Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan
Bagian Kedua: Sejarah Praktik
Kondisi Obyektif Kegiatan Ekonomi Informal
Sektor informal hadir di Indonesia dimulai pada zaman Jepang, dilakukan pertama kali oleh petualang ekonomi bernama tukang catut. Fenomena tukang catut ini merebak di penjualan tiket kereta api, tiket bioskop, tiket sandiwara, tiket pertandingan sepakbola, tiket pertunjukan musik dan namanya bertransformasi menjadi calo. Calo bergeraknya makin luas, sampai ke calo kredit bank, calo pegadaian, calo nomor mobil dan motor di kepolisian dan calo penerimaan pegawai dan macem-macem lagi.
Setelah episode tukang catut, pasca perang kemerdekaan muncul gejala pasar barang bekas, rombengan, klitikan, mereka menempati lokasi liar di luar pasar resmi dari toko resmi. Karena punya potensi pembeli, dari ekonomi lemah, muncul second market, third market, fourth market (distro kuno) yang menjual barang dagangan produk baru dengan harga murah. Muncul fenomena atau episode pasca barang bekas, yaitu fenomena kaki lima. Ini menjadi fondasi atau akar dari pasar informal. Ini dari sisi distribusi barang produksinya. Dari arah produksi, usaha informal dimulai dari kerajinan tradisional barang kebutuhan rumah tangga, dan usaha olahan pangan rumah tangga dan jasa transportasi tradisional, ditambah jasa pertukangan tradisional.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh LRPM Fakultas Hukum UII bersama Dhworowati Institut ditemukan fakta menarik. Pembangunan yang digencarkan negara lewat kegiatan ekonomi formal berupa industrialisasi banyak sektor (industri di sektor permodalan, di sektor manufaktur, di sektor distribusi dan sektor jasa) justru mengakibatkan banyak warga negara di desa dan di kota menjadi kaum drop out sosial dan drop out ekonomi. Industrialisasi itu berwajah penggusuran (penggusuran tempat tinggal, penggusuran lahan, penggusuran kesempatan bekerja, penggusuran teknologi tradisional, termasuk teknologi pengolahan dan teknologi transportasi dan penggusuran lokasi dagang di pasar resmi pasca pasar terbakar dan direnovasi, dan penggusuran upaya produksi) oleh gerakan tsunami impor barang produksi yang sebenarnya bisa dihasilkan oleh warga setempat. Kaum drop outer sosial dan ekonomi inilah yang menjadi inti dan basis kaum informal dalam usaha ekonomi dalam konteks usaha produksi, usaha distribusi perdagangan, dan usaha jasa.
LRPM dan Dhworowati Institut, waktu itu menginisiasi Persatuan Pedagang Kaki Lima Yogyakarta (PPKLY) sebagai bagian dari upaya advokasi untuk kelompok usaha informal. Sementara itu ribuan aktivis LSM bertebaran di ribuan desa untuk melakukan advokasi sosial dan ekonomi agar masyarakat tidak begitu parah karena pembangunan industri formal berbasis modal atau investasi utangan, dan mencegah agar drop out sosial serta drop out ekonomi tidak makin menjadi-jadi.
Kegiatan LSM yang didanai oleh donor luar negeri ini lumayan berhasil di berbagai titik lokal. Advokasi sumber air dilakukan oleh Dian Desa, advokasi pengrajin dilakukan oleh APIKRI, advokasi kaum urban dilakukan oleh LP3ES, sementara LP3Y pernah melakukan advokasi perajin genteng di Godean sebelum kemudian mengkhususkan pada advokasi insan pers, aktivis media informasi. Waktu itu yang namanya Forum LSM Yogya lumayan kuat, berdaya serta berjaya dan diperhitungkan oleh negara dan aparat negara.
Kaum drop out sosial dan ekonomi ini di kota juga menumbuhkan jasa keamanan informal yaitu lahirnya kelas preman atau gali yang sumber rekruitmen mereka adalah geng-geng remaja dan satgas parpol atau sebaliknya, mereka menjadi sumber rekrutmen satgas parpol. Munculnya jasa informal debt collector lembaga kredit formal (bank) atau lembaga kredit informal alias rentenir. Para pedagang kaki lima dan para pedagang pasar tradisional banyak yang menjadi korban lembaga kredit liar alias kredit informal.
