Hutang Kepada Zainul
Salah seorang manusia ciptaan Allah swt di muka bumi yang saya sangat “ngefans” (mengagumi, menyayangi, mencintai) adalah Muhammad Zainul Arifin, pelantun shalawat KiaiKanjeng kelahiran Trowulan, Mojokerto, yang Allah memanggilnya pada 13 Juni 2015 lima tahun silam secara sangat mengiris-iris hati kami semua. Dalam habitat orang rekaman musik, sebuah lagu ditata dulu oleh rangka dan komposisi musiknya, dengan terlebih dulu menentukan kunci nada berdasarkan nada baku penyanyinya, sehingga sang penyanyi bisa membawakan secara enak seperti orang mendayung parahu.
Ini terbalik. Zainul rekaman spontan. Tanpa memerlukan tintingan kunci nada dari alat musik apapun. Ketika KiaiKanjeng menerimanya, dan ambil dasar nada Zainul biasanya, langsung klop dan jalan. Jadi seolah-olah Zainul ada Bersama KiaiKanjeng memproses aransemen dan rekamannya. Padahal Zainul di Rumah Sakit, dalam kedaan sangat payah dan tersiksa oleh sakitnya, pun itu berlangsung sehari sebelum ia meninggal. Allahu Akbar. Robbana ma khalaqta hadza bathila. Subhanaka fa qina ‘adzabannar.
Zainul adalah cahaya Allah yang memancar dari Trowulan. Dan itu dalam arti benar-benar Trowulan dengan sejarahnya. Ketika suatu hari saya ke rumahnya, yang mangagetkan adalah rumahnya penuh hiasan-hiasan budaya dan sejarah yang sangat berindikasi Majapahit dan Jawa lama. Rumah Zainul bukan menggambarkan ekspresi seorang santri pelantun shalawat dengan benda-benda “Islam” atau Pesantren. Zainul seakan-akan adalah anak turun salah seorang Pangeran Kerajaan Majapahit, meskipun dididik oleh atmosfer rohaniah Syekh Djumadil Qubra.
Ekspresi Zainul bukan seperti seolah-oleh ia adalah murid turunan Syekh Imam Busyiri atau Al-Barzanji, meskipun lidahnya sangat fasih mengaji Qur`an dan melantunkan segala jenis estetika shalawat. Ia adalah anak yang dilahirkan dan diletakkan oleh Allah di suatu tempat, dusun, kecamatan, kabupaten, area geografis historis tertentu dan itu semua tercermin semua di interior rumahnya yang sangat sederhana. Zainul ditakdirkan Allah menjadi anak Majapahit dan meskipun ia berpendidikan santri Zainul tidak lantas menjadi orang Arab.
Bahkan siapapun yang kenal dekat dan bergaul sehari-hari dengannya, akan tahu bahwa Zainul benar-benar tipikal anak Jawa Timur dengan segala ekspresinya, logatnya, gaya bicaranya, keluhannya, alam mentalnya serta jenis perhatian pikirannya. Semua warga KiaiKanjeng sangat menikmati unikum kepribadian dan ekspresi Zainul yang sangat berbeda dibanding Imam Fatawi, Islamiyanto atau Doni Pitulas.
Saya “menemukan” Zainul di tahun-tahun awal Padang Bulan era 1990an. Suara shalawatan Zainul membuat saya tidak mungkin melakukan yang lain kecuali memintanya bergabung dengan KiaiKanjeng. Di pertengahan era 1990-an itu kalau saya diundang berceramah di kampung, kantor atau Gedung-gedung, sengaja saya sisipkan shalawat secara agak memaksa hadirin untuk mendengarkan. Ini adalah awal perjuangan keliling mempopulerkan shalawat, bahkan sampai ke televisi-televisi nasional — yang belum pernah ada siapapun melakukannya sepanjang Indonesia merdeka. Zainul, terkadang dengan Islamiyanto atau Sudrun, saya minta maju ke podium untuk melantunkan shalawat, di tengah-tengah pembicaraan saya kepada hadirin. Alhamdulillah tidak pernah ada penolakan, eksplisit maupun implisit, dengan kata-kata atau lewat roman muka hadirin — karena menurut saya apa yang dipersembahkan oleh Zainul memang sangat indah, sehingga orang tidak mempersoalkan apakah itu lagu pop ataukah shalawat.
