Ke Amsterdam Menengok Pergumulan Cak Nun Era 80-an
Dari apartemen Mas Karim, Jacques Veltmanstraat, Amsterdam, saya dipinjami sepeda miliknya. Hari itu saya berencana keliling kota, terutama menapaktilasi proses menggelandang Cak Nun tahun 80-an. Amsterdam Central Station salah satu tempat persinggahan waktu itu.
Berbekal Google Map, dengkul, dan antusiasme, saya menyesatkan diri di sela-sela gedung. Jarak tempuh sekitar 40 menit. Meski jangkauan sepanjang 13 kilometer, bersepeda di jantung negeri Kincir Angin tak lekas membuat letih. Udara dingin, keberaturan lalu lintas, dan konstruksi jalanan yang datar penyebabnya. Mengambil lajur sepeda, sesekali salah jalan karena menembus taman Rembrandtpark, saya sampai tujuan tepat waktu.
Setelah memarkirkan sepeda, saya berjalan kaki menuju depan gedung utama stasiun utama Amsterdam. Berdiri sejenak menyaksikan lalu-lalang orang lintas bangsa, ingatan saya melompat ke belakang. Ingat bagian penutup sajak Cak Nun berjudul Hijrah tahun 1985:
…
aku jatuh terjengkang
tolol di pojok jalan
hanya sanggup berpamitan
hijrah ke semesta pengembaraan
Membayangkan Cak Nun menggelandang di kota ini, berdiri menunggu tepat di bibir Jalan Stationsplein, berdamai dengan cuaca yang serasa menusuk tulang, saya merasakan nuansa tahun itu. Tahun jauh sebelum saya lahir, masa ketika internet belum menggeliat, Cak Nun menggelandang dalam pengertian sebenarnya.
Sebagai peneliti saya segera melanjutkan romantisasi itu ke wilayah pembacaan teks. Salah satu yang saya punyai adalah arsip, sejumlah esai maupun puisi Cak Nun periode itu. Pembacaan reflektif saya lakukan seraya mencari kios kopi untuk penghangat kerongkongan.
Saya berusaha melacak “artefak intelektual” yang dialami Cak Nun selama periode “menggelandang” di dataran Eropa. Studi pustaka, khususnya direferensikan dari buku Dari Pojok Sejarah (1985), terutama berdasarkan pemilihan tema secara manasuka, saya nikmati karena buku ini menjadi bukti historis bagaimana Cak Nun selama dua tahun bermukim di Belanda dan Jerman.
Pertama, tahun 1984 ia mengikuti Festival Penyair Internasional di Rotterdam. Kedua, tahun 1985 ia menghadiri Festival Horizonte III di Berlin Barat. Dua tahun di Eropa, Cak Nun menulis lebih dari seratus fragmen, sebagaimana ia ungkapkan sendiri pada bagian Sikap dan Bahasa Basis: Sebuah Pengantar:
“Tulisan-tulisan kecil ini, pertama, mengandaikan rasa malu kaum intelektual terhadap kenyataan sosial dan manusia miskin (politis, ekonomis, kultural) yang selalu dipercakapkannya. Kedua, ia hanyalah hasil dari rasa kaget kultural tertentu yang saya alami.
Dan ketiga, ini adalah klise ikrar kembali (oleh seorang anak bingung sejarah Indonesia) atas hal-hal yang ‘ya’ dan ‘tidak’—baik dengan atau tanda seru, maupun ya yang berwajah tidak dan tidak yang bermuka ya — di tengah pentas nasional drama topeng yang seru namun kalem ini.”
Saya teringat buah pena Mas Ahmad Karim, bertajuk Menggelandang di Belanda di laman caknun.com. Tulisan tersebut merupakan catatan kontemplatifnya atas kesaksian Pak Siswa Santoso, sahabat Cak Nun saat di Belanda lebih dari tiga setengah dekade silam.
Menurut catatan itu, seperti diungkapkan Pak Sis, sebelum Cak Nun mendapatkan kepastian ke Negeri Kincir Angin, ia sudah mengetahui bahwa Cak Nun akan ke Belanda berdasarkan komunikasinya dengan salah satu profesor di Leiden University.
“Profesor inilah yang menentukan siapa saja yang layak diundang ke festival bergengsi itu, dan beliau menambah referensi kepada sang profesor bahwa seorang Emha Ainun Nadjib adalah sosok sangat spesial yang akan ‘menghidupkan’ event itu,” tulis karim.
Selama di Rotterdam Cak Nun menarik atensi banyak pihak. Cak Nun mendapat apresiasi besar dari perwakilan beberapa negara seperti Israel, Eropa, Amerika Latin, Afrika, maupun Amerika Serikat. Bahkan Cak Nun diminta untuk berkolaborasi dalam pementasan.
