CakNun.com

Kapitalisme Dibunuh Corona atau Bunuh Diri, Bagaimana Maiyah Menyikapi?

Eko Tunas
Waktu baca ± 3 menit

Filsuf muda asal Semarang Martin Suryajaya menulis cukup menarik tentang Corona. “Membayangkan Ekonomi Dunia Setelah Korona”, judul tulisannya, perlu diberi sub judul ‘Cerita Tentang Dua virus’.

Dua virus yang dimaksud ialah kapitalisme dan sosialisme. Kemudian pada bagian penting tulisannya, dia membuat kemungkinan adanya empat penunggang kuda hari kiamat, yakni: de-industrialisasi, de-finansialisasi, diskoneksi fisik, pelokalan global.

Tanpa mengutip beberan empat penunggang kuda, tulisan Martin mau mengatakan simpel. Bahwa, virus Corona atau Covid-19 telah mengubah kahar dunia. Ya, virus yang merebak awal di pasar ikan Huanan Wuhan, telah melakukan pembunuhan terhadap kapitalisme.

Martin benar berasumsi, Covid-19 telah membuat kiamat besar terhadap kapitalisme. Antara lain dengan dia membandingkan dengan kiamat ‘biasa’ saat merebaknya Black Plague 1338-1351 yang pandeminya merenggut 30% populasi manusia di tiap titik wabah itu berjangkit.

Meloncat sesudah itu, kita catat nama-nama virus perenggut prosentase populasi dunia. Khusus di era kejayaan kapitalisme. 2003 Sars 10%, 2009 flu babi 4,5%, 2014 Ebola 25%. Kemudian di 2018 Bill Gates meramal, sesudah Ebola akan datang virus baru yang memakan korban tidak pandang bulu.

Bagi Bill kekejaman virus melebihi perang nuklir sekali pun, bahkan tidak ada milisi yang mampu membarikade walau secara block down. Terbukti di 2020 di hari ke 78 Covid-19 telah membunuh 2% populasi manusia sedunia.

Setelah Bill apakah prediksi Yuval Noah Harari benar adanya. Bahwa era genetika-chips-teknologi pasca virus adalah era “awal sebelum akhir”. Yakni era Homo Sepiens menuju Homo Deus. Setelah pesta kebersamaan, manusia akan hidup personae mengurung diri dan lebih percaya kepada Tuhan baru bernama ‘data raya’.

Baiklah, sila para peramal bermain imajinasi sampai ke tingkat ilusi-delusi. Saya juga bisa bermain berdasar data. Dalam hal ini saya mau mendasarkan diri pada hadits Nabi: serahkan segala sesuatu kepada ahlinya, kalau tidak tunggu saat kehancurannya. Plus memo Karl Marx: kapitalisme akan menggali kubur sendiri.

Dari beberapa data, ada sumber menarik, seorang master kesehatan lulusan Undip Semarang, Muslimin. Dalam satu wawancara dia mengatakan, bahwa virus Covid-19 sebenarnya virus biasa yang tidak terlalu membahayakan. Hanya penyebarannya yang cepat dan masif perlu diantisipasi.

Ada tiga golongan yang rentan: orang lanjut usia, balita, penderita penyakit kronis. Selebihnya kalau kita sehat dan mampu bersih dan jaga jarak, seperti pada umumnya supaya tidak tertular flu, akan baik-baik saja. “Corona itu jenis virus paling lemah,” tutur sang master, “cukup dengan cuci tangan pakai sabun mati dia. Yang penting jangan sampai masuk rongga pernapasan, itu rumah idealnya, lembab dan gelap.”

Jadi bagi saya kapitalisme bukan mati oleh Corona. Tapi karena inverioritas pelakunya yang terdidik kapitalisme terlalu mendramatisir, mengalami ilusi-delusi massal. Ya kalau itu dialami satu-dua orang biasa pelebay. Bagaimana kalau itu dirasakan pemimpin, akan bagaimana jadinya. Betapa banyak negara akan hancur oleh mahluk kecil lemah yang bahkan tidak kasat mata.

Penyakit personae-individual itulah yang membuat mereka mengalami trans lalu melakukan ‘bunuh diri’ secara liberal. Sebagian bahkan sungguh menjadikannya panggung politik, sebagai permainan ala Joker di tengah wabah, dengan trik-trik ketakutan dan kecemasan.

Baik, saya mau menarik dua kemungkinan pembenaran. Pertama dari Martin Suryajaya. Bahwa, simpul dia, kalau Covid-19 membuat kiamat kapitalisme, dan kalau kita memang sudah kapitalis, maka suka atau tidak suka kita mesti kembali ke sosialisme, mulai belajar menjadi manusia sosialis, sebelum kita memilih barbarian.

Kedua, Yuval Noah Harari, benarkah kita sedang bergerak dari Homo Sepiens ke Homo Deus. Kita mulai hidup sendiri di rumah masing-masing sambil meyakini data teknologi.

Lalu bagaimana dengan Maiyah. Maiyah yang di tiap Maiyahan mendawatkan ribuan manusia. Ya jawabannya ikuti sang pemimpin. Kita jadi Homo Deus, bermaiyah menghadapi gadged bersama di youtube. Bukankah sudah ratusan Maiyah kita bersama, dengan suasana sosialisme: Sinau Bareng.

Lagi, bukankah Maiyah bukan industri agama?

Eko Tunas
Sastrawan Indonesia. Seniman serbabisa. Menulis, melukis, dan berteater sejak masih duduk di bangku SMA. Lahir di Tegal tahun 1956. Saat ini tinggal dan menetap di Semarang.
Bagikan:

Lainnya

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Setelah Wirid Wabal yang dipandu Hendra dan Ibrahim, Kenduri Cinta edisi Maret 2016 yang mengangkat “Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit” kemudian dimulai dengan sesi prolog.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Hilwin Nisa
Hilwin Nisa

Tidak

Exit mobile version