Jamaah Tabligh Sri Lanka Mampir Bermaiyah


Prolog Mocopat Syafaat Januari silam Mas Helmi menyentil Universitasnya Para Mahasiswa Yogyakarta. Tulisan itu eksplisit menandai jamaah Mocopat Syafaat kebanyakan dari kalangan kampus. Tapi pengertian itu dapat diperluas bahwa sebagai “perguruan tinggi” Mocopat Syafaat memang mempunyai magnet tersendiri bagi pembelajar. Tak terkecuali bagi empat musafir dari luar negeri itu. Mereka menyebut dirinya Jamaah Tabligh.
Bergamis putih tulang keempat orang itu menuju panggung. Penampilannya begitu kontras di tengah jamaah Maiyah Mocopat Syafaat yang berpakaian kaos nan bercelanakan jeans. Seorang audiens di samping saya menyeletuk, “Siapa itu kok seperti orang Timur Tengah?” seraya menanti keterangan.
Setiba di panggung Cak Nun mengenalkan keempat tamu itu. Mereka datang dari Sri Lanka. Rombongan “pejalan sunyi” yang bersafari dari rumah ke rumah, menyiarkan nilai-nilai Islam kepada jamak orang yang ditemuinya. Malam itu mereka ke Mocopat Syafaat, ikut menimba ilmu, melihat oase Islam dari perspektif lain.
Tak dinyana ekspresi keempat Jamaah Tabligh itu terlihat antusias. Tercitra bungah di satu sisi karena bertemu keluarga baru di Maiyah, sedangkan di sisi lain sesekali mengernyitkan dahi—kendala perbedaan bahasa membatasi. Batas itu dipercair oleh Kiai Muzammil dan Cak Nun sebagai translator bahasa Arab ke Indonesia dan sebaliknya.

“Segala pertemuan itu adalah percintaan. Orang Maiyah memiliki Luthfun (kelembutan hati). Itu kenapa Maiyah bisa bertahan berjam-jam sampai pagi. Kemarin di Kenduri Cinta kita bahas lingkup tersebut,” tutur Cak Nun. Ia mengharapkan forum Mocopat Syafaat malam itu dapat dijadikan medium tegur-sapa. Antara Maiyah dan tamu Sri Lanka.
Akhyar, kolega rombongan Sri Lanka, mengawali perkenalan malam itu dengan menyebut mereka kaum muhajirin. Tujuan mereka memperbaiki diri. Menurutnya, terdapat empat pantangan bagi Jamaah Tabligh. “Mereka tak menyentuh politik praktis, status sosial, khilafiyah, dan perundungan,” jelasnya. Mereka, tambah Akhyar, cenderung meniru-niru, menapaktilasi orang dahulu (para Sahabat Nabi).
The Guardian pernah mewedar kedudukan Jamaah Tabligh dalam laporan beritanya bertajuk What is the Tablighi Jamaat? Menurut warta itu Jamaah Tabligh sama dengan kelompok penyampai atau penyebar iman—sebuah gerakan dakwah anti politik praktis yang mengajak umat Islam untuk meneladani perilaku Rasulullah selama hidup.
Jauh dari hiruk-pikuk gejolak politik transnasional yang kerap dialamatkan kepadanya, Jamaah Tabligh, menurut Akhyar, “Justru lebih gemar berpuasa. Menyampaikan ke orang lain agar memperbaiki diri sendiri.”

Kecenderungan puasa acap diwedar Cak Nun. Di Maiyah, refleksi Mas Aji, selalu sinau bareng perihal nandur, puasa, dan ngunduh. “Kita duduk di sini, sadar atau tidak, kita ikhlas satu sama lain,” katanya. Poin nandur ditegaskan sebagai upaya mendalami secara serius apa yang digeluti jamaah. Posisi nandur ini telah diperjuangkan Cak Nun sejak embrio gerakan Maiyah pada titimangsa 90-an.
Selama nandur, kerap datang distraksi. Di situ puasa sedemikian penting. Ia menjadi penjernih antara keinginan dan kebutuhan. “Sekadar mengelola keinginan saja susah. Sehari-hari kita diiming-imingi banyak hal. Puasa, karenanya, menjadi sangat penting untuk menahan gangguan tersebut,” papar Mas Aji. Terakhir, poin ngunduh, merupakan efek dari proses panjang nandur dan puasa. Setarikan napas dengan peribahasa siapa menanam akan menuai atau ngunduh wohing pakarti.
Malam itu malam terakhir bagi rombongan Jamaah Tabligh Srilangka di Indonesia. Puncak perjalanan mereka dihabiskan di Mocopat Syafaat. “Sudah empat bulan di Indonesia dan hari ini hari terakhir,” ucap salah satu rombongan kepada audiens. Kesempatan terakhir di Yogyakarta itu mereka gunakan untuk menimba pengalaman.

“Kepercayaan menuju keyakinan itu apakah ada thariqat khusus?” tanya seorang jamaah. Pertanyaan itu direspons salah seorang rombongan. Berikutnya dielaborasikan Cak Nun. “Keyakinan tanpa ilmu maka lumpuh,” tandasnya, “Tuhan menggugah kita dengan pengetahuan. Al-Qur’an sebagai sumber ilmu menjadi pedoman. Ilmu dan iman tak dapat dipisahkan.”
Musyawarah Semesta Raya
Mocopat Syafaat malam itu ketiban hoki. Selain didatangi tamu di seberang pulau, Pak Eko Winardi datang menyiarkan rencana Teater Pedikan. “Pementasan teater perdikan bukan peristiwa pementasan teater. Melainkan peristiwa konsolidasi. Aktor bukan menyajikan, melainkan mengupacarakan,” ujarnya. Teater Perdikan, bagi Pak Eko, mempunyai kredo tersendiri.
Teater Perdikan tak mengabdi kepada estetika seni. Tapi lebih pada silaturahmi. “Sejak pementasan Tikungan Iblis, spirit memperkuat komunikasi antarsesama para pekerja Teater Perdikan makin kuat. Ia berpesan agar jamaah Maiyah ikut mangayubagya tanggal 7-8 April di Concert Hall. Dikatakannya kalau di gedung megah itu akan diadakan Musyawarah Semesta Raya.

Senada dengan Pak Eko, Pak Seteng menambahkan makna filosofis di balik perdikan. “Perdikan itu sebuah wilayah yang otonom, memiliki kemerdekaan terhadap segala intervensi, kecuali kepada Tuhan.” Kata itu sering digunakan di zaman Kesultanan Demak untuk menyebut wilayah bebas pajak.
Kabar baik itu melengkapi film akan tayang dengan dibintangi Bu Novia. Film berjudul Terima Kasih Emak Terima Kasih Abah (TETA) direncanakan muncul di bioskop akhir Maret. Semua menanti dengan riang gembira.