Iman, Budhi, Santosa
Penghujung tahun ini saya dilanda ketar-ketir. Setelah menyaksikan banyak tokoh dan orang hebat gugur di sepanjang tahun. Mulai dari Sapardi Djoko Damono, Arief Budiman, Bunda Cammana, Syech Nur Samad Kamba, hingga Ki Dalang Seno Nugroho. Dan kemarin siang (tanpa sengaja saya membuka caknun.com) saya terperangah, kaget, dan tumpah airmata, ketika membaca kabar duka perihal meninggalnya Romo Iman Budhi Santosa.
Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. 2020 tahun berkabung.
Wafatnya Romo Iman benar-benar menyesakkan. Seolah kepulangan beliau di akhir tahun ini melengkapi duka Jamaah Maiyah Nusantara.
Jujur, persentuhan saya dengan Romo Iman belum berlangsung lama. Secara langsung baru beberapa kali menyimak uraian beliau di Majelis Mocopat Syafaat. Selebihnya saya ngangsu kawruh dari beliau lewat rekaman diskusi, buku, artikel, dan tulisan-tulisan beliau yang dituangkan dalam Esai dan Tetes di caknun.com.
Letak fokus tulisan-tulisan Romo Iman yakni tentang khasanah falsafah Jawa. Boleh dibilang beliaulah orang Jawa yang sangat nJawani. Hal tersebut tercermin dalam rentang hidup beliau yang diabdikan untuk mengkaji, meneliti (niteni), mencatat, mempraktikkan, hingga melestarikan (nguri-uri) segala peninggalan nenek moyang (Jawa) yang berasal dari Tuhan.
Membaca karya-karya Pak Iman, kita seperti diajak kembali kepada sangkan paran. Kembali eling bahwa kita manusia. Bagian dari alam semesta, sekaligus makhluk paling bungsu ciptaan-Nya.
Sebagai makhluk paling ‘muda’, manusia seyogianya belajar kepada yang lebih ‘tua’. Kepada alam, tumbuhan, binatang, para Rasul, para Wali, sesepuh, orang tua, hingga pada makhluk tak kasat mata. Romo Iman mengingatkan, manusia hidup tak bisa lepas dan sangat membutuhkan mereka (alam, binatang, tetumbuhan, dan sesama).
Sebagai contoh, Romo Iman menulis dalam Tetes berjudul: Jamu Lambang Kedekatan dengan Tumbuhan. Di situ dijelaskan bahwa tumbuhan/tuwuhan sangat memberi manfaat bagi kelangsungan hidup manusia. Selain dapat dikonsumsi untuk makanan, nyatanya tumbuhan juga dapat dijadikan jamu atau obat.
Hal itu pula yang menggugah saya untuk meneliti kembali tentang khasiat tumbuhan yang dulu pernah saya alami sendiri sekaligus membuktikannya. Pengalaman itu kemudian sempat saya tuliskan dalam sebuah esai, Nikmat, Sehat, dan Berharap Kepada Allahu Ahad – Menek Blimbing).
Tetes demi Tetes yang di-ciprat-kan oleh Romo Iman tak ubahnya nasihat, pepeling, dan pundi ilmu yang mesti kita bijaksanai, hikmahi, serta teladani bersama. “Ayo sregep leh oncek-oncek”, begitu pesan beliau.
Keberadaan Romo Iman dalam ranah kebudayaan Jawa-Yogya (pada umumnya), dan dalam keluarga Maiyah (pada khususnya), laksana mosaik yang indah dan jangkep. Beliaulah rujukan utama bagi siapa saja yang ingin sinau babagan nilai-nilai, kearifan lokal, hingga falsafah keilmuan Jawa.
Dan pada Kamis Kliwon pagi (10 Desember 2020) sang Filsuf Jawa menghembuskan nafas terakhir pada usia 71 tahun. Tujuh-an semua yang hidup adalah menuju Yang Satu. Ilaihi raji’un. Kembali ke pangkuan Ilahi. Manunggaling kawula lan Gusti.
Romo, berbekal Iman-mu kepada Allah, serta Budhi-mu terhadap sesama, semoga engkau Santosa di surga-Nya.
Al fatihah.
Gemolong, 11-12-2020