CakNun.com

Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan

Restart Muamalah versi Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyyin: Refleksi Milad Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyyin ke-9
Nahdlatul Muhammadiyyin
Waktu baca ± 32 menit

Arus Balik Migrasi

Karena dari sejarah, Kotagede adalah kota rantau bagi orang luar Kotagede, terbukti dari lima kali gelombang migrasi maka pada suatu saat mulailah gelombang-gelombang orang Kotagede merantau keluar. Perkara jadi di tanah rantau lalu sukses dan bertempat tinggal di rantau, atau gagal merantau kemudian pulang ke tanah air Kotagede tidak masalah. Yang penting merantau, golek donya jembar. Bahkan ekstremnya, waktu itu kalau ada anak Kotagede kok tidak merantau atau tidak berani merantau dia akan diremehkan, ibarat prajurit tidak punya pangkat, kalau ngobrol tidak didengar orang karena tidak punya pengalaman dan cerita di tanah rantau. Makin heroik dan makin jauh dia merantau, walau gagal, dia dianggap punya pangkat sebagai prajurit kehidupan.

Pola merantau ini kemudian berpengaruh pada kelenturan dalam berusaha produksi. Jadi kelenturan dalam ekonomi ini bisa diasah ketika orang-orang Kotagede merantau. Tokoh-tokoh besar asli Kotagede bisa muncul karena pernah merantau. Baik merantau karena bertujuan mencari ilmu, atau karena mencari uang atau mencari pasangan hidup. Tetangga saya ada yang merantau sampai ke Irian Barat puluhan tahun, lalu kembali pulang. Ada yang merantau ke Banyuwangi lama sekali, lalu pulang. Ada yang merantau di Jakarta, pulang. Ada yang merantau ke Belanda, Perancis, Australia dan tidak pulang, sukses hidup di donya jembar itu. Orang-orang biasa juga merantau ke Bali dan pulang tetap menjadi orang biasa, hanya tambah pengalaman dan kekayaan batin.

Ada yang arah rantau sama dengan arah migrasi leluhur ada yang berbeda bahkan sama sekali menjelajah daerah baru. Hanya ada satu pedoman sederhana, kalau waktu dia meninggal dimakamkan di tanah rantau dekat dengan keluarga istri atau suami, dia disebut sebagai perantau total. Kalau waktu meninggal jenazahnya pulang kampung dan dimakamkan di jaratan tempat leluhurnya dan berjauhan dengan makam keluarga di rantau maka perantauannya kurang total.

Pola merantau ini membuat warga Kotagede ketika terpaksa pulang kampung menjadi manusia lebih ulet dalam berusaha dan siap melakukan transformasi usaha dalam bentuk usaha produktif yang berbeda dengan leluhur. Sementara warga yang tidak merantau banyak yang meninggalkan usaha produksi leluhur untuk menjadi pegawai negeri atau swasta. Pasca krisis ekonomi banyak perajin perak memilih menjadi penjual bakmi atau menjadi tukang becak. Ada anak tokoh perak yang rajin menjadi tukang becak. Lalu sepulang merantau di Jakarta sebagai makelar kredit bank, tetangga pulang menjadi perajin perak. Anak pengusaha tembaga memilih membuka warung kelontong. Anak pengusaha perak jadi pengusaha bis atau sukses membuka restoran kuliner menu kuno. Ada anak cucu ulama besar jadi pengusaha mebel dan bangunan kayu lawasan. Anak pengusaha konveksi memilih menjadi pengacara. Anak guru menjadi pengusaha roti, anak cucu pengusaha perak dan bordir sekarang hidup dari penerbitan.