Ini yang disebut fenomena kanibalisme di kalangan usaha informal. Rentenir memakan pedagang pasar dan kaki lima dengan dukungan jasa keamanan informal (ada yang formal juga). Sampai hari ini Nahdlatul Muhammadiyyin terus mengamati pasar dan usaha informal di kampung-kampung, dimana fenomena kanibalisme usaha dibiarkan tanpa wasit. Dan sikap kaum informal yang justru lebih suka menggunakan penghasilan mereka untuk membeli benda konsumtif, membeli benda simbolis, ketimbang untuk investasi kemanusiaan lewat pendidikan misalnya. Jadi kalau ada gejala generasi kini mengalami proses deintelektualisasi lumayan parah itu biang keladinya.
Ketika krisis moneter yang berubah menjadi krisis ekonomi (bencana ekonomi) yang membuat sektor formal riil atau sektor formal fiktif sempoyongan, muncul sektor ekonomi informal sebagai penolong. Ekonomi Indonesia tidak hancur lebur berkat jasa kaum yang bergerak di sektor informal ini. Masalahnya, mengapa negara meremehkan setengah tidak mengakui peran kaum ekonomi informal ini? Karena (1) tidak menghasilkan pajak (2) tidak bisa dihitung sebagai unsur GDP (3) karena sektor informal menghitung pertumbuhan ekonominya dari produksi dan aset individual mereka (4) sektor informal bergerak di sektor riil, bukan sektor fiktif (finansial) sehingga minim modal dan kekayaan aset kaum informal tidak bisa disulap jadi kertas saham. Dengan demikian sektor informal tidak menarik bank dan pemain pasar saham. Pengaruh sektor informal di ruang ekonomi makro tidak tampak dan tidak bisa dijadikan agunan negara untuk membuka hutang dengan negara lain.
Padahal ekonomi makro formal sangat haus investasi, bergairah dengan permainan fiktif di pasar modal dan pasar uang, mengandalkan potensi pajak sebagai agunan hutang pada negara asing dan ekonomi makro sangat mengandalkan hitungan konsumsi dengan parameter inflasi dan fluktuasi defisit atau surplus perdagangan internasionalnya. menjadi sangat penting untuk menjaga devisa negara sebagai alat bermain menjaga kesehatan ekonomi makro.
Itu yang disebut fundamental ekonomi makro formal pilihan negara yang sangat tidak nyambung, bahkan berbeda jalan dengan ekonomi mikro informal yang menjadi pilihan rakyat, karena pilihan rakyat selalu atau setidaknya hampir selalu bertolak belakang dengan pilihan penyelenggara negara.
Ketua-ketua Nahdlatul Muhammadiyyin pernah meneliti nasib petani lahan pasir di Kulonprogo. Kesimpulan atau penemuan kualitatif yang muncul cukup mencengangkan. Ada empat lokus yang dipakai oleh negara atau oknum pejabat dan penyelenggara negara untuk menjegal petani agar petani gagal mempertahankan pekerjaan sebagai petani, gagal mempertahankan tanah sebagai lahan pertanian, dan yang mengerikan petani menjadi frustrasi sehingga tidak mau melakukan regenerasi petani, yang pada gilirannya menjadi faktor penting mengapa jumlah warga desa terus merosot sedang warga kota terus melejit.
Petani dijegal dalam hal pertama, memperoleh bibit yang cocok untuk lahan mereka, kedua, memperoleh pupuk yang ramah tanah dan ramah lingkungan, ketiga, memperoleh racun hama atau instrumen pengendali hama yang pas yang mereka butuhkan, keempat, mendapat peluang harga jual hasil pertanian yang menguntungkan petani penggarap lahan sendiri atau petani penyewa lahan tuan tanah. Selain itu petani diiming-imingi uang kemudian dihajar oleh sistem ijon dan cekikan lintah darat yang ini membuat mereka merasa nyaman kalau anak mereka merantau ke kota dan tidak bekerja sebagai petani.
Hasil penelitian ini dikirim ke jurnal yang memesan. Pihak redaksi keberatan atau takut dengan fakta yang tergelar, mau mengubah isi tulisan laporan ini. Kami menolak dan mengatakan, muat seluruhnya apa adanya atau tidak dimuat sama sekali.
Dari pengamatan Nahdlatul Muhammadiyyin tahun 1980 di Karangmojo Gunungkidul ditemukan gejala serupa. Yaitu gejala deruralisasi, dalam arti defarmingisasi dan dekulturalisasi kehidupan desa. Awal tahun 1980-an kalau berjalan dari simpang empat Karangmojo sampai desa Jetis misalnya, selama sekitar satu atau dua jam tidak ketemu orang, apalagi kendaraan. Sepi sekali, seperti tidak berada di Indonesia. Jalan yang dilewati, jalan antara Karangmojo-Munggi berupa jalan ampyang, berbatu tajam tapi tidak beraspal.
