh pemerintah dan tenaga medis saja. Setiap kita memiliki peran sangat penting dalam upaya memutus mata rantai penularan wabah ini.
Memelihara Diri: Hidup Bersih Higienis
Mencuci tangan terdengar seolah kebiasaan yang “gampang dan sepele”, padahal dalam sejarah dunia medis tindakan cuci tangan melewati fase yang panjang, sulit dan tragis “berdarah-darah”. Dokter pertama yang dicatat sejarah sebagai penganjur cuci tangan untuk mencegah infeksi adalah Ignaz phillip Semmelweis, orang Hongaria yang hidup pada abad-19.
Pasca Ia menganjurkan cuci tangan sebelum tindakan medis, Semmelweis bukan mendapat apresiasi, malah Ia di-bully dan dikucilkan oleh komunitas medis. Akhir kisah Semmelweis sangat tragis, ia depresi karena perlakuan komunitas medis terhadapnya, lalu menjadi pasien di rumah sakit jiwa dan akhirnya meninggal secara mengenaskan dianiaya di dalamnya.
Perlu waktu 30 tahun, menunggu seorang ilmuwan, Louis Pasteur yang dapat menjelaskan secara ilmiah hubungan kebersihan tangan dan penularan penyakit karena kuman, sehingga cuci tangan diterima oleh publik medis. Jauh sebelum Semmelweis menganjurkan cuci tangan, secara khusus sebenarnya Rasulullah Muhammad saw 14 abad silam telah mengajarkan sebuah kebiasaan yang higienis kepada kita:
“Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya, hendaklah ia membasuh kedua telapak tangannya sebelum memasukkannya dalam bejana air wudhunya, sebab salah seorang dari kalian tidak mengetahui di mana tangannya bermalam” (HR. Bukhari).
Kini secara medis, tindakan cuci tangan menjadi aksi paling penting dalam memutus mata rantai infeksi mikroorganisma, termasuk Covid-19. Anatomi Covid hanyalah seutas materi genetik (RNA) yang diselubungi lapisan lemak berbentuk mahkota “berduri-duri” (= corona). Permukaan lemak tersebut mudah hancur bila terkena air sabun ketika seseorang mencuci tangan.
Cuci tangan adalah tindakan sederhana, namun merupakan langkah prinsipil dalam upaya mencegah dan memutus mata rantai penularan Covid-19. Tanpa kehadiran Covid-19 pun, kulit kita adalah hunian bagi 180 miliar mikrobioma. Setiap inci permukaan kulit kita merupakan rumah tinggal bagi 32 juta bakteri. Mencuci tangan adalah upaya mengurangi populasi jumlah kuman-kuman tersebut agar tidak berkembang dan membahayakan kesehatan kita.