Memang ada pewaris usaha perak yang masih bertahan, terutama hidup di klaster pengusaha dan buruh perak di kawasan Basen, Bumen, Kembang, dan Sokowaten. Batik tulis dan cap hilang dulu pernah muncul tenun ATBM. Tenun menghilang muncul konvensi kecil-kecilan yang tidak diteruskan oleh anak cucu. Seperti di daerah pertanian Karangmojo dan lainnya, gelombang pindah pekerjaan dari pekerjaan tradisional menjadi pekerjaan modern terjadi di Kotagede dan yang disebut pekerjaan modern adalah pegawai negeri, pegawai swasta, usaha pengolahan makanan.

Sementara produksi pengetahuan, lewat usaha perbukuan melemah atau menghilang karena pelaku merantau meninggalkan Kotagede. Padahal pada awal sampai pertengahan abad kedua puluh Kotagede pernah memiliki empat toko buku satu milik orang Muhamadiyah, satu milik orang PNI, satu milik orang Komunis, satu netral. Pedagang buku bekas ada tiga, dua di pasar Legi, satu buka sore hari di antara kios pasar. Lalu ada percetakan kuno besar, generasi berikutnya hadir percetakan stensil dan offset. Muncul penerbit khusus buku pedoman pelajaran membaca huruf Al Qur’an. Yang betul-betul menghilang adalah klaster perajin di lokasi toponim.

Lantas apakah yang tersisa di Kotagede? Semangat bekerja yang luar biasa, kerja keras dalam tim atau sendiri membuat orang luar Kotagede heran. Ketika penerbit dan percetakan di Malioboro dapat order banyak, cukup mengundang orang Kotagede untuk membereskan urusan pasca cetak. Ketika pengusaha perhiasan emas Utara Beringharjo mendapat pesanan, dulu cukup berhubungan dengan para perajin emas Kotagede. Kerja keras, kadang dalam bentuk ekstrem menjadi maniak lembur ini menjadi modal utama wong Kotagede. Mereka bilang karena tidak punya sawah atau olahan untuk ditanami maka yang dilakukan adalah menanami waktu dan kesempatan dengan kerja keras, kerja apapun.

Lantas dari mana asal-usul mental dan etika kerja keras yang kadang ekstrem ini? Dari arkeologi pengetahuan, keterampilan dan kesadaran yang bersusun-susun atau yang teroplos (mixed) yang mengalir dan menyatu dari nilai dan semangat hidup semangat kerja para kaum migran yang datang bergelombang-gelombang ke Kotagede selama ratusan tahun. Orang Kudus punya etos kerja bahwa bekerja adalah ibadah yang harus lengkap syarat rukunnya secara detail (lihat ukiran Kudus) dan terbiasa toleran dalam bekerja (lihat Menara Kudus dan tradisi menyembelih kerbau bukan sapi), orang Pajang bekerja keras dalam menata simbol kehidupan (lihat tradisi batik klasik di Laweyan, dan tradisi tenun di Kartasura), orang Kulonprogo timur selatan punya semboyan wong Urip harus sregep nyambut gawe lan sregep ngibadah. Ditambah semboyan ekstrem bahwa orang tidak berhak makan sebutir nasi pun kalau belum meneteskan keringat walau sebesar embun. Waktu orang Kulonprogo masuk Kotagede melihat orang Kotagede sarapan sebelum kerja, mereka terheran-heran. Mereka tidak mengenal sarapan punya tradisi bekerja sampai berkeringat baru sarapan. Orang Kalang dari Bali atau Kebumen mengenalkan cara bekerja yang canggih dengan memainkan modal dan komoditas berharga. Para Arja (kelompok Arab Jawa) yang masuk Kotagede mengenalkan tradisi berdagang dengan menghitung uang sampai detail sekecil-kecilnya disertai semangat hemat dan suka menabung. Orang pegunungan seribu mengenalkan kerja keras dan kerja sama tanpa batas. Orang Begelen dan sekitarnya mengajarkan bahwa surga terletak di tangan yang kasar (ngapal) karena dipakai untuk memproduksi sesuatu.

