Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan
Dinamika Perubahan Pasar di Yogyakarta
Realita masyarakat sekarang berbeda sekali dengan realita sebelum tahun 1990. Perbedaan itu cukup mencolok: pertama, masyarakat dulu suka menabung dengan berbagai variasi teknis dan kualitasnya. Misalnya menabung bahan makanan (lumbung), menabung kayu di gudang dan ikan di kolam, unggas dan ternak di kandang, menabung uang receh di bambu, menabung emas perhiasan dan menabung amal sosial ekonomi dengan meminta tetangga menggarap sawah atau kebun. Masyarakat sekarang lebih suka berhutang dari pada menabung. Hutang ini dikemas rapi dan indah dengan nama kredit malah diberi credits cards. Lucunya di industri perbankan aneka jasa kredit ini diberi nama atau judul produk perbankan. Produk kok bentuknya jasa hutang. Absurd. Kedua, masyarakat dulu masih percaya pahala dan berkah. Transaksi nilai non nominal ini banyak terjadi. Memberi tetangga segenggam garam dan bawang ditambah daun salam dilakukan tanpa perhitungan untuk rugi nominal. Yang penting menolong tetangga. Ini berlangsung juga dalam memberikan jasa membangun rumah, jasa membantu perhelatan.
Untuk pasar-pasar besar Yogyakarta gejalanya menarik: Pertama, terjadi migrasi atau mobilitas pedagang. Mobilitas ke samping dan mobilitas ke atas. Kedua, terjadi proses degenerasi pedagang yang berasal dari komunitas Muslim yang dulunya progresif yang berubah jadi stagnan lalu tersingkir. Ketiga, mentalitas pedagang yang kalah memicu terjadinya alih usaha atau lakukan langkah kanibal dalam berdagang. Keempat, terjadi seleksi alam bagi pedagang di pasar-pasar Yogyakarta. Kelima, mereka yang tangguh dan lolos dari tekanan pasar bebas (bebas gundulmu) memilih keluar dari penjara pasar konvensional dan mendirikan jaringan toko retail di sebagian kawasan ekonomi potensial. Owner toko retail berjejaring adalah keluarga (trah atau Bani). Bahkan ada yang berhasil melawan arus. Dari daerah (Yogya) bagai bolduser bergerak menaklukkan ibukota. Ketujuh, terjadi take over pada toko sembako setelah pemilik lama atau manager lama game over. Tapi untuk distribusi besar masih dimonopoli pemain lama.
Kemudian, untuk perdagangan di toko-toko Yogyakarta ada semacam kluster-kluster yang unik. Kluster Cina memonopoli perdagangan otomotif buatan Jepang, memonopoli perdagangan hasil bumi, memonopoli perdagangan alat tulis, kertas, tinta cetak, memonopoli perdagangan emas berlian, material pembangunan (toko besi dan toko material), menguasai perdagangan obat tradisional di Yogya. Kluster India bergerak di bidang perdagangan tekstil non tenun dan non batik. Kluster Arjo (Arab Jogja) memonopoli perdagangan kaca mata dan meubel, busana Muslim juga perdagangan herbal dan oleh-oleh haji/umroh. Kluster Jajo (Jawa Jogja) dan Jatau (Jawa luar Yogya yang merantau ke Yogyakarta) menguasai perdagangan batik, tenun, perbukuan, fashion dan kuliner.
Ini dapat dibagi dalam subklaster. Misalnya, subklaster Bayat menguasai angkringan, subklaster Wonosari menguasai bakmi Jawa dan soto lenthok, subklaster Sunda menguasai industri dan perdagangan kerupuk, somai, cilok, batagor, burjo dan sebagian busana kaki lima Malioboro, subklaster Madura menguasai sate ayam, subklaster Kalimantan menguasai perdagangan kayu dan soto, subklaster Minang menguasai masakan Padang dan masih ada subklaster lain yang masih dapat ditulis.
Perubahan sosial di Yogyakarta terjadi pada beberapa episode. Ada episode yang muncul secara dramatis ada episode yang muncul secara tidak kentara tetapi kemudian terketahui kalau keadaan telah berubah. Perubahan sosial dramatis pertama terjadi pada abad ke delapan belas ketika Kasultanan Yogyakarta lahir (kraton sebagai pancer) didukung oleh empat kiblat atau arah pertumbuhan bernama masjid dan komunitas Pathok Negoro.