Cak Nun, lanjutnya, juga mendapatkan beasiswa satu tahun di International Institute of Social Studies (ISS) di Den Haag. Profesor Ben White yang merekomendasikannya. Cak Nun diberi kebebasan untuk mengembangkan ide dalam tulisan-tulisannya.
Itu kenapa Profesor Ben White membebaskan Cak Nun untuk mengikuti konferensi, seminar, maupun kuliah di ISS. Hasil mendapatkan privilese itu Cak Nun telurkan ke dalam beberapa tulisan di Dari Pojok Sejarah.
Titik Awal
Studinya di Eropa selama dua tahun sesungguhnya setara dengan seorang mahasiswa menggondol gelar master. Tapi Cak Nun tak tepaut secara formal sebagaimana orang kebanyakan. Ia mendalami tiap disiplin ilmu dengan telaten, sekaligus mempertautkan pelbagai keilmuan tersebut agar mendapatkan keutuhan universum.
Dengan kata lain, Cak Nun sengaja tak terjebak pada pengkotak-kotakkan ilmu. Ia melampaui sekat-sekat tersebut, kendati dalam istilah Cak Nun ditempuh melalui proses “menggelandang”.
Nuansa kata “menggelandang” menitikberatkan pada kebebasan pencarian sesuatu yang menerima pelbagai kemungkinan yang dihadapi secara terbuka. Barangkali bukan sebatas pencarian, melainkan pengamatan.
Ada perbedaan yang cukup tipis antara mencari dan mengamati. Yang pertama memuat kecenderungan untuk memfokuskan satu hal, sementara yang kedua justru menampik satu titik karena menerima keterbukaan jamak kemungkinan.
Cak Nun, sepanjang pembacaan saya, lebih pada poin kedua. Setidaknya argumen ini didasarkan atas tiga hal. Pertama, tulisan-tulisan Cak Nun selama periode Eropa lebih dominan berangkat dari permasalahan empiris yang dihadapi, sehingga pengembangan gagasan setelahnya berupa analisis kritis atas pengalaman riil tersebut.
Kedua, tema-tema sosial yang reflektif di dalam tulisan Cak Nun meliputi multidisiplin, sehingga menunjukkan betapa ia peka terhadap realitas di sekelilingnya. Ketiga, masih berlatar belakang butir pertama dan kedua, tulisan Cak Nun konsisten mempersoalkan manusia dan kemanusiaan — khususnya berdasarkan perspektif wong cilik — sebagai titik berangkat pembuka.
Yang terakhir ini mengerucut pada satu hal, yakni Cak Nun mewedar pelbagai masalah secara kritis dan komprehensif tanpa berpretensi menyimpulkan, apalagi mengambil satu resep khusus sebagai solusi cespleng.
Cak Nun seakan-akan mengajak kepada sidang pembaca untuk menemukan bersama, paling tidak merumuskan, bagaimana solusi atas problem sosial-kemasyarakatan yang dihamparkannya. Sudut pandang demikian menitikberatkan pada dialektika antara penulis dan pembaca.
Sebagai contoh, pertanyaan kontemplatif Cak Nun terhadap kaitan antara kelompok intelektual dan ranah tematik yang diulas dalam tulisan akademik: “Pernahkah diteliti berapa sudah jumlah sarjana, master dan doktor yang dihasilkan oleh tema kemiskinan, penindasan dan keprihatinan manusia? Apa sajakah relevansi atau irrelevansi dari yang dilakukan oleh para ‘ilmuwan kemiskinan’ itu kemudian, terhadap usaha melawan kemiskinan? Berapakah derajat penurunan atau kenaikan kemiskinan berkat pengaruh makin banyaknya para piawai yang ‘makan utamanya’ masalah kemiskinan itu?”
Pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan Cak Nun tersebut menegaskan betapa produksi pengetahuan di bangku akademik hendaknya tak berakhir di rak perpustakaan. Bahkan bukan sekadar menjadi semacam bacaan kepada publik.
Cak Nun “menggugat” agar kerja akdemik juga memberi dampak emansipatoris, suatu upaya pembebasan terhadap kemiskinan, penindasan, maupun keprihatinan manusia. Dengan kata lain, kerja tertulis semestinya juga dipraksiskan, sehingga objek yang diteliti mendapatkan dampak signifikannya. Sebagaimana dinyatakan Cak Nun, “ … meskipun kerja intelektual ‘saja’ pun, yang berakhir di huruf-huruf, sudah merupakan fungsi yang tak rendah.” Cak Nun pada konteks demikian tetap mengapresiasi.
