CakNun.com

Kasan Kusen

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 6 menit
Arabian Desert
Photo by Greg Gulik from Pexels

Sesudah dibantai dengan jenis kekejaman yang sukar dicari tandingannya dalam peradaban umat manusia, penggalan Sayidina Husein putra Fatimah putri Muhammad Rasulullah SAW diarak, diseret dengan kuda sampai sejauh 1.300 kilometer. Wallahua’lam, ada yang bilang dibawa sampai ke Mesir, yang lain bilang ke Syria — sebagaimana ada beberapa makam Sunan Kalijogo di Pulau Jawa — tapi pasti pembantaian sesama muslim itu terjadi di Karbala.

Orang yang mencintai beliau bisakah menangis hanya dengan mengucurkan air mata, dan bukan darah? Jutaan pencintanya memukul-mukul dada mereka agar terasa derita itu hingga ke jantung dan menggelegak ke lubuk jiwa. Ribuan lainnya membawa cambuk besi atau apa saja yang bisa melukai badan mereka agar kucuran darah itu membuat mereka tidak siapa pun kecuali Imam Husein sendiri. Orang yang mencintai melarutkan eksistensinya, melebur, hilang dirinya, dirinya sirna, menjadi orang yang dicintainya.

Keperihan maut Husein itulah yang menjadi sumber kebesaran jamaah Syi’i di dunia. Duka yang mendalam atas apa yang dialami cucu Nabi itulah yang membuat kaum Syiah menyerahkan hatinya dengan sangat penuh perasaan kepada komitmen ahlulbait, keluarga Nabi. Sementara di pusat Islam sendiri, Arab Saudi — kerajaan yang didirikan oleh koalisi keraton Abdul Aziz dengan ulama Wahabi — konsentrasi emosional terhadap ahlulbait sangat dicurigai sebagai gejala syirik yang melahirkan berbagai jenis bid’ah, yakni perilaku-perilaku budaya keagamaan yang diciptakan tidak atas dasar ajaran Nabi sendiri, sehingga dianggap mengotori kemurnian peribadatan Islam.

Semacam “dendam sejarah” yang berasal dari tragedi Karbala itulah yang melahirkan soliditas sistem imamah dalam budaya keagamaan kaum Syii. Kepemimpinan dan keumatan dalam Syiah merupakan kohesi horizontal-vertikal yang sangat berbeda vitalitasnya dibandingkan dengan tradisi kaum Sunni. Seandainya di Indonesia orang mengatakan “Gus Dur dengan 30 juta umat NU-nya” atau “Amien Rais dengan 25 juta umat Muhammadiyahnya” — yang dimaksud adalah kaum Syi’i, maka tidak ada kekuatan apa pun yang bisa mengalahkan koalisi NU-Muhammadiyah dalam perpolitikan Indonesia.

Kaum Sunni menyebut Abu Bakar, Umar, dan Utsman dulu sebelum Ali. Bahkan tidak secara spesifik menyebut Hasan dan Husein. Orang Syi’i jengkel kepada ketiga khalifah itu karena menurut versi sejarah mereka, tatkala Nabi Muhammad SAW wafat, yang menguburkan hanya Ali, Aisyah, Fatimah, Abbas, dan seorang lagi pekerja penguburan. Sementara Abu Bakar, Umar, dan Utsman sibuk di Tsaqifah, “KPU” yang memproses siapa pemimpin pengganti Nabi — tanpa memedulikan jenazah Nabi.

Bahkan, ketika tengah malam usai penguburan, sejumlah rombongan dipimpin Umar menggedor rumah Ali untuk memaksa menantu Nabi ini menandatangani pengesahan pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah pertama.

Sayidina Hasan, kakak Husein, juga tak kalah sialnya. Pagi-pagi, ia
disuguhi racun oleh istrinya yang lantas mengaku bahwa itu atas suruhan Muawiyah. Hasan memaafkan istrinya, dan besok pagi sesudah kejahatannya dimaafkan, sang istri kembali menyuguhkan racun, Hasan meminumnya dan menemui ajal.

Dalam kandungan hati orang Syiah, memang tidak banyak orang menderita seperti Rasulullah Muhammad SAW: jenazah beliau belum diurus, orang-orang yang sangat dicintainya sudah ribut memperebutkan jabatan.

