CakNun.com

Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan

Restart Muamalah versi Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyyin: Refleksi Milad Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyyin ke-9
Nahdlatul Muhammadiyyin
Waktu baca ± 32 menit
Lorong kampung Kauman Yogyakarta yang menjadi pasar pada waktu tertentu
Lorong kampung Kauman Yogyakarta yang menjadi pasar pada waktu tertentu. Foto: Mustofa W. Hasyim.

Mukaddimah

Muamalah, lengkapnya muamalah duniawiyah, adalah wilayah ijtihadi yang paling luas dalam ajaran agama Islam. Seluas wilayah kehidupan manusia itu sendiri. Pedoman fikihnya, ushul fikihnya, jelas dan sederhana. Pada dasarnya muamalah itu mubah. Semua boleh dilakukan kecuali hal-hal yang jelas (qath’i) melarangnya. Nabi Muhammad Saw sendiri ketika bakda Subuh berjalan-jalan bersama sahabatnya di Madinah melihat petani kurma menyerbukkan bunga kurma lalu menegurnya agar tidak melakukan itu. Pada musim panen, petani kurma itu mengadu kepada Nabi, dia gagal panen kurma gara-gara tidak melakukan ikhtiar penyerbukan bunga kurma. Mendengar pengaduan itu Nabi yang lahir di lingkungan pedagang dan ahli dalam berdagang, bukan bertani, sadar lalu mengoreksi pendapatnya dulu, “Kalian lebih mengetahui dengan urusan duniawimu.” Maksudnya, bagi petani kurma yang lebih ahli tentang pertanian kurma adalah petani itu sendiri dan diminta melakukan kegiatan berdasar ilmu pengetahuan tentang pertanian kurma.

Dalam konteks ini, Nahdlatul Muhammadiyyin setelah menelusuri perjalanan panjang tentang cara berekonomi dan membangun bangunan ekonomi di negeri ini berkesimpulan bahwa terlalu banyak pilihan dan kebijakan yang dijatuhkan dari atas yang berakibat pada menjauhnya kesejahteraan dari rakyat itu sendiri. Basis ekonomi yang diurusi dan digerakkan oleh negara cenderung pada pilihan investasi. Investasi menjadi kata keramat mendekati mantra ekonomi negara. Bahkan secara akuntansi, jumlah dana investasi yang masuk dihitung sebagai bagian dari faktor pertumbuhan ekonomi nasional. Bukan dari hasil atau profit (produksi) usaha dengan modal investasi ini. Profit menjadi sesuatu yang terjepit dalam perhitungan pertumbuhan ekonomi nasional. Sementara itu lembaga penggelontor investasi dimanjakan dan lembaga permainan modal memperoleh tempat terhormat. Sektor fiktif ini menjepit sektor riil, yaitu sektor produksi dan transportasi distribusi produksi.

Dengan permainan investasi seperti itu memudahkan untuk melakukan permainan lanjutan. Misalnya investasi yang terjadi karena proses relokasi pabrik yang menghasilkan barang ekspor misalnya, ternyata komponen impor dari barang produksi yang diekspor itu demikian dominan. Kadang rakyat atau masyarakat di dalam negeri memiliki potensi menghasilkan komponen itu, tetapi untuk memudahkan urusan dan melindungi investasi dari luar itu, komponen itu didatangkan sebagai barang impor, dan setelah jadi barangnya baru diekspor. Profit dari usaha berbasis investasi pun mengalir ke luar negeri, ke pihak yang melakukan investasi. Rakyat kecil kebagian remah kemakmuran berupa upah buruh murah, dan negara kebagian remah kemakmuran berupa pajak. Rakyat kecil yang dalam konfigurasi usaha nasional dipenjara dalam konsep usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah dan koperasi pun tidak bisa berbuat banyak untuk mengubah nasibnya, bahkan selama 75 tahun kemerdekaan negeri ini diproklamirkan.

