CakNun.com
Kebon (17 dari 241)

Jakarta Meraung dan Banjir Sampah

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit
Akhirussanah, Magelang, 15 Juli 2012.
Foto: Adin (Dok. Progress).

Jakarta meraung
Kehidupan berderak-derak
Jakarta mengaum
Manusia berserak-serak

Kita hanya debu
Lekat di ban mobil
Terhimpit aspal panas
Kita terlempar
Di parit busuk kita terkapar

Di balik gemuruh
Terdengar tangis
Dari daerah asing
Di tengah keringat dan makian
Menyelinap pisau rahasia
Menunggu saat penikaman tiba

Hujan turun
Ya, hujan turun
Hujan sudah lama turun
Tapi kita tak kebanjiran
Kita adalah banjir itu sendiri
Keringat batin berjuta jiwa
Semangat hidup yang tak ada saringannya
Menjadi nafsu brutal, cacat otak dan mental miring
Kita adalah lumpur-lumpur
Kental
Menggelepoti bumi
Campur minyak dan lidah api
Memusnahkan hari demi hari

Ketika saya dikasih puisi oleh Tuhan untuk memenuhi kewajiban tabligh pementasan Musik-Puisi Dinasti, lantas saya goreskan pena menulis “Jakarta Meraung”, tak pernah terpikir oleh saya bahwa sekarang, 45 tahun sesudahnya, tatkala saya sudah tua: keadaan negeri benar-benar berwajah sebagaimana yang tergambar oleh puisi itu.

Jakarta sungguh-sungguh meraung. Hari ini tenggorokan dan moncong raungan itu adalah Kepolisian, yang meyakini bahwa mereka sedang berjihad memperjuangkan kebenaran, mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, keluar rumah dengan gagah, memanggul senjata dan menembak mati 6 orang pengganggu persatuan dan kesatuan nasional.

Singa Jakarta mengaum. Polisi dan Tentara. Polri rahang kanan dan TNI rahang kiri raungan itu. Maka kehidupan negeri berderak-derak dan penduduknya berserak-serak. Sementara saya dan banyak orang lainnya “hanya debu, lekat di ban mobil, terhimpit aspal yang panas, kita terlempar, di parit busuk kehidupan bangsa kita terkapar”.

Indonesia selalu gemuruh, riuh rendah dan kisruh. Tidak semua siap dengan kesadaran dan ilmu atau cara pandang terhadap apa yang terjadi. Maka hanya sedikit orang yang “mendengar tangis di balik gemuruh, dari daerah asing”. Orang-orang yang jernih melihat keadaan, orang-orang yang pengetahuannya tidak dikendalikan oleh kepentingan politik, kekuasaan dan harta benda keduniaan, berposisi “di daerah asing” itu. Ghuraba`. Alineated. Teralienasi. Terasing. Terpinggirkan. Bukan mainstream. Tidak viral.

Meskipun Rasulullah Muhammad Saw meyakinkan ummatnya “Fa thuba lilghuraba`”, beruntunglah orang-orang yang terasing, yang tidak menjadi bagian dari mainstream dan tidak viral. Tetapi para Ghuraba` hanya bisa mengistiqamahi pilihan hidupnya sendiri dalam kesunyian di sepanjang Jalan Sunyi yang tampaknya tak ada ujungnya. Itu pun posisinya selalu miris, tidak pasti aman, karena bisa ikut dilemparkan ke kubangan medsos, dimanipulasi, dieksploitasi:

Di tengah keringat dan makian
Menyelinap pisau rahasia
Menunggu saat penikaman tiba

Orang-orang yang memilih jalan tengah, yang meyakini tawassuth dan “khairul umuri ausathuha” dalam “rahmatan lil’alamin”, tidak dijamin akan selamat dari peluru nyasar di tengah Indonesia meraung dan mengaum. Bahkan itu bisa jadi bukan peluru nyasar, melainkan memang disasarkan, disengaja para pejalan sunyi menjadi sasaran sebagaimana peluru medsos liar tanpa kontrol apapun dan media yang memang hanya mengerti keburukan, kebrutalan dan kerusakan kemanusiaan, masyarakat dan negara.

Tetapi sejak 1976 itu saya sudah mengalami beribu pengalaman kesenian, budaya, moral, politik dan fisik. Dan kami terus berjalan. Tepatnya terus “diperjalankan” (asra bi’abdihi lailan) melangkah maju terus menembus kegelapan kehidupan dan malam harinya masa depan.

Apakah masyarakat nDipo, Dinasti, KiaiKanjeng dan Maiyah adalah orang-orang alim saleh sebagaimana Khulafa Rasyidin dan komunitas Kanjeng Nabi di zaman dahulu? Tidak. Apakah mereka hebat-hebat secara keagamaan dan kehidupan sebagaimana para santrinya para Imam Madzhab, para Ulama dan Kiai-Kiai? Tidak. Bahkan tidak pula sebagaimana yang dibayangkan tentang santri Nahdhiyin atau Muhammadiyin. Mereka, kami, hanya anak-anak kampung yang sederhana, yang berada di kerendahan di dalam pemetaan dan levelling sosial.

Kita hanya anak-anak zaman yang menjaga diri tidak ikut melempar sampah-sampah dan kotoran. Zaman sudah banjir kemudlaratan. Sejarah sudah dipenuhi kebusukan. Air media dan medsos mengalir ke seluruh pelosok bumi. Banjir sudah melanda dunia dan sampah-sampah termuat padanya, kemudian sekarang bukan lagi banjir air bermuatan sampah — melainkan sudah banjir sampah.

Kita hanya anak-anak kampung, tetapi berikhtiar dan berjuang terus menerus untuk tidak dikelilingi dan dipapar oleh sampah-sampah. Terlebih lagi menjaga diri agar tidak menjadi sampah itu sendiri. Tidak menambah jumlah sampah dan memperparah banjir sampah nasional dan global.

Lainnya

Topik