Keluarga Maiyah dan Tadabbur Corona
Alhamdulillah setelah bertahun-tahun tidak pernah berkesempatan bermaiyah, akhirnya pada 13 Maret 2020, saya diperjalankan mengikuti acara Kenduri Cinta (KC) kembali.
Terlepas dari rencana penayangan film “Terima Kasih Emak Terima Kasih Abah” (TETA) yang dijadwalkan akan rilis di bioskop-bioskop di Indonesia per 16 April 2020 mendatang, tema KC malam itu terasa relevan dengan suasana kebatinan saat ini, Keluarga Mutahabbin.
Al-Mutahabbina fillah diartikan sebagai komunitas yang bergaul dalam jalinan hubungan cinta di jalan Allah, yang bersaudara atau dipersaudarakan bukan atas alasan hubungan darah, persamaan etnis atau golongan, dan bukan karena interest kepentingan duniawi.
Menurut Mbah Nun, seluruh ciptaan Allah pasti “berkeluarga”. Kita semua pada dasarnya saling terhubung dan berada dalam suatu jaring-jaring keluarga besarnya Allah Swt. Tidak ada di alam ini, sejak wujud makroskopis hingga wujud mikroskopis, organisma ataupun an-organisma yang hidup sendirian terisolasi tanpa memiliki “keluarga”.
Seperti biasanya, acara KC di lapangan Taman Ismail Marzuki (TIM) padat dipenuhi jemaah, tidak tahu persis berapa jumlahnya bisa saja puluhan ribu orang. Jelang acara KC dimulai pukul 20.00, Gubernur DKI Jakarta, Anies R. Baswedan pada pukul 19.41 ternyata telah mengeluarkan edaran berkait antisipasi pandemik virus corona, dengan menutup 17 tempat wisata yang lazim dikunjungi.
TIM termasuk salah satu lokasi yang terlarang dipergunakan untuk berkumpul. Tentu bukan tempatnya yang salah sehingga dilarang, melainkan karena tempat tersebut dipergunakan menjadi kerumunan. Lantas bagaimana dengan acara Maiyah malam itu?
Dalam buku, “Cinta, Kesehatan dan Munajat Emha Ainun Nadjib”, saya menulis satu bab tersendiri opini saya tentang Maiyah yang saya istilahkan menjadi suatu “oase kesehatan”. Majelis ilmu di Maiyah menurut saya selama ini telah berkontribusi untuk menjadi wahana detoksifikasi serta khandaq budaya atas peracunan “virus-virus peradaban global” yang mengirimkan nilai-nilai destruktif bagi kehidupan.
Namun, lebih dari sekadar opini subjektif tersebut, dari perspektif kesehatan, acara-acara Maiyah yang rutin berjalan di berbagai tempat, memang menarik untuk ditelisik, mengapa? Karena konsistensi yang dijalani oleh jamaah Maiyah melewati acara berdurasi panjang (7-8 jam) selama lebih dari 2 dekade menjadi sesuatu yang sangat menarik dicermati?
Jamaah Maiyah dimanapun acara Maiyah berlangsung, duduk lesehan hingga pukul 3-4 dini hari di lapangan terbuka (outdoor), diterpa angin malam dan hawa dingin. Apabila hujan turun, ya, mereka akan dingin basah-basahan atau minimal terkena tempias air hujan. Kebiasaan seperti ini, tentu sangat tidak lazim dari sudut pandang kesehatan (apalagi tidak sedikit di antara jamaah yang mengepul-ngepulkan asap rokoknya). Faktanya, jumlah jamaah bulan demi bulan justru semakin membludak secara eksponensial. Hal tersebut mungkin dapat menjadi bukti empirik, bahwa majelis Maiyah telah menjadi semacam “oase yang dibutuhkan”, setidaknya bagi para keluarga Mutahabbin.
Fenomena demikian yang menimbulkan pertanyaan, daya tahan seperti apa yang dimiliki jamaah, ketika mereka mengikuti acara berdurasi panjang bahkan begadang sepanjang malam itu? Mungkin jawabannya akan lebih terukur bila ada yang mendekatinya lewat riset penelitian. Rasionalnya, sesuatu dapat bertahan lama, bila semuanya berjalan dalam suatu kelapangan dan kondisi yang serba seimbang. Kontribusi majelis Maiyah pada kesehatan, hemat saya lebih pada sesuatu yang bersifat halus dan lembut yakni pada tataran dimensi intelektual, psikologis dan terutama spiritual, yang pada ujungnya ikut berdampak secara fisik.
Kembali dengan soal berkumpulnya keluarga al-Mutahabbin yang demikian ramainya pada malam itu, apakah hal itu tidak berlawanan dengan maklumat pemda DKI dalam rangka mencegah eskalasi penularan wabah yang lebih besar lagi? Apakah penggiat KC ngeyel atau ndableg pada malam itu? Ataukah jamaah KC tengah “uji nyali” untuk mendemonstrasikan kekebalan imunitas keluarga Al-Mutahabbin atas ancaman Corona ini?
Tentu, saya yakin jamaah Maiyah dan penggiat Maiyah tidak menyepelekan pandemi ini. Malam itu, antara maklumat pemda DKI dan keberlangsungan acara, berada pada jarak yang mustahil untuk dihindari atau dibatalkan. Andai ada jarak informasi “yang cukup”, saya yakin penggiat KC dan jamaah maiyah akan siap menunda dan membatalkan acara-acara yang memang melibatkan keramaian, sebagaimana setelah acara KC itu, seluruh agenda forum-forum acara Maiyah dimanapun ditangguhkan dalam masa yang belum ditentukan.
Lagi pula, pada saat itu para pengurus negara belum ada satu titik kebersaamaan langkah “untuk serius” mewanti-wanti warganya dalam soal mengantisipasi wabah yang berasal dari Wuhan negeri yang berjarak 3.488 km dari negeri kita. Di antara mereka yang berkuasa, dalam sebuah portal berita malah ada yang dengan PD-nya berkata “Dipastikan Virus Corona tidak terdeteksi di Indonesia!”. Diantaranya juga malah ada yang dengan santainya berkelakar “Kita kebal Corona karena doyan nasi kucing!”.