Keindahan Namanya adalah Kemuliaan Hidupnya
Tatkala menunggu saat keberangkatan jenazah Mas Iman Budhi Santosa ke Pemakaman Seniman di Imogiri, bersama sahabat mulia lainnya, Pak Mustofa W Hasyim, saya berbisik-bisik: “Sangat sedikit orang yang riwayat dan kualitas hidupnya persis yang dikandung oleh namanya”. Almarhum ini adalah sahabat kita yang muatan iman kehidupannya sangat utuh, kental dan lestari sampai akhir hayatnya. Yang sepanjang 51 tahun bebrayan kami sejak 1969 kita nikmati kemuliaan budinya. Serta yang hidupnya sangat membuktikan kesentosaan jiwa terutama melalui karya-karyanya.
Mas Iman adalah manusia agung yang suci hatinya, penuh iman dan cinta sejati jiwanya, serta senantiasa jujur berpikirnya. Sejarah hidupnya sangat memenuhi kandungan makna dari tiga kata yang orangtua beliau menyematkannya sebagai nama atau pertanda keberadaannya: iman dan budi dan santosa.
Pasti saya tidak berani mengatakan bahwa demikianlah memang iradah, Amr, blueprint atau konsep Allah dulu menciptakan hamba-Nya ini. Tetapi jelas sejauh Mas Iman mengenali dirinya, demikian pulalah ia menjalani hidupnya. Barangsiapa mengenal dirinya, makai ia mengenal Tuhannya. Dan barangsiapa mengenali Tuhannya, maka ia mengenali dirinya. “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu, wa man ‘arafa Rabbahu faqad ‘arafa nafsahu”. Loro-loroning atunggil itulah sejarah hidup Iman Budhi Santosa.
Ketika nguntapke beliau di pemakaman, saya sangat meyakini apa yang saya nyatakan berdasarkan kesaksian empiris 51 tahun itu. Bahwa Mas Iman telah melakukan banyak hal yang saya dan rata-rata kita belum atau tidak pernah melakukan. Mas Iman bertirakat, lara-lapa angon jiwa, mencapai dan mengalami apa yang saya dan rata-rata kita belum atau tidak pernah mencapai dan mengalaminya.
Umpamanya, semenderita-menderita hidup saya, belum pernah saya menjadi gelandangan sebagaimana Mas Iman sungguh-sungguh menjadi gelandangan dalam arti yang sebenar-benarnya dan sekonkret-konkretnya. Hidup di jalanan, tidur di balik tembok Plengkung Gading atau Pojok Beteng atau sepanjang Malioboro. Wajah dan sekujur badan serta pakaiannya kumuh sekumuhnya karena bertahun-tahun tidak tersentuh air.
Beliau ditimpa masalah dan ditindih dilema-dilema kehidupan, terutama yang menyangkut fungsinya sebagai kepala rumahtangga, idealisme sosial, dan pandangan politik. Beliau menghancurkan diri karena rasa bersalah dan kebingungan hidup, sehingga marasa bahwa yang paling layak untuk dirinya adalah membuang diri dari masyarakat dan kemudian benar-benar menggelandang di jalanan. Tidak ada beban yang lebih berat bagi manusia melebihi rasa bersalah, rasa tak berguna, rasa tak bermanfaat dalam kehidupan. Di puncaknya Anda akan cenderung mencampakkan diri Anda sendiri keluar dari area bebrayan hidup. Saya sendiri sangat sering mengalami momentum kehidupan di mana hampir saja saya lari dari area silaturahmi sosial kemudian menepi di luar pagar kehidupan masyarakat.
Dan posisi itu bukan seksdar soal koordinat sosial, tetapi juga mengimplikasikan kondisi-kondisi psikologis sedemikian rupa di dalam diri kita. Orang yang mengalaminya akan menghabiskan siang malamnya untuk meratapi dan marah kepada dirinya. Atau menyalahkan ini itu yang membuatnya dihimpit dilemma. Atau bahkan marah dan menyalahkan Tuhan dengan kehidupan yang Ia hamparkan yang membuat ia terserimpung oleh kesengsaraan hati dan penderitaan hidup.
Dan mas Iman tidak. Beliau sangat luar biasa dengan pengelolaan hati dan kejiwaannya. Pada suatu sore tahun 1980, ketika saya menyetir Jeep 1946 butut saya, mendadak saya jumpai seorang gelandangan berjalan terbata-bata di tepian Jalan Mangkubumi Yogyakarta. Ternyata saya yakin betul dia sahabat saya Iman Budi Santosa.