Dapat disimpulkan, orang Kotagede yang hasil mixed aneka subetnik suka dan ahli bergaul (srawung), terbuka, toleran, inklusif dan pluralis secara ekonomi dan sosiologi. Maka produk perak benang bakar yang aslinya dari Kendari dan Bukittinggi bisa menjadi perak yang khas dan diterima sebagai produk Kotagede. Sate Kebumen (Ambal) yang di Kotagede dimodifikasi bahan bakunya dengan daging sapi kemudian diakui dan disahkan sebagai sate sapi Kotagede atau sate Karang. Makanan untuk bekal perang berbahan baku ketan dan tahan lama dimodifikasi menjadi yangko diterima dan disahkan menjadi makanan khas Kotagede. Perkembangan desain dan teknologi produksi perak lempeng (metode tatah, stel, patri, ngondel, sangling) pun bisa beradaptasi dengan penemuan baru dan kebutuhan baru yang khas Kotagede.

Bahasa Jawa model Solo dan Yogya di kota ini dioplos menjadi bahasa baru yang unik. Jadi tumbuh dan munculnya etika kerja keras itu tidak spontan, tapi tumbuh berkembang bersama gelombang-gelombang migrasi masyarakat. Termasuk gelombang pendidikan pesantren, pendidikan Jawa dan pendidikan modern yang menghasilkan kelas menengah bawah dan kelas menengah atas ketika organisasi Muhammadiyah ikut memicu dan memacu kemajuan masyarakat, yang majemuk, moderat, bervisi ke masa depan, berbasis nilai dan kualitas teknis pendidikan itu sendiri.

Dengan berlatar belakang dinamika sosiologi antropologi ekonomi seperti itu masyarakat Kotagede kemudian tumbuh dan terbagi tiga kelompok yang masing-masing kelompok bekerja dengan sesuatu yang berbeda. Kelompok pertama, masyarakat yang bekerja dengan memanfaatkan, mengolah dan menjual serta membeli benda-benda (produksi). Mereka sangat ahli berurusan dengan benda-benda produksi (logam, kain dan makanan misalnya).

Kelompok kedua yang bekerja dengan memanfaatkan, mengolah, menjual dan membeli ide-ide, ilmu, harapan, desain, nilai agama dan budaya dalam format kata-kata. Para produsen dan penjual kata-kata dan hidup dari kata-kata banyak ditemukan di Kotagede. Mereka adalah para guru, dosen, mubaligh, kaum Rois pemimpin kenduri, para penulis, wartawan, dan birokrat di kantor resmi. Urusan mereka adalah kata dan serba kata. Karya mereka adalah kata-kata.

Kelompok ketiga adalah para mediator, yang menghubungkan kelompok produsen benda-benda dengan produsen kata. Adanya kelompok mediator ini maka benda-benda serta kata-kata dapat berfungsi memacu dan memicu kreativitas dan produktivitas masyarakat. Dalam konteks ekonomi, kaum mediator bergerak dalam format lembaga koperasi, arisan, BTM, BMT, BPR, BPRS dan komunitas penggerak masyarakat pasca LSM.

Potret masyarakat Kotagede kemarin dan hari ini, mudah-mudahan hari nanti adalah potret dinamika kehidupan yang berproses secara positif dan mandiri yang dilakukan berkat kerjasama dan mobilisasi serta metabolisme tolong-menolong antara kaum produsen benda-benda, produsen kata-kata yang memerlukan berperannya secara optimal kaum mediator. Dalam konteks ini pula peran NM adalah sebagai mediator.

Lainnya

Antara Agama dan Budaya Dalam Perspektif Islam

Antara Agama dan Budaya Dalam Perspektif Islam

Harus diakui bahwa memang ada permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam dalam membedakan antara agama dan budaya, antara ibadah dan muamalah, antara urusan agama dan urusan dunia, antara sunnah dan bid’ah.

Drs. Ahmad Fuad Effendy, MA
A. Fuad Effendy
Exit mobile version