Tahun 80-an juga menjadi titik penting bagaimana seorang intelektual yang baru menyelesaikan doktoralnya di Harvard University, Arief Budiman, melemparkan wacana bahwa ilmu-ilmu sosial di Indonesia itu ahistoris. Arief mengatakan kalau ilmu-ilmu sosial yang sebelumnya diadopsi sebagai magnus opum riset akademik masih bias perspektif Barat. Ilmu sosial, menurutnya, harus membumi: disesuaikan atas situasi-kondisi sosiologis masyarakat Indonesia. Cak Nun juga mewacanakan hal serupa.
“Ilmu-ilmu sosial mampu menggambarkan tulang rangka masalah kemiskinan, namun sosok manusia-manusia miskin, sosok keseluruhan kehidupannya bisa tertinggal dipojok layar pertunjukkan—meskipun yang disebut kebudayaan-kemiskinan sudah pula digambarkan. Artinya, kita memerlukan juga ilmu yang ‘manusiawi’, ilmu yang sehari-hari … Ilmu sehari-hari nampak absurd di depan rangka disiplin ilmu sosial ‘resmi’, seperti juga ilmu sosial terasa tidak bisa memuat segi-segi hidup sehari-hari manusia — yang seringkali tidak sekadar ilustratif sifatnya, namun substansial.”
Cak Nun Mengkririk Pembangunanisme
Perihal kemiskinan yang merajalela di dunia, bahkan khususnya di Indonesia, sebetulnya bukan bersifat natural. Cak Nun menyikapinya sebagai “pemiskinan” yang bersifat struktural. Dalam istilah lain, kemiskinan adalah dampak dari penguasaan yang dilakukan secara sengaja. Premis demikian banyak diulas Cak Nun sepanjang periodenya di Eropa.
Mari simak tulisan bertajuk Ke kekuasaan dan ke Perkembangan. Cak Nun berangkat dari teori “integritas persilangan ruang dan waktu” yang ia bedah menjadi gerak ke dalam sistem nilai kenyataan.
Baginya, terdapat perbedaan antara gerak kekuasaan dan gerak ke perkembangan. Lebih detail, Cak Nun melihat posisi keduanya sebagai sesuatu yang dibolak-balik, baik kekuasaan ke perkembangan maupun perkembangan ke kekuasaan — tergantung perspektif mana subjek melihatnya.
Sesungguhnya Cak Nun di sini mengkritik bagaimana developmentalisme sedang digencarkan oleh tiap negara di dunia waktu itu. “Orang mengorientasi kekuasaan dengan menjanjikan perkembangan yang lebih bener. Orang bisa mengaktifi perkembangan dengan pada akhirnya mempamrihi kekuasaan,” tulisnya.
Dalam sudut pandang ruang dan waktu, kedua hal itu, menurut Cak Nun, dapat dibedakan menjadi dua hal: perbedaan jangka pendek dan jangka panjang. Seseorang bisa mengambil posisi kekuasaan terlebih dahulu agar mampu melakukan program perkembangan.
Secara kritis Cak Nun menelusuri bagaimana agensi yang bersembunyi di balik otoritas penguasaan dalam rangka developmentaisme. Ia melihat sesuatu yang paling dasar, yakni “perkembangan apa dan siapa” dan “kekuasaan apa dan siapa”.
Pada skala negara, pola organisasi penguasaan niscaya terikat oleh “domino” konstelasi struktur internasional. Penguasaan yang terjadi selama ini, menurut Cak Nun, sebetulnya merupakan praktik eksploitasi segelintir orang.
Inilah yang digugat Cak Nun karena tak dilakukan berdasarkan “aturan bersama” sehingga berakibat pada kondisi menguasai atau dikuasai. Yang menguasai direpresentasikan oleh elite, sedangkan yang dikuasai diwakili rakyat. Dengan kata lain, kekuasaan bersifat monopoli sepihak, sehingga melahirkan struktur pemiskinan.
Pikiran saya tenggelam ke relung gagasan-gagasan kritis itu. Di tahun 80-an kritik tegas Cak Nun terasa pedas bagi penguasa. Catatan kritis nan kontemplatif mengucur deras dari balik tulisannya. Periode perjalanan di Eropa membuat Cak Nun makin akrab dengan wacana global, sehingga terlihat langgam gagasan tertulisnya sedemikian elaboratif dan reflektif.
Pendapat saya terafirmasi oleh lanjutan sajak Cak Nun yang saya kutip di atas:
kemudian tiba ke khomeiny
marx, fraire, dan ali syari’ati
madrasah frankfurt, ngo pinggir kali
berperang brubuh di rumah sin