Di dalam tembok atau beteng kasultanan berdiam Sultan, keluarga, dan abdi dalem fungsional yang lokasinya kemudian menjadi toponim klaster-klaster abdi dalem. Ada Gamelan, tempat berdiam abdi dalem pemelihara kuda, ada Patehan tempat abdi dalem pembuat hidangan teh, ada Gerjen tempat para penjahit, ada Musikanan tempat abdi dalem musik dan sebagainya.
Di luar beteng, ada markas prajurit yang tugasnya melindungi Kraton. Tempat tinggal mereka di kemudian hari menjadi klaster-klaster toponim markas prajurit yang diberi nama sesuai bregodonya. Bregodo Daeng tinggal di kampung Daengan, Wirobrojo di Wirobrajan, Ketanggung di Ketanggungan, Patangpuluh di Patangpuluhan, Nyutro di Nyutran, Jogokariyo di Jogokariyan, Bregodo Bugis di Bugisan, dan sebagainya yang semuanya 14 bregodo. Untuk peta perubahan sosial sebagaimana diawetkan lewat nama kampung dan nama tempat yang disebut toponim, di Yogya ada lebih dari 300 tempat.
Perubahan sosial dramatis di Yogya terjadi pada konflik internal-eksternal Kraton di Zaman HB II yang menyebabkan Kraton diserbu tentara Inggris dibantu tokoh Cina dll, yang hasilnya HB II diturunkan tahta, berdiri Pakualaman, naik tahta HB III. Terjadi proses deintelektualisasi budaya Jawa Mataraman karena ribuan kitab dan pusaka diangkut Raffles ke Inggris. Proses ini berlanjut dengan dekadensi atau demoralisasi internal Kraton dengan ditandai hadirnya ruang toleransi budaya: tempat minum minuman keras yang disebut banyu Landa itu. Secara ekonomi, etnik Arab (agak) tersingkir bahkan di kampung Sayidan tidak ditemukan lagi rumah orang Arab yang representatif. Etnik Cina masuk ke tengah ruang ekonomi dan dianggap berjasa dalam mengurus perdagangan dan lainnya, bahkan tokohnya diberi gelar kebangsawanan.
Episode dramatis perubahan sosial di Yogyakarta tentu saat terjadinya Perang Diponegoro, perang melawan rezim pajak dan rezim amoral Belanda. Pasca perang ditandai dengan migrasi besar-besaran dari etnik Arab marga tertentu karena diburu Belanda, beberapa orang kaya Jawa sembunyi di Kotagede membangun joglo baru. Dan migrasi untuk menghindari tangkapan baru ini berlangsung unik mirip diaspora dan anomali prosesnya. Dari berbagai arah menuju berbagai arah sampai Belanda pusing. Juga orang Jawa saling menukar nama dan penampilan. Yang semula punya nama santri mengubah namanya menjadi nama Jawa dan sebaliknya.
Tiga perubahan sosial penting terjadi setelah Perang Diponegoro. Pertama, lembaga pendidikan di dalam Kraton yang mengajarkan budaya Jawa dan budaya santri ditutup. Sebagai ganti, seorang perwira intelijen Belanda mendirikan sekolah Belanda untuk orang Jawa. Kedua, petani dipaksa melaksanakan politik pertanian Tanam Paksa yang menghasilkan kemiskinan bagi petani dan kekayaan melimpah bagi kerajaan Belanda. Ketiga, para bangsawan termasuk raja digelontor uang oleh pengusaha partikelir Belanda yang menyewa tanah milik raja dan bangsawan. Dua raja di wilayah Vorste Landen atau wilayah kasunanan dan kasultanan dikenal sebagai Sunan Sugih (PBX) dan Sultan Sugih (HB VII) dan melakukan pembangunan infrastruktur kerajaan.