Waktu itu adalah biasa kalau di kalangan penduduk desa, punya menantu pegawai negeri adalah cita-cita luhur warga desa. Dengan bermenantukan pegawai negeri cita-cita itu terkabul. Warga desa memang masih bertani, mereka menyebut sawah dengan sebutan alas. Untuk menambah penghasilan mereka menggergaji batu putih di kawasan sungai dan lokasi ini mereka sebut kantor. Mereka bertani dan anak-anak mereka masih bertani. Anak-anak ini ketika lahir, ada ritual selama selapan, dengan lek-lekan, nabuh gamelan, melagukan tembang dan kidung, dengan suguhan malam.
Ketika tahun-tahun kemudian jalan itu dibangun halus, berdiri sekolah menengah, termasuk SMA, mulailah kehidupan berubah cepat. Anak-anak sekolah ini tidak mau bertani. Tidak suka ke alas atau membantu ke kantor. Mereka lebih suka main bola voli, ngobrol di pinggir jalan. Lebih-lebih ketika motor mulai masuk desa, yang disusul handphone angkatan kuno. Perubahan budaya dan ekonomi terjadi. Ketika ada anak lahir dia tidak lagi disambut dengan ritual 35 hari. Cukup dua hari, hari pertama lahir dan hari ke 35.
Di tahun 1990, kalau pagi jalan aspal itu ramai dengan anak sekolah naik sepeda dan tahun-tahun sesudahnya ramai dengan motor. Setiap pasar Karangmojo atau pasar Munggi pasaran ada mobil angkutan melintas lintas disitu. Hampir semua anak muda merantau. Ada yang berhasil, ada yang gagal. Yang gagal, gagap menjadi petani, bekerja sebagai penjual bensin eceran, bakso, tukang batu, atau menjadi penjual pulsa. Hilangnya generasi petani terasa mengubah desa, sawah dan tanah dijual untuk modal mendirikan usaha warung.
Proses hilang generasi petani berikut tanah pertanian ini juga terlihat di desa Warungboto. Ada generasi terakhir petani selalu rugi kalau menanam padi, akhirnya sawah jadi tempat kost (untung UAD membangun kampus 3 disini) dan menjadi warung, bahkan ada yang menjadi tempat latihan futsal. Kondisi desa berubah menjadi setengah kota dengan warga hidup di non-pertanian ini juga dapat disaksikan di pelosok Bantul dan Kulonprogo, yang mainannya kemudian beternak lele dan gurami. Wonolelo juga demikian, mengamati desa ini bertahun-tahun kemudian Nahdlatul Muhammadiyyin mendefinisikan desa ini sebagai lumbung budaya, lumbung ilmu dan lumbung pangan (olahan). Sisa-sisa petani jagung di Piyungan pun nasibnya dicengkeram oleh organisasi pedagang hasil bumi. Begitu, seterusnya.
Pasca bertani, warga desa sekarang ramai-ramai masuk industri pariwisata dan dengan mengemas desa, sawah, hutan, bukit, mata air, dan kisah lama menjadi obyek wisata, yang sekarang industri pariwisata (menghasilkan pajak dan retribusi) ini digemari negara. Sekarang ekonomi orang desa cenderung mengarah ke ekonomi jasa pariwisata. Usaha produksi barang dan olahan pangan pun diorientasikan untuk melayani pariwisata.
Di industri pariwisata ini antara usaha formal dan informal bisa bersekutu dan akrab untuk mengeduk uang wisatawan yang datang. Tetapi ketika dari kalangan industri pariwisata ini menerapkan monopoli (penjualan bakpia bermerek, monopoli parkir, monopoli ruang usaha seperti di transportasi formal kereta dan gedung bioskop) maka cerita bahwa kaum informal diabaikan, bahkan diperas oleh kaum usaha formal terjadi lagi dan selalu terjadi. Mereka, kaum usaha formal ini melakukan monopoli usaha dengan gaya mafia, dan para mafioso ini kemudian bergabung dalam konsorsium mafia bernama kartel. Kartel usaha berwajah banyak ini yang sekarang harus dihadapi oleh kaum informal dan usaha ekonomi kerakyatan berbasis produksi. Mengapa usaha ekonomi kerakyatan atau keumatan dan kewarganegaraan ini harus dan wajib menempuh jalan sendiri bernama jalan ekonomi alternatif total, adalah agar bisa lolos dari jeratan dan jaringan kartel yang gerakannya di pasar formal sungguh mengerikan.