Nabi unggul dan sangat populer sepanjang sejarah, tapi rumah yang ia tempati bersama Aisyah istrinya hanya seluas 4,80 x 4,62 meter. Makhluk diciptakan oleh Allah berupa cahaya, namanya Nur Muhammad — meskipun secara biologis ia dihadirkan 600 tahun sesudah Isa/Yesus — namun semasa hidupnya ia menjahit sendiri baju robeknya, mengganjal perut laparnya dengan batu di balik ikat pinggangnya, dan waktu wafat masih punya utang beberapa liter gandum.

Manusia yang paling mencintai Allah dan paling dicintai Allah, namun Allah merelakan keningnya berdarah dilempar batu oleh pembencinya, mengizinkannya mengalami tenung sebelum menerima tiga surah firman-Nya. Tak ada kemewahan dunia apa pun melekat padanya. Bahkan, ia tak sanggup menolong Fatimah putrinya yang beberapa hari bersembunyi telanjang dalam selimut di kamar karena pakaiannya dijual Ali suaminya untuk bisa makan.

Muhammad dan keluarganya sangat disayang, bahkan dicintai dengan gelegak rasa perih, karena derita. Ia pun memilih karakter abdan nabiyya, nabi yang rakyat jelata, dan menolak ditawari Allah menjadi mulkan nabiyya, nabi yang raja diraja.

Allah menawarinya jabatan raja agung dengan kekayaan berupa gunung emas — yang ternyata memang sudah disediakan oleh-Nya, di wilayah antara Madinah dan Mekkah, yang hari ini menjadi cadangan kekayaan Arab Saudi, di samping tambang minyak temuan baru di perbatasan Saudi-Yaman yang hari ini bisa menjadi sumber konflik antara kedua negara. Sebab, jika Yaman menguasai sumber minyak itu, karena daerah geografisnya lebih rendah, maka minyak Saudi di perut bumi akan terserap olehnya.

Rasulullah pernah bersabda bahwa kelak kaumnya akan mengalami kekalahan dan hidup dalam kehinaan, karena “hubbud dunya wa karohiyatul maut” — kemaruk pada harta dunia dan takut mati.

Wallahua’lam. Dalam hal maut, mestinya kaum Syi’i lebih memiliki etos dan kesadaran spesifik, karena riwayat Ali, Hasan, dan Husein yang mereka tokohkan. Maut dan derita Husein adalah sumber tenaga sejarah. Kematian Husein bukan balak atau tragedi, melainkan kebanggaan yang melahirkan kesadaran baru mengenai ideologi “jihad” dan “syahid”.

Jihad adalah persembahan total diri seseorang kepada kepentingan Allah melalui perjuangan kebenaran yang diyakini. Jihad membuat dunia menjadi kecil, remeh, dan tidak penting. Jika seseorang sudah terpojok, bedil musuh di depan dan kiri-kanannya, sementara kebuntuan di belakangnya, maka jiwa jihad menjadi menggelegak. Keterpojokan membuatnya bersyukur karena dunia, hedonisme, kemewahan, dan segala hiasannya sudah tidak punya makna lagi. Tinggal satu: Allah.

Jika Ia sendirilah yang merupakan tuan rumah dalam kehidupannya, maka kematian adalah sesuatu yang dirindukan. Maka, ia terus bersemangat untuk berperang. Bukan karena perang itu sakit atau nikmat, melainkan karena Allah memberinya jalan syahid tanpa hambatan dunia. Maka peluru musuh tidak dihindarinya, melainkan disongsongnya.

Karena itu, bisa dipahami tatkala pasukan koalisi kecele bahwa ternyata kelompok Syiah tidak begitu saja bisa diprovokasi untuk serta-merta mensyukuri kedatangan pasukan koalisi, hanya karena sepanjang hidup di Irak mereka ditekan oleh Saddam Hussein.

Akan tetapi, pada level kualitas perjuangan yang lebih tinggi, juga sangat disayangkan bahwa kaum Syiah tidak mampu secara kolektif meneruskan konsistensi etos jihad dan syahidnya sampai ke tingkat substansi yang lebih berkemuliaan. Ketika mereka melakukan pawai ke Karbala untuk mengekspresikan rasa cinta Husein, yang terjadi baru semacam pelampiasan bahwa kini Saddam penghalang mereka sudah tidak memiliki kekuatan.

Pawai itu tidak membawa mereka kepada nilai kepemimpinan dan perjuangan yang lebih tinggi yang menyangkut: (1) Nasionalisme Irak tanah persemayaman mereka, (2) Martabat bangsa-bangsa Timur Tengah, juga, (3) Harga diri kaum muslimin di hadapan fundamentalisme Bush.