Sementara itu menurut catatan Selo Sumarjan sekolah milik Missi dan zending berkembang pesat melebihi sekolah netral yang didirikan Belanda. Sekolah Islam belum ada, pesantren mengalami diaspora karena para perwira Pangeran Diponegoro yang ulama mendirikan pesantren yang mengajarkan semangat perlawanan terhadap Belanda. Pesantren ini melahirkan pendiri Muhammadiyah, NU, Kartini, Sosrokartono, Ahmad Rifai dan sebagainya.
Perubahan sosial dramatis terjadi sekitar tahun 1945, ketika HBIX dan PAVIII bergabung ke RI, mempersilakan Yogyakarta dipakai menjadi ibukota RI, mempersilakan UII berdiri, disusul UGM dan IAIN. Kampus awal UII di Patangpuluhan, kampus UGM di kompleks Keraton, kampus IAIN di Sapen. Lalu hadir kampus IKIP Negeri dan swasta di tengah kota, kampus ASRI, disusul kampus lainnya.
Hadirnya kampus di tengah kota menghidupkan ekonomi warga dalam kota yang membuka bisnis indekos, warung makan untuk mahasiswa. Bioskop dalam kota juga hidup karena penonton adalah Mahasiswa. Toko-toko kecil hidup di pinggir jalan kampung, demikian juga pasar tradisional. Toko besar di jalur H pun hidup. Muncul pula bisnis second market atau jual beli barang baru tapi sudah terpakai, lalu barang bekas. Lalu muncul fenomena kaki lima. Perubahan sosial dramatis terjadi menjelang dan setelah tragedi politik 1965. Pedagang Muslim maju pesat, fenomena serupa terjadi pasca reformasi. Lalu mengalami transformasi menjadi pedagang bermain jaringan luas.
Transformasi Usaha Kampung Muslim
Di Indonesia, ada banyak contoh bagaimana masyarakat sesungguhnya memiliki potensi untuk selalu produktif. Sayangnya potensi ini tidak selalu teraktualisasi secara optimal. Kendala kultural dan sering kendala struktural yang membuat demikian. Ini menyebabkan masyarakat produktif ini mengalami pasang surut, dan ketika berada di dalam tekanan struktural harus melakukan transformasi usaha. Sedang tekanan kultural membuatnya mengalami degenerasi yang relatif atau absolut (dalam arti kehilangan generasi penerus). Ada beberapa contoh akan disebutkan disini. Salah satunya, masyarakat Kotagede. Dengan pendekatan semi antropologi, sosiologi dan sejarah ekonomi lokal tergambar jelas profil masyarakat Kotagede sesuai dengan konteks judul tulisan ini.
Masyarakat Kotagede, awalnya belum bernama masyarakat Kotagede. Ketika terjadi diaspora para bangsawan atau priyayi Majapahit setelah kerajaan besar ini pudar kemudian runtuh, ada seorang Pangeran bernama Pangeran Joyoprono sampai dan berdiam di wilayah Alas Mentaok. Ini merupakan migrasi awal yang masuk kawasan ini. Diperkirakan dia tidak sendirian. Di titik hunian menjadi semacam titik transit bagi rombongan yang berjalan dari arah timur ke barat atau ke selatan. Diperkirakan tempat transit ini sekarang berada di kawasan Pasar Legi Kotagede atau Pasar Kotagede.
Pemanahan, ketika mendapat hadiah tanah di hutan Mentaok karena ikut berjasa dalam memenangkan konflik Jipang-Pajang harus melakukan negosiasi dengan Pangeran Joyoprono untuk membangun Kotagede yang kemudian menjadi ibukota kerajaan Mataram Islam. Pangeran Joyoprono kemudian berdiam di Joyopranan, yang saya bayangkan waktu itu merupakan tanah Perdikan.
