Ilmu Fana
Kalau di larut malam Anda keluar rumah memandang langit yang gelap atau remang. Meluas di pengetahuan batinmu bahwa keraguan apakah langit itu adalah ruang, ataukah ada ruang yang memuat langit.
Yang pasti ada ruang yang amat sangat luas yang tidak mungkin diukur oleh pandangan ilmu manusia, dan kita adalah seperlaksa debu di dalamnya. Tetapi sekaligus, entah melalui mata dan cara pandang yang mana dan bagaimana: ruang tak terbatas itu berada di dalam diri kita.
Tahun era 1970an saya menulis puisi:
Di dalam diriku ada ruang
amat luas tak terbatas
Fajar hari melemparinya dengan batu
tapi tak bergeming ia, karena tak berdinding
Pagi membidikkan berjuta anak panah
tapi tak terluka ia, karena kosong
Kemudian siang membakarnya dengan api iblis
tapi tak terbakar ia
karena lembut bagai kristal angin
Sore, menumpahkan air busuk dan sampah dunia
tapi diubahnya menjadi bunga dan tenaga
Dan malam, menikamkan pisaunya bertubi-tubi:
darah mengalir!
Coba nanti malam kau keluar rumah dan kau serap semesta tak terbatas itu. Kalau kau rasa itu tak terbatas, kau tidak bisa membayangkannya, apalagi mengukur dan merumuskannya di mesin berpikirmu. Tapi kalau ruang itu ternyata ada batasnya, ada tepiannya, kau juga tidak bisa membayangkan: lantas yang di luar tepian itu apa? Ruang juga atau bukan? Kita hanya bisa menggagas segala sesuatu dalam ruang, sebab kita hidup dalam sistem pengetahuan ruang. Kalau ruang ternyata terbatas, dan harus terbatas, karena ia makhluk, bukan Khaliq – lantas apa yang berada di luar batas itu?
Penggagasan atau eksplorasi semacam ini yang disebut Ilmu Fana. Segala yang dilakukan oleh manusia, bahkan pun Jin dan Malaikat, harus dilandasi oleh kesadaran bahwa kita ini makhluk fana yang bersemayam di semesta yang fana juga. Dari situlah aqidah, iman dan ilmu dilahirkan, kemudian di-ihsan-kan dalam prinsip “rahmatan lil’alamin”.
Sementara itu, padahal, asal-usul dan wilayah jangkau tujuan kita adalah baka. Baqa`. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Kita berasal dari yang Maha Baqa` dan kembali ke Yang Maha Baqa`. Tetapi kita menempuh tahap proses yang fana, mungkin itu dialektika komparasi untuk menemukan kesadaran yang lebih mantap dan utuh kepada baqa`. Dengan dzikir baqa` maka selama kita menampuh fana` tidak mentang-mentang, sebagaimana peradaban manusia dibangun oleh manusia (dari kekuasan politik hingga kebudayaan dan kecanggihan teknologi) dengan konsep dasar seolah-olah kita ini sedang menjalani kehidupan baqa`.
Mungkin karena itu jiwa Maiyah membuat kita sangat waspada untuk peluang berkuasa dan kaya raya di dunia. Maiyah itu fana. Sementara, relatif, dan mungkin semu. Maka yang kita tuju dan kita cintai adalah masa depan baqa`, karena kampung halaman asli sejati kita adalah baqa` juga.