CakNun.com

Ilmu Hutan dan Ilmu Kebun

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 2 menit
Purbalingga, Januari 2020. Foto: Adin (Dok. Progress).

Ummat Maiyah sangat membutuhkan Ilmu Kebun atau Ilmu Taman. Dengan kata lain memerlukan ahli-ahli kebun atau taman.

Kebun atau taman adalah hutan yang sudah diilmui, dipilah dan ditata. Belantara yang sudah diperlakukan dengan pendidikan dan kecerdasan. Terserah apakah lebih mengutamakan produktivitas sehingga membuat Kebun, atau berkonsentrasi pada keindahan dan kenyamanan sehingga menjadi Taman.

Perjalanan Ummat Maiyah selama ini lebih banyak bergelut dengan hutan belantara, salah satu sebabnya karena saya bukan ahli perkebunan atau penggemar taman. Saya lebih merupakan seorang perambah hutan, yang tidak punya bekal sanad ilmu dan pola akademis yang menterjemahkan hutan menjadi kebun atau taman. Kalau memakai terminologi dunia tulis-menulis, saya hanya menaburkan esai-esai kepada Ummat Maiyah, bukan tulisan ilmiah atau artikel akademis. Maka Ummat Maiyah ke depannya sangat memerlukan peranan Ilmuwan dan akademisi.

Tapi latar belakang yang paling kuat adalah karena tujuan utama Ummat Maiyah maupun Ummat Islam seluruhnya adalah masuk surga. Surga itu al-Jannah, artinya Kebun.

Kalau di kebun, orang tinggal memetik buah. Kalau di hutan, orang perlu beberapa tahap: memilah, memilih, memanjat, memetik. Hutan mengharuskan proses berpikir yang lebih panjang dan berlipat. Sebagaimana esai memerlukan beberapa tahap pencerdasan, pemahaman dan pemaknaan. Apalagi di Maiyah sering saya katakan bahwa yang saya sebarkan bukan buah, melainkan benih. Lebih menyusahkan lagi pekerjaan ilmu Ummat Maiyah.

Padahal Agama Islam diinstall oleh Allah dengan konsep dasar untuk memudahkan manusia. Pokoknya tidak usah meneliti Allah, siapa namanya, apa saja potensi dan peranannya, siapa saja namanya, dst. Allah langsung menginformasikan tentang diri-Nya sehingga manusia tinggal memilih menerima atau menolak. Juga tentang Akhirat, Malaikat, Jin atau makhluk-makhluk Allah lainnya yang tidak mungkin dijangkau oleh akal dan ilmu manusia.

Juga manusia tidak perlu ilmu dan perdebatan untuk menentukan bagaimana bentuk pengabdian kepada Allah. Sudah dimudahkan oleh Allah: pokoknya shalat, puasa, zakat, haji, berbuat baik, tidak mencuri, tidak menyakiti atau membunuh sesama manusia. Allah bahkan memberi detail sampai ke beda fungsi antara tangan kanan dengan tangan kiri.

Gerakan peradaban Maiyah perlu memulai suatu langkah yang lebih “buah”, bukan sekadar “benih”. Yang lebih kebun dan taman, tidak hutan rimba terus. Maiyah berpotensi secara nilai memimpin pergerakan menuju masa depan. Tak hanya skala Indonesia, tapi dunia. Ada yang mengatakan kepada saya, suatu pendekatan menyimpulkan bahwa ummat manusia di bumi ini belum lulus-lulus juga sebagai manusia di hadapan Penciptanya, meskipun jumlah penduduknya sudah hampir 8 miliar – dibanding “people society” di tempat lain yang sudah lulus dan selesai ketika penduduknya hanya 6 juta. Saya merespons: “Kalau begitu manusia di bumi terus rusak saja, supaya Kiamat tertunda terus”.

Sekali lagi, Ummat Maiyah perlu bersegera mengkebunkan dan mentamankan dirinya. Hidup di bumi ini bertujuan Surga, membangun Jannah, membangun Surga, sehingga perlu belajar men-surga. Sinau Bareng mengaspirasi tata hidup dan sistem nilai Surga.

Lainnya

Di Hadapan Sang Puasa

Di Hadapan Sang Puasa

Umbu Landu Paranggi, adalah Sang Puisi sekaligus. Sang Puasa itu sendiri.

Mustofa W. Hasyim
Mustofa W.H.
dr. Eddy Supriyadi, SpA(K), Ph.D.
dr. Eddot

Angka

Angka
Exit mobile version