Pawai Karbala hanya menyampaikan kaum Syiah pada keperluan lokal kaum Syiah sendiri. Peta yang tergambar hanya kekuasaan Saddam dan eksistensi kaum Syiah di Irak. Padahal, sesungguhnya mereka kini berada dalam posisi yang relatif sama dengan Saddam dan negara-negara Arab lainnya, dalam konteks adikuasa Amerika Serikat.

Bush barusan menyatakan bahwa minyak Irak bukanlah milik Saddam dan keluarganya. Sesungguhnya Bush utamanya sedang berkata kepada monarki Arab Saudi: minyak di Saudi bukanlah milik Raja Saudi beserta para amir dan keluarga serta keluarga kerajaan. Bersiaplah pada suatu hari wacana itu akan diaplikasikan. Kerajaan Arab kini berada dalam ketakutan yang mendalam: Raja Fahd sudah hampir terkikis kesehatannya, Fahd yang menggenggam de facto kekuasaan sudah berumur 84 tahun, beberapa pangerannya sakit kaki.

Sejak 1980, Arab mengizinkan tanahnya menjadi salah satu pijakan kekuatan militer Amerika Serikat. Kerajaan mendapat jaminan bahwa keluarganya tak akan diutik-utik. Silakan ambil Irak, Suriah, atau mana pun, asal keluarga Saudi tidak diganggu. Kalau perlu, apa boleh buat, Mekkah dan Madinah dikuasai, asalkan kerajaan tetap selamat. Tapi, siapakah yang menjamin keselamatan eksistensi keraton Saudi tanpa ia sendiri membangun kekuatan di dalam dirinya? Apakah Amerika Serikat menjamin keamanan mereka, meskipun rudal-rudal Patriot milik Kerajaan Saudi di-“infak”-kan kepada pasukan koalisi untuk dipakai menghancurkan Irak, saudaranya sendiri, pada peperangan Maret-April kemarin?

Kekuasaan Saudi tak usah dibayangkan akan sanggup melindungi Mekkah dan Madinah. Tidak mustahil, dua sampai lima tahun lagi, keluarga Kerajaan Saudi tak akan sanggup mempertahankan eksistensinya dari gejolak dan pemberontakan rakyat Saudi yang sudah benar-benar sangat bosan hidup dalam situasi kenegaraan yang tanpa rasionalitas, tanpa demokrasi, tanpa kebudayaan, tanpa tradisi ilmu, tanpa etos-etos modern, dan sepertiganya kini menjadi penganggur, tidak terbiasa bekerja keras, jualan sayur saja gagal.

Kemarin saya mendatangi tumpukan batu tinggi kokoh bekas benteng pertahanan keluarga Yahudi Kaab bin Asraf di kota Madinah. Rasulullah sebelumnya telah mengumpulkan semua segmen masyarakat Madinah untuk bersama-sama menandatangani Piagam Madinah — etika masyarakat plural. Namun, Kaab melanggar perjanjian itu. Terjadi peperangan, Kaab kalah. Dan di milenium III abad ke-21 ini, Kaab akan hadir kembali mengambil Madinah.

Jadi, masalahnya bagi kaum Syiah bukan sekadar bagaimana mereka mendapatkan kemerdekaan hidup di Irak, karena sesungguhnya sekadar di Irak pun, pasca-Saddam, kemerdekaan kaum Syiah itu juga semu. Peta Timur Tengah dan dunia sudah berubah total. Konflik Sunni-Syiah seharusnya sudah menjadi sekunder. Kalau orang Syiah memukul-mukul dada mereka, merintih-rintih, menangis, dan memekik-mekik — konsentrasi keperihan itu kini tidak lagi an sich derita Sayyid Husein belasan abad yang lalu.

Kasan Kusen — demikian masyarakat santri tradisional Jawa menyebut nama kedua cucu Nabi itu — abad ke-21 tak kalah menderitanya. Mereka tak hanya dicacah-cacah tubuhnya dan dipenggal kepalanya. Mereka bahkan dirudal, dibom, dimusnahkan, disirnakan, diinjak-injak harga diri kemanusiaan dan martabat kebangsaannya, bahkan dirampok hartanya secara terang-terangan.

Dimuat pada Majalah GATRA Nomor 24, Senin 28 April 2003

Lainnya

Min Adab-idDunya ilaa Fuad-ilJannah

Min Adab-idDunya ilaa Fuad-ilJannah

Al-Quran Tidak Ikut Pensiun

Alkisah, Allah serius menciptakan Nur Muhammad, sehingga melanjutkannya dengan bikin jagat raya alam semesta beserta penghuninya.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version