CakNun.com

Keharusan Menderita dalam Keyakinan

Ahmad Saifullah
Waktu baca ± 2 menit
Magelang, 26 Maret 2019. Foto: Adin (Dok. Progress).

Mbah Nun dalam kesehariannya selalu menemani siapapun, terutama yang menderita. Sampai tulisan-tulisannya merupakan teman, karena ia menemani kita semua. Dalam tajuk Penderitaan dalam Keyakinan kita merasakan bahwa kita semua diayomi dan ditemani untuk sedikit mengadu kepada Tuhan Sang Peraduan paling indah. Sepertinya Mbah Nun berucap dalam hatinya, “kalau kalian mengalami penderitaan, maka Aku pun sama Cung.” Itulah endahing bebrayan dalam tulisannya Mbah Nun sebagai manusia.

Selain mengadu, dalam kesempatan lain dalam goresan puisi Memetik Kesengsaraan Rasulullah, Simbah mengajak kepada kita bahwa menderita di dunia itu merupakan keharusan setiap penempuh dan pejuang kesejatian hidup. Bagaimana tidak? Dalam puisi itu kita diajak untuk mensyukuri penderitaan hidup kita sebagai konsekuensi menjadi umat Muhammad. Sebatas yang saya tahu, Simbah tak pernah mengajak kita untuk Memetik Kebahagiaan Rasulullah. Artinya, logika awam kita meneguhkan seandainya kita ingin menghayati kehidupan menjadi umat Muhammad, maka onak-duri jalan hidup kita, sebagaimana derita kehidupan Rasulullah Saw.

Kita tahu, bahwa Rasulullah kekasih Allah, tetapi deritanya berderet hingga sekarang. Manusia yang jasadnya sudah dikuburkan seribu empat ratusan tahun yang lalu. Tapi manusia-manusia sekarang terus melempar fitnah kepadaNya. Adakah sepanjang sejarah umat manusia yang mampu menandingi derita Sang Kinasih itu? Kita semua dihadapan Simbah sebenarnya bersimpuh malu, karena derita kita tak sesemut ireng derita Simbah. Apalagi di hadapan derita Rasulullah. Tetapi Simbah tahu kelemahan hidup kita, kedlaifan daya tahan kita, kerapuhan keyakinan kita, sehingga orang menderita sebaiknya ditemani, bukan digurui apalagi dipaido.

Dalam tulisan tajuk tersebut, disinggung tentang derita para perapal Doa Wabal, sedangkan para ‘musuh’ sebagai ‘sasaran obyek’ doa itu, malah mengalami kejayaan duniawiah. Kami mencoba memaknainya dengan menganalogikan turnamen kesebelasan. Dalam turnamen itu, kesebelasan kita tidak sebebas kesebelasan ‘musuh’. Karena menurut keyakinan ‘musuh’ bahwa kemenangan sejati ada pada turnamen itu, sehingga musuh kita bermain membabi buta dengan menghalalkan segala cara. Kegagalan hidup baginya, kalau tidak meraih kemenangan duniawiah.

Sedangkan kesebelasan kita meyakini bahwa kemenangan sejati dapat kita raih di akhirat. Kita tidak mungkin menghalalkan segala cara dalam turnamen itu, karena ikatan nilai-nilai yang kita anut tentang kemaslahatan-kemadlaratan, tentang ke-haq-an dan kebatilan, tentang keadilan dan kedlaliman, tentang keingkaran dan ketaqwaan kepada Allah, tentang segitiga cinta yang harus ditancapkan dalam kehidupan. Maka konsekuensi terbesar dalam turnamen kehidupan ini adalah keprihatinan, riyadloh dan derita tiada ujung. Kuda-kuda kesabaran kita hingga di akherat nanti. Bukankah anjuran maiyah menanam tak mengharap memanen, memberi tak mengharap kembali. Tapi sejatinya semua itu manunggal kalau kita ketemu dengan hakikat kehidupan.

Pekalongaan, 23 November 2020

Lainnya