Oleh karena itu, rakyat perlu membebaskan diri dari penjara konsep usaha yang menempatkan rakyat pada posisi marjinal pemanen dalam peta kegiatan ekonomi nasional itu. Caranya, rakyat perlu membuat peta jalan (road map) ekonomi sendiri untuk menolong diri sendiri. Yaitu mengokohkan kegiatan ekonomi kerakyatan yang berkeadilan sebagai bagian dari praktik ekonomi Pancasila yang pernah dirumuskan oleh Bapak Ekonomi Kerakyatan Indonesia, Bapak Prof. Mubyarto dari UGM Yogyakarta. Metodenya, dengan mengubah basis ekonominya. Rakyat perlu memilih basis ekonominya yang jitu yaitu produksi yang dilengkapi distribusi berbasis teknologi dan transportasi local.

Bagian Satu: Wilayah Konsep

Kewajiban Memilih Produksi sebagai Basis Ekonomi

Produksi adalah sektor riil atau sektor nyata dalam berekonomi. Barang siapa menguasai sektor riil, produksi, dia menjadi tuan atau pengendali ekonomi, khususnya ekonomi kerakyatan. Sebab produksi rakyat akan terhubung langsung dengan konsumsi rakyat. Ekonomi produksi adalah sesuatu yang kompatibel terhadap ekonomi kerakyatan, terhubung atau terkoneksi dan terkorelasi lewat transaksi-transaksi langsung, tidak terhalangi oleh broker. Rakyat produktif karena memproduksi barang kebutuhan hidup rakyat sendiri maka dengan sendirinya dan dengan seharusnya konsumsi rakyat akan terjamin. Inilah yang disebut sebagai kemakmuran rakyat, kemakmuran absolut. Kemakmuran yang nyata, adil, dan manusiawi. Transaksi people to people, citizen to citizen, man to man dalam ekonomi produksi kerakyatan jika berjalan wajar, lancar, dan berlangsung secara organis akan berbuah kemakmuran berkeadilan tadi. Tidak ada mekanisme eksploitasi, yang ada justru eksplorasi kemungkinan-kemungkinan menuju adaptasi alami menuju kemajuan ekonomi, ekonomi kerakyatan itu sendiri.

Untuk ini kemajuan ekonomi atau peningkatan ekonomi, terutama ekonomi kerakyatan dihitung dari titik produksi, energi produktif ini yang dihitung sebagai energi yang dapat memicu dan memacu kemajuan, peningkatan ekonomi. Profitnya jelas mengalir ke rakyat karena memang didesain berpihak pada rakyat. Ekonomi berbasis produksi ini seharusnya menjadi arus utama kalau kita ingin melakukan restorasi ekonomi kerakyatan.

Hari-hari ini adalah momentumnya. Ketika sistem ekonomi bukan kerakyatan yang memuja sektor ekonomi fiktif (finansial) dan perdagangan eksploitatif (termasuk perdagangan uang dan kertas modal) tengah sempoyongan dihantam resesi menuju krisis akibat dampak badai Coronavirus, maka saatnya ekonomi kerakyatan berbenah diri, melakukan restorasi internal. Ketika sistem ekonomi dan ekosistem ekonomi bukan kerakyatan yang menghitung peningkatan ekonomi berbasis konsumsi, berbasis penggalian pajak dan berbasis investasi mengalami shock berat karena pasar sepi dan transaksi massifnya melemah, maka ekonomi kerakyatan berbasis produksi bisa menggantikan peran dan posisinya sebagai instrumen untuk menolong rakyat dari kesulitan ekonomi. Dari intinya, menurut bahasa LSM lawasan, ekonomi kerakyatan yang berbasis produksi ini lini aksinya adalah dari rakyat, untuk rakyat, bersama rakyat membangun kekuatan kemakmuran berkeadilan, kemakmuran bersama.

Mungkin sederhananya begitu. Dalam praktik tentu tidak sederhana, karena harus merobohkan atau melompati pemikiran ekonomi bukan rakyat yang biasa beroperasi secara kartelik, lengkap dengan jaringan-jaringannya yang sudah menjalar kemana-mana. Setelah itu perlu meyakinkan diri dan meyakinkan rakyat kalau pilihan mendasarkan pada orientasi produksi memang benar secara ekonomi, baik secara etika ekonomi dan indah secara kemanusiaan.

