Ibu, Monumen Sakral dari YudhyDoniProject
Apa mau dikata, ibu bak memiliki keluasan dan perluasan setiap selesai dalam satu bahasan. Iya. Saya sendiri masih banyak salah dalam memahami ‘ibu’ di kehidupan saya. Karena, kalau boleh sedikit curhat ini, hubungan saya dengan ibu saya tidak mulus-mulus banget. Saya tidak bisa banyak cerita saya beliau. Soal apa saja. Ada masalah saya diam, tak ada masalah saya juga diam. Berlarut-larut begitu terus. Hingga di setiap ujung doa saya tanya sama Tuhan, “Apa jangan-jangan hidup saya ini minus berkah?”
Kembali saya tengok masa lalu saya. Iya. Bisa dikata saya ini tipikal anak yang tidak tahu terima kasih sama ibu yang waktu itu menjadi tulang punggung keluarga. Saya ditawari kuliah malah jawaban saya, “Buat si Fulan aja saudara kita, kayaknya dia mau kuliah tapi tak ada dana”. Atau pernah saya diberi uang sama ibu malah saya sobek-sobek. Atau ketika saya wisuda, begitu prosesi selesai ibu dan bapak saya langsung saya giring ke mobil untuk pulang. Padahal mereka pengen sekali foto bersama. Dan banyak hal lagi yang tentu banyak melahirkan kecewa.
Suatu malam saya menghela napas cukup panjang. Saya curhat sama Pak Munir As’ad. Katanya beliau, cobalah pulang ke Pati untuk minta jimat kepada ibu. Cukup lama, tak kunjung saya lakoni saran itu. Corona jadi salah satu alibinya. Padahal istri juga sudah mendesak. Biar dua cucunya yang lucu bisa silaturahmi sama nenek-kakeknya.
Di belahan Bumi yang lain, saya mendapat kabar bahwa Mas Yudhy dan Mas Doni kembali melanjutkan proyek musiknya. Iya. Mas Yudhy dan Mas Doni ini adalah dua musisi yang turut membesarkan grup musik Seventeen. Mas Yudhy lead guitar dan Mas Doni vokalisnya. “Jibaku” adalah salah satu single mereka yang sampai tepat saya menulis ini, masih saja terngiang di kepala. Selama aku masih hidup di dunia...
Tahun 2006 Mas Doni keluar. Kemudian digantikan Mas Ifan. Tahun 2012 Mas Yudhy menyusul keluar.
Nah, kalau tidak salah catat, proyek musik ini lahir beberapa saat setelah hampir dua tahun silam grup musik Seventeen mengalami peristiwa Tanjung Lesung.
Dari proyek itu kemudian lahir single “Bait Terakhir”. Sebuah lagu monumental dan cukup emosional karena berisi tentang kenangan grup musik Seventeen. Saya pikir mereka berhenti di satu single saja. Mengingat proses penyatuan rasa adalah hal yang cukup sulit di dalam sebuah grup. Ego bisa lebur kalau rasa yang berbicara. Emosi bisa terkendali kalau rasa panglimanya. Dan bakal sejalan seirama, kalau rasa selimutnya.
Ternyata asumsi saya keliru, mereka kembali menyatukan rasa di single yang videoklipnya baru saja dirilis sehari yang lalu. Judulnya “Ibu”. Waduh. Ibu lagi ibu lagi. Yang terasa istimewa, di lagu ini ada potongan puisi Mbah Nun yang berjudul “Ibunda” yang dibacakan oleh Pak Seteng Yuniawan, sang narator kenamaan. Puisi “Ibunda” ditulis Mbah Nun 15 Desember 1992 dan delapan tahun kemudian diterbitkan oleh Penerbit Zaituna dalam kumpulan puisi “Ibu, Tamparlah Mulut Anakmu”.
Paling tidak ini menjadi catatan tersendiri bagi saya, bahwa Mbah Nun menjadi inspirator bagi anak band. Sebelumnya ada grup Kotak lewat single “Manusia Manusiawi”. Tak lama menyusul YudhyDoniProject dengan single “Ibu”.
Lagu yang membuat saya akhirnya pulang ke Pati untuk sungkem menundukkan muka, membungkukkan badan, meraih punggung tangan beliau, mencium dalam-dalam, menghirup wewangian cintanya dan merasukkan ke dalam kalbu, agar menjadi jimat bagi rizki dan kebahagiaanku...
Barangkali kebetulan single videoklip “Ibu” rilis hampir bersamaan dengan wafatnya Bunda Cammana… maaf tulisan ini terpaksa berhenti di sini. Urusan Ibu, Bunda, atau Ibunda terlalu berat bagi saya. Dengan bahasa yang tak terwakili kata, atau bahasa tanpa kata-kata, atau apalah, Ibu dengan Cinta dan Kasih Sayang Tuhan itu satu paket.
Dan kalau ada manfaatnya tulisan singkat ini, itu saya persembahkan untuk ibu saya. Saya mendapatkan jimat itu sekarang. Maturnuwun Mas Yudhy, Mas Doni KiaiKanjeng, Pak Seteng, Bunda Cammana, dan tentu saja Mbah Nun.
Maturnuwun. Maturnuwun. Maturnuwun…