CakNun.com

‘Jihad’ pun Membutuhkan Data

Hilwin Nisa
Waktu baca ± 4 menit

Satu bulan lebih sudah, ‘di rumah aja’ menjadi imbauan yang dianjurkan untuk masyarakat Indonesia. Semenjak kehadirannya di negeri ini terdeteksi akhir Februari lalu, Corona telah mengubah banyak aspek dalam kehidupan kita. Hampir tidak ada kalangan yang tidak merasakan dampak dari Corona. Semua lini kehidupan juga ikut terkena imbas dari penyebaran virus Corona.

Mulai dari pelajar, pedagang kaki lima, peternak, karyawan kantoran, sampai pebisnis, semua merasakan ‘sapaan’ virus Corona. Coba sebutkan, apa dan siapa yang tidak ‘disapa’ Corona. Pendidikan, pangan, kesehatan, ekonomi, agama, budaya, dan psikologi. Semua tidak ada yang tidak tersentuh oleh kehadiran Corona.

Para pelajar dan guru ‘dilatih’ untuk mulai akrab dengan pembelajaran daring. Orangtua juga diingatkan kembali akan perannya untuk turut mensukseskan pendidikan putra-putrinya. Bahwa rumah memiliki andil yang cukup penting dalam keberhasilan pendidikan. Kita juga diajak untuk merenungi kembali akan esensi ibadah kita sehari-hari. Distribusi pangan juga tak lagi semudah sebelum masa pandemi seperti saat ini. Dan masih banyak lagi perubahan-perubahan yang menyertai kehadiran virus Corona ini.

Berawal dari Data yang Akurat

Meminjam bahasa Mas Sabrang, setidaknya ada dua pilihan yang dapat kita ambil saat menghadapi masa krisis seperti ini. Larut dalam perasaan menjadi ‘korban’, ataukah bergegas bangkit dan menerimanya sebagai suatu tantangan.

Semakin kita lekas bangkit dan sadar akan tantangan yang sebaiknya kita ambil, akan semakin terasah pula daya kreativitas kita. Pada salah satu Reboan on The Sky, Mas Sabrang mengajak jamaah untuk mengambil tantangan ini dan menjadi decision maker, alih-alih larut dalam gagap menghadapi perubahan-perubahan.

Solusi-solusi mulai coba dicarikan. Apa dan bagaimana sebaiknya kita menyikapi perubahan demi perubahan. Mulai dari solusi yang kita butuhkan saat ini, dan juga nanti seusai pandemi. Solusi jangka pendek, menengah, dan panjang. Skenario terburuk coba diilustrasikan, meskipun kenyataannya, harapan terbaiklah yang tetap digantungkan kepada Tuhan.

Berbicara solusi, tak ada salahnya jika kita berangkat dari ilustrasi skenario tadi. Mencoba membuat skenario di berbagai lini, akan apa yang kita butuhkan saat ini, dan juga nanti. Mulai dari pangan, kesehatan, pendidikan, ekonomi, agama, budaya, sampai psikologi kita dan masyarakat lainnya.

Hanya saja, masih menurut Mas Sabrang, untuk mengambil kebijakan-kebijakan ini, kita membutuhkan data yang akurat. Untuk menerapkan zakat dan sedekah misalnya, kita perlu tahu, siapa saja yang membutuhkan. Bukan hanya sekadar membutuhkan, tapi siapa yang lebih membutuhkan dibandingkan lainnya. Untuk ketahanan pangan, kita juga butuh data perihal sumber daya potensial di tiap-tiap wilayah. Di bidang ekonomi, kita juga butuh data mengenai pekerjaan apa saja yang terdampak oleh Corona, dan apa kiranya pekerjaan baru yang justru dibutuhkan di masa Corona. Semua membutuhkan data.

Yang perlu digarisbawahi, Mas Sabrang menekankan kembali, bahwa data yang akurat di sini bukan berarti seratus persen akurat. Tidak akan pernah ada data yang seratus persen akurat. Selalu ada deviasinya. Hanya saja, mengambil kebijakan berdasarkan data akan jauh lebih baik dibandingkan pengambilan kebijakan tanpa dasar data. Mengambil kebijakan berdasarkan data yang kevalidannya delapan puluh persen, masih lebih baik dibandingkan data yang kevalidannya lima puluh persen. Begitu seterusnya.

Menemukan Formula

Kenapa data bisa sangat membantu? Sebenarnya data hanya akan menjadi data selama tidak digunakan dengan tepat. Data masih butuh diinterpretasikan, hingga kita dapat mengambil informasi dan bisa menarik kesimpulan dari informasi-informasi tersebut.