Setelah atau bersama restorasi ekonomi kerakyatan berbasis produksi, maka tawaran Bung Hatta tentang penghimpunan dana untuk modal pengawalan produksi dengan instrumen berbagi hasil bernama koperasi perlu dipertimbangkan kembali dengan seksama. Dan perlu dipraktikkan kembali. Jadi, kemudian ekonomi punya dua pilar penting: produksi (sebagai tujuan) dan koperasi (sebagai alat pengawal produksi). Sebab kalau tidak dikawal oleh koperasi, jangan-jangan ekonomi produksi sampai pada limit yang mendebarkan: kekurangan modal usaha produktif mereka. Demikianlah, pikiran alternatif sederhana ini semoga menjadi penyegar pikiran di tengah kesumpekan berpikir gara-gara pandemi berbulan-bulan ini.

Penemuan Nahdlatul Muhammadiyyin di atas mungkin kelihatan masih merupakan dataran teoretis, makro, dan bagi sebagian teman malahan abstrak dan mengawang-awang, paparan utopia. Mengapa? Karena belum diterjemahkan menjadi tataran strategis. Apakah yang disebut tataran strategis ekonomi rakyat berbasis produksi? Yaitu menyangkut potensi teritori ekonomi rakyat itu sendiri. Potensi ini dapat didekati menurut (1) lokus, menurut (2) modus, dan menurut (3) fokus dalam berekonomi dengan basis produksi.

Menurut lokus, ekonomi kerakyatan dapat dilihat dari tempat rakyat itu hadir kemudian melakukan kegiatan produksi sehari-hari. Sederhananya: secara lokus, mereka tinggal di desa pedalaman, di desa pantai, di daerah antara desa dengan kota dan di kota. Di lokasi-lokasi kejadian (proses) ekonomi produksi yang berbeda itu menyebabkan potensi pra-produksi atau hulu produksi (bahan baku atau sumber daya alam), potensi kapasitas dan kualitas menghasilkan produk (sumber daya manusia) dan kapasitas serta kualitas teknologi pendukung (sumber daya teknologi) menjadi berbeda-beda. Kemudian pada proses teknis produksi, selain dibantu teknologi produksi, walau sederhana atau menengah (yang penting tepat guna) rakyat memerlukan alat produksi atau infrastruktur fisik dalam berproduksi. Jadi sudah ada bahan baku, teknologi dan alat maka yang kemudian diperlukan adalah strategi kedua, yaitu menentukan modus produksi. Modus produksi ini berkaitan erat dengan fokus produksi. Dan berdasarkan lokusnya dapat dibedakan menjadi rakyat yang berfokus pada gerak produksi pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan rakyat, pertambangan rakyat, penangkapan ikan, penangkapan hewan lainnya, pengambilan madu, usaha lainnya yang halal dan pengolahan bahan makanan menjadi makanan siap dikonsumsi.

Yang dimaksud dengan usaha halal lainnya adalah kegiatan produksi perkainan (tekstil), mulai dari penanaman kapas, nanas, pohon murbei untuk pakan ulat sutera, sampai pada usaha pemintalan benang kapas, benang dari serat nanas dan serat sutera yang berlanjut pada usaha pertenunan, persongketan dan perbatikan dengan menggunakan pewarna alami lokal. Dilengkapi dengan usaha kerajinan berbahan baku bambu, kayu, sabut, batok, enceng gondok, pohon pisang, kulit binatang laut dan berbahan baku aneka logam (emas, perak, perunggu, kuningan, benang tembaga dan lempeng tembaga, monel) misalnya. Termasuk usaha halal berbasis produksi adalah kegiatan ekonomi yang menghasilkan bahan baku obat herbal, yang mengolah obat atau tamba bagi keperluan untuk meningkatkan kualitas kesehatan rakyat. Ruang lingkup usaha halal produksi rakyat ini juga menyangkut usaha mebel, usaha perkayuan untuk pembuatan alat rumah tangga dan usaha gerabah atau keramik dan usaha pande besi yang menghasilkan alat dapur, alat pertanian, dan alat perkebunan serta pertukangan.

Lainnya

Antara Agama dan Budaya Dalam Perspektif Islam

Antara Agama dan Budaya Dalam Perspektif Islam

Harus diakui bahwa memang ada permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam dalam membedakan antara agama dan budaya, antara ibadah dan muamalah, antara urusan agama dan urusan dunia, antara sunnah dan bid’ah.

Drs. Ahmad Fuad Effendy, MA
A. Fuad Effendy
Exit mobile version