Ketika Kotagede menjadi ibukota kerajaan Mataram Islam, maka berlangsung migrasi kedua. Warga Pajang sebagian mengalir ke Kotagede. Untuk mengisi pos ulama, didatangkan ulama dari Kudus, menempati lokasi yang sekarang disebut sebagai Kampung Kudus, Lengkap dengan Dalem Pangulon. Rumah Mbah Pengulu ada di Utara Masjid Gede Mataram Kotagede, bersebelahan dengan rumah dan Kantor Kelurahan, waktu lurahnya bernama Den Munjid. Warga Kotagede, dan khusus para tokoh masyarakat, menurut versi analisis seorang kiai, asal namanya memakai nama Arab dimungkinkan beliau ini termasuk kelompok Arja (Arab Jawa). Banyak keturunan Bani tertentu yang ciri fisik mereka mendekati atau memang Arja, sudah menjadi Jawa banget dan tidak tahu nama marga aslinya. Pekerjaan mereka adalah saudagar yang ulama, atau ulama yang saudagar. Diperkirakan ada saudagar bernama Abdullah dan Buchori, yang tempat tinggalnya sekarang disebut kampung Dolahan dan Boharen.
Kaum migran ke Kotagede di awal kerajaan itu berasal dari berbagai arah. Diperkirakan, mereka selain dari Kudus, Pajang, juga ada yang berasal dari Bali (menjadi orang Kalang), dari Banyuwangi, dari Jenar Begelen yang kemudian jadi lokasi meninggalnya Panembahan Senopati, juga ada yang dari Kebumen, Prambanan, Blitar dan Klaten. Jejak mereka dapat dilacak dari riwayat dan peta persebaran anggota Trah wong Kotagede. Jadi di Kotagede ada kelompok genealogis bernama Trah dan Bani. Sering kali anggotanya merupakan anggota ganda dari Trah dan Bani ini. Kaum migran kedua ini antara lain terdiri dari kalangan ekspert atau ahli di bidang kerajinan. Yang ahli membuat kerajinan emas tinggal di kawasan Kemasan lalu menyebar ke kampung lain, ahli membuat hiasan keris tinggal di kampung Mranggen, ahli membuat peralatan dapur dari tembaga tinggal di kampung Sayangan dan menyebar dan kampung lain, misalnya. Ahli kerajinan perak dan batik menyebar di banyak kampung.
Ketika ibukota kerajaan Mataram Islam pindah dari Kotagede ke Kerta dan Plered, sebagian warga tetap tinggal di Kotagede. Ada warisan budaya yang perlu dijaga, yaitu makam pendiri kerajaan Mataram Islam, dan Masjid Gede Mataram Kotagede, juga pasar tradisional Kotagede yang buka berdasar pasaran. Bahkan perubahan fisik Kotagede termasuk ekstrim, Alun-alun Utara dan Selatan dijadikan hunian kemudian menjadi kampung Alun-alun yang padat penghuni, mengimbangi padatnya daerah Jagalan.
Datang lagi kaum migran yang diperkirakan saat terjadinya diaspora ulama, pedagang, pengusaha, perajin akibat Perang Diponegoro. Mereka merasa aman masuk Kotagede karena Belanda tidak mengusik Kotagede sebab Pangeran Diponegoro tidak menjadikan Kotagede sebagai wilayah perang gerilya beliau. Justru kaum migran pasca perang itu yang membangun Kotagede dengan rumah bagus, joglo limasan atau bangunan Indis.
Yang bertugas mengelola makam keramat, masjid, pasar dan lainnya dari juga menarik pajak adalah para bangsawan yang diangkat oleh Kasultanan dan Kasunanan. Diperkirakan ahli membuat garmen dan konveksi, melengkapi batik dan tenun, sudah muncul di Kotagede pada saat ini. Ini dapat dilacak dari hadirnya sederet toko lama yang menjual komoditi itu.
Pasca perang kemerdekaan, menjelang konflik politik tahun 1960-an juga terjadi gelombang migrasi berikutnya masuk Kotagede, kebanyakan dari desa-desa di Pegunungan Seribu. Mereka mulai menempati kawasan di sekitar sungai atau malahan di pinggir sungai Gajahwong, dan kampung pinggiran Kotagede. Migrasi berikutnya yang masuk Kotagede menjelang akhir Orde Baru makin memperpadat Kotagede lengkap dengan terjadinya kompleksitas masalah ekonomi usaha yang memaksa penghuni melakukan transformasi usaha. Yang kemudian menarik untuk dikaji adalah terjadinya arus balik. Yaitu arus ‘urbanisasi’ dari Kotagede keluar Kotagede.