Sederhananya, dari data yang ada, kita dapat melihat persebaran suatu variabel yang dibicarakan. Kita bisa melihat deskripsi dari variabel tersebut. Terkait pendapatan misalnya, kita bisa tahu berapa rata-rata pendapatan yang diperoleh masyarakat di suatu wilayah. Seberapa kesenjangan penghasilan orang dengan pendapatan tertinggi dengan yang paling rendah. Dari sana, kita juga bisa meng-cluster-kan pendapatan masyarakat. Kita juga bisa melihat, aspek apa saja yang berpengaruh signifikan terhadap pendapatan seseorang. Sehingga, kalau ingin menaikkan penghasilan masyarakat di suatu wilayah, pengambil kebijakan bisa ‘memainkan’ aspek-apek yang mempengaruhi penghasilan seseorang tersebut.

Tidak hanya itu, data juga bisa membantu kita memperkirakan apa yang akan terjadi ke depan. Sederhananya, dari data-data yang ada, kita bisa menemukan suatu pola. Bagaimana pola data-data tersebut, sehingga bisa dibuatkan formula. Dari formula tersebut, kita bisa mengilustrasikan apa yang akan terjadi ke depannya.

Dengan mengilustrasikan apa yang akan terjadi, kita pun bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan. Jika ada potensi akan hal buruk atau hal-hal yang tidak diharapkan terjadi, kita bisa tahu, apa yang sebaiknya dilakukan agar hal tersebut tidak sampai benar-benar terjadi. Kalaupun hal ‘buruk’ tersebut tetap terjadi, kita sudah mempersiapkan, apa saja yang perlu dipersiapkan dan dilakukan agar dampaknya tidak terlalu buruk. Tidak seburuk jika kita menghadapinya tanpa persiapan apapun.

Di bidang kesehatan yang identik berhubungan dengan nyawa seseorang, model dan formula dari suatu data untuk peramalan ini sangatlah membantu. Terkait persebaran suatu penyakit misalnya, kita bisa memperkirakan bagaimana laju pertumbuhan penyakit tersebut. Perlakuan seperti apa yang sekiranya mampu menghambat pertumbuhan penyakit. Obat mana yang sekiranya paling efektif dalam memberikan kesembuhan. Semua bisa diperkirakan di awal, tanpa kita harus menunggu pembuktian dan ‘mempermainkan’ nyawa seseorang.

Merencanakan Kebermanfaatan

Mengutip apa yang seringkali dibicarakan oleh para ahli di bidang ilmu data, formula atau model yang bagus tidak akan pernah ada tanpa adanya data yang bagus. Seberapa bagus model peramalan yang kita buat, ini sangat bergantung pada seberapa baik data yang kita punya. Dengan kata lain, semakin akurat data yang kita punya, peramalan yang kita dapatkan pun juga akan semakin mendekati kejadian yang sebenarnya.

Data yang baik sangat erat kaitannya dengan bagaimana proses kita dalam mengumpulkan data. Bagaimana kita menentukan dan mengambil sampel yang akan menjadi data kita. Apakah sampel-sampel tersebut sudah bisa mewakili populasi yang ada. Bagaimana kita membuat indikator-indikator untuk mendapatkan nilai dari suatu variabel yang kita butuhkan. Kalaupun data-data yang kita dapatkan masih belum terstuktur rapi, bagaimana agar data tersebut menjadi terstruktur rapi, dan beberapa pekerjaan lainnya yang membuat data tersebut sampai pada tahap siap dianalisis.

Barangkali, ada di antara kita yang bertanya-tanya, kenapa kita perlu repot-repot mengumpulkan data, mempersiapkan data, dan meramalkan hal-hal yang akan terjadi di depan. Bukankah semua ada yang mengatur? Yang akan terjadi ya biarlah terjadi, dan pasti akan tetap terjadi jika memang itulah yang dikendaki.

Bisa jadi pernyataan tersebut ada benarnya juga. Hanya saja, tiba-tiba saya ingat akan apa yang disampaikan Mbah Nun. Bahwa terhadap yang kita tahu, sebaiknya kita mendekatinya dengan ilmu dan pengetahuan, dan terhadap yang kita tidak tahu, kita bisa mendekatinya dengan iman.

Pernyataan Mbah Nun tersebut mengingatkan kita, agar dalam hal apapun, sebisa mungkin kita berusaha mendekatinya dengan ilmu dan pengetahuan. Baru setelah itu, jika akal pikiran dan ilmu pengetahuan kita tak lagi bisa menjangkaunya, kita bisa mengembalikan dan memasrahkannya kepada Sang Maha.

Apapun itu, sebenarnya ini hanyalah bagian dari upaya untuk berlomba memperindah. Berlomba-lomba menebar kebaikan dan kebermanfaatan. Barangkali, dengan mempersiapkan data dan mengambil kebijakan berdasarkan data, akan semakin banyak kebermanfaatan yang disebarkan darinya. Juga, akan semakin kecil mudharat yang mungkin akan muncul nantinya.

Jakarta, 11 Mei 2020

Lainnya

Mengkonstruksi Pendidikan Fungsional Organis

Mengkonstruksi Pendidikan Fungsional Organis

Pandemi membuat dunia pendidikan menderita. Menderita kebingungan, sistem serta ekosistem pendidikan menjadi kurang atau sama sekali tidak efektif.

Mustofa W. Hasyim
Mustofa W.H.