CakNun.com

Kasih Sayang Allah dan Kelembutan Hati Rasulullah

27 Tahun Majelis Ilmu Padhangmbulan Jombang, Sabtu 31 Oktober 2020
Achmad Saifullah Syahid
Waktu baca ± 3 menit

Teman-teman dari Omah Padhangmbulan menata segala keperluan teknis untuk kelancaran tasyakuran 27 Tahun Padhangmbulan. Panggung sederhana di sebelah timur ndalem kasepuhan terpaksa tidak bisa digunakan. Kendati telah dipasang terob hingga depan halaman masjid, panggung sederhana itu basah oleh air hujan. Hanya layar besar yang masih digunakan untuk nyorot lampu proyektor.

Malam itu lokasi bergeser ke sebelah barat tepat di teras ndalem kasepuhan. Sedangkan jamaah bisa ngiyup di bawah terob dan serambi masjid. Jamaah yang hadir pada acara 27 Tahun Padhangmbulan cukup banyak dibanding bulan sebelumnya. Hujan-hujan, basah dan dingin tidak menyurutkan niat teman-teman jamaah untuk ikut bersyukur dan bergembira.

Acara dibuka oleh Bapak Abdullah Qoyim dengan tadarus Al-Qur’an. Dilanjutkan dengan pembacaan wirid dan doa bersama jamaah. Lek Ham mengawalinya dengan membaca Al-Fatihah untuk Kanjeng Nabi Muhammad, keluarga dan para sahabat, para penjaga tali sejarah, para sesepuh dan orangtua, para pembawa amanah Maiyah dan Padhangmbulan serta untuk kebaikan dan keselamatan jamaah Maiyah.

Cak Majid bersama jamaah membaca ayat-ayat yang ditulis oleh Mbah Fuad dan Mbah Nun. Lemud Samudro menemaninya dengan wirid Ya Mannan. Malam itu, di tengah guyuran hujan, doa-doa mengalir dalam orkestrasi kekhusyukan dan kepasrahan yang sangat.

Tasyakuran 27 Tahun Padhangmbulan juga diungkapkan melalui pemotongan tumpeng oleh Mas Pram, mewakili Omah Padhangmbulan dan dua orang dari jamaah. Tumpeng diserahkan kepada Mbah Fuad, Bapak Abdullah Qoyim dan Cak Yus.

Lalu jeda sejenak. Teman-teman jamaah pun murak berkat sembari menikmati sajian dari Lemud Samudro.

Doa Nabi Ibrahim, Nabi Isa dan Kelembutan Hati Rasulullah

Masih di bulan Maulud Mbah Fuad mengajak jamaah melakukan muhasabah, bercermin diri: apakah cinta Kanjeng Nabi kepada kita tidak bertepuk sebelah tangan? Menyimak dan mencatat poin yang disampaikan Mbah Fuad, saya berkesimpulan bahwa cinta kita kepada Kanjeng Nabi belum apa-apa dan tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan cinta Beliau kepada kita. Bahkan Kanjeng Nabi Kinasih Allah itu telah menyatakan cintanya kepada kita, yang kelak tidak bisa bertemu dan bertatap muka secara langsung dengannya.

Setiap melakukan khotbah, Rasulullah bersandar di sebatang pohon kurma. Lalu datang seorang sahabat yang menyampaikan inisiatifnya untuk membuatkan mimbar. Rasulullah setuju. Sejak saat itu Rasulullah tidak lagi bersandar di batang pohon kurma.

Apa yang terjadi? Pada kesempatan yang lain Rasulullah mendatangi pohon kurma itu lalu memeluknya. Para sahabat pun bertanya-tanya. Ternyata pohon kurma sedang sedih dan merana. Menangis ia karena tidak lagi menjadi sandaran Rasulullah saat berkhotbah. Sebatang pohon tidak rela ditinggal Rasulullah, bagaimana dengan kita?

Mbah Fuad juga menyampaikan riwayat bahwa Rasulullah pernah membacakan doa Nabi Ibrahim dan Nabi Isa. Nabi Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan manusia. Siapa yang mengikutiku maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan siapa yang mendurhakai aku, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ibrahim: 36)

Berbeda dengan doa yang dipanjatkan Nabi Nuh. “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir.” (Q.S. Nuh: 26-27)

Terlebih lagi doa yang dipanjatkan Nabi Isa. “Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Al-Maidah: 118)

Amru bin Ash dan para sahabat menunggu apa doa yang akan dibaca Rasulullah untuk umatnya. Nabi Muhammad tidak membaca doa apapun. Beliau menangis sambil menengadahkan tangan: “Ummati… ummati… ummati.” Malaikat Jibril bertanya, “Mengapa engkau menangis?” Nabi menjawab, “Aku tidak meminta apa-apa kepada Allah. Aku serahkan umatku kepada-Nya karena Dia lebih menyayangi mereka daripada aku. Kasih sayang Allah kepada hamba-Nya lebih tinggi daripada kasih sayangku kepada mereka.”

Beberapa riwayat yang lain juga disampaikan Mbah Fuad. Juga tiga sifat Nabi yang dinyatakan Allah dalam surat At-Taubah ayat 128-129, yakni: terasa berat oleh Nabi penderitaan umatnya, sangat menginginkan umatnya beriman dan selamat, serta amat belas kasih dan penyayang kepada orang-orang mukmin.

Cak Fuad memungkasi paparannya seraya mengingatkan jamaah agar bertawakal kepada Allah di tengah situasi tidak menentu ini sambil tidak sembrono menjaga kesehatan diri dan keluarga.

Kurang afdlol kiranya apabila pada tasyakuran ke-27 Padhangmbulan kita tidak menyimak pesan dari Cak Dil. Serambi Maiyah, ya, itu terminologi yang disampaikan Cak Dil supaya jamaah merintis kegiatan-kegiatan kreatif dan bermanfaat untuk lingkungan. Mengapa serambi? Kita cukup berada di serambi atau emper untuk tidak terlalu masuk ke dalam ruangan atau mihrab kedalaman masjid. Kita cukup tahu diri.

Namun demikian hal itu tidak mengurangi kontribusi manfaat yang kita persembahkan untuk sesama. Pertanyaan yang tersisa adalah apakah kita mau menjadi subjek atau cukup menjadi objek dari perubahan sejarah?

Exit mobile version