Dengan memberani-beranikan diri dan berlaku menjunjungnya, saya mohon dia naik ke Jeep saya. Dan alhamdulillah beliau berkenan. Kemudian saya langsung tancap ke Patangpuluhan markas saya. Sesampainya di rumah kontrakan itu saya ambilkan handuk, saya antarkan ke kamar mandi, kemudian saya siapkan celana dan baju.
Ketika beliau nongol sehabis mandi dan berpakaian, kami duduk di ruang tengah. Saya bahagia melihat Mas Iman mulai tersenyum, wajahnya bercahaya, sorot matanya sama sekali bukan sorot mata seorang gelandangan. Dan ketika kemudian kami mengobrol, saya takjub luar biasa. Andaikan saya yang hidup menjadi gelandangan sampai hampir tiga tahun, mungkin hati saya dipenuhi amarah, rasa malu, dorongan untuk membela diri atau menyalahkan sana sini. Peta isi pikiran saya pasti sudah berubah total. Cara berpikir saya mungkin destruktif dan penuh negasi. Mental dan hati saya penuh rajukan-rajukan.
Tetapi Mas Iman tidak. Beliau tetap jernih, hatinya mulia sebagaimana yang saya mengenalnya sekian tahun. Alam pikirannya normal, objektif, bahkan arif dan bijaksana. Ternyata puisi-puisi dan karya-karya tulis lainnya yang saya baca di koran-koran selama ini, beliau tulis di sepanjang jalan, dalam posisi sebagai “sampah masyarakat”. Kalau saya yang berada di posisi itu, mungkin hati saya dendam dan pikiran saya mengamuk. Entah kepada keluarga, teman-teman, masyarakat, Pemerintah, Negara, sejarah, atau mungkin bahkan saya mengamuk kepada kehidupan ini secara keseluruhan.
Tetapi Mas Iman, dalam obrolan kami pada sore yang penuh berkah itu, saya menikmati Mas Iman tetap lestari dengan kearifan hatinya, kecerdasan pikirannya, kejujuran pandangan-pandangannya, bahkan beliau sama sekali tidak tertinggal wawasan hal perkembangan Negara dan masyarakat. Pasti Mas Iman sering berdiri di depan papan koran yang dipajang di tepian jalan di sejumlah tempat.
Allahu Akbar. Hamba Allah satu ini sungguh-sungguh bermental baja. Sebab kehancuran mental mengakibatkan kekacauan berpikir dan kehancuran hati. Dan Mas Iman benar-benar budi santosa. Budi santosa sejarah hidupnya justru mengukuhkan imannya.
Tariklah garis proyeksi budaya: kalau manusia dengan ketangguhan dan kualitas seperti itu menulis puisi, bayangkanlah betapa sejati dan indah puisinya. Bayangkanlah kalau ia berpikir dan mengungkapkannya. Mas Iman adalah ahli tetumbuhan, dengan cinta dan ilmunya. Mas Iman adalah pakar jiwa manusia dan langit Tuhan. Mas Iman adalah tajallu luthfillah, ekspresi kelembutan Allah yang menyapu wajah kita dan menghembuskan kesegaran hidup ke sekeliling kita.
Mas Iman Budi Santosa benar-benar makhluk Allah. Itu 40 tahun yll, yakni 1980. Bayangkanlah kemudian apa yang saya nikmati 40 tahun berikutnya, sampai saat-saat kami di Kadipiro bersedekah menerbitkan Majalah Sastra “Sabana”. Secara pribadi saya mengalami betapa amannya saya dengan semua yang berlangsung dan kami lakukan bersama. Betapa nyamannya saya punya sahabat, kakak, guru dan partner kerjasama sosial yang mengurusi batin dan jiwa manusia.
Saya tidak perlu tuturkan di sini prestasi beliau di dunia sastra dan kesenian nasional. Saya tidak perlu menguraikan peta kesusastraan dan kesastrawanan Indonesia. Saya tidak perlu memotret aliran air di sungai panjang sejarah puisi, karena Mas Iman adalah salah satu sumber air murni sungai keindahan itu, bahkan dalam episode Sastra Malioboro kami: beliaulah sumber utama, yang mas Umbu Landu Paranggi menggali dan menghidupkan mesin pemancar air murni dari langit itu.
Kemudian mendadak Allah mengambil milik-Nya itu. Tidak melalui gejala atau sakit apapun. Begitu mulus dan sejati transformasi kehidupan Iman Budhi Santosa. Dari dunia yang makin dungu dan lalim, Allah menyegerakan memindahkannya ke sorga, karena cinta-Nya.
Yogya 11 Desember 2020
Emha Ainun Nadjib