Kalau bangsa Indonesia dan para sejarawan punya etika dan sopan santun, punya keberpihakan kepada kebenaran sejarah — maka nama Zainul harus dicatat terlebih dulu di urutan teratas, sebelum menyebut Haddad Alwi. Apalagi Opick. Harap diketahui bahwa saya sendiri bukanlah ahlus-shalawat. Saya awam di bidang shalawatan. Banyak khazanah shalawat di KiaiKanjeng dan Maiyah yang sumbernya adalah Zainul, juga Islamiyanto, Nia dan Yuli, di luar sahabat-sahabat di Jakarta seperti Ustadz Haidar dll.
Maka hutang saya yang sudah tidak mungkin saya bayar adalah “hak” Zainul untuk bershalawat dan bernyanyi di Mesir, Cairo, Ismailia, Alexandria, AlFayoum, dan Thanta. Karena suatu keadaan ketika KiaiKanjeng berkeliling di Mesir, Zainul tidak bisa ikut serta. Tahun-tahun berikutnya cita-cita serius saya adalah KiaiKanjeng kembali ke Mesir dan ada Zainul beserta mereka. Tanpa Zainul saja publik Mesir sudah dibikin “pingsan-pingsan”oleh KiaiKanjeng dan tidak terhapus kenangan sejarahnya di sana sampai hari ini. Apalagi ada Zainul: bisa-bisa KiaiKanjeng masuk Mesir bebas visa dan makan gratis di warung-warung. Tanpa Zainul pun, Jijit dkk sudah dikasih banyak barang gratis di sejumlah toko di Cairo.
Cita-cita itu tidak pernah diperkenankan oleh Allah Swt untuk membayar hutang saya kepada Zainul. Kemudian malah di usia sangat muda, 39 tahun, Allah memanggilnya pula. Saya berhusnudhdhan bahwa Zainul dipercepat perpindahannya ke Sorga itu atas permintaan Kanjeng Nabi Muhammad Saw, karena beliau tidak sabar hati ingin segera mempersembahkan keindahan shalawat dengan vocal Zainul kepada kakeknya yakni Nabi Sulaiman dan Nabi Daud as. Zainul adalah kebanggaan Kanjeng Nabi untuk semacam dipamerkan kepada kakek-kakeknya. Apalagi di sejumlah kotak-kotak simpanan di Kerajaan Nabi Sulaiman memang ada buku-buku teks shalawat, meskipun rentang waktu beliau jauh sebelum hidupnya Kanjeng Nabi Muhammad. Para sejarawan modern tidak akan ada yang mempercayai informasi yang saya tulis ini, karena tidak bisa diterima oleh rangka akal mereka tentang waktu. Biarkan saja itu nanti diurus oleh Kanjeng Nabi Khidlir As, dan kita shalawatan “wa asyghilid dhalimin bid dhalimin” saja keras-keras ke telinga mereka.
Tentu masih sangat banyak yang kita bisa tuliskan tentang Zainul. Misalnya bakat modern musikalitasnya, yang — misalnya — almarhum Guru Zaini atau Haji Ijai Martapura tidak berada di wilayah itu. Secara keduniaan kita bisa asumsikan bahwa “nasib” Zainul kurang baik dibanding misalnya Haddad atau Opick. Tetapi asumsi semacam itu merupakan ketidaksopanan serius kepada konsep penciptaan Allah atas setiap hamba-Nya. Secara potensi, Zainul “mestinya” bisa jauh lebih popular dibanding lainnya yang saya sebut itu, bahkan pun dibanding Maher Zein. Tetapi kalimat seperti itu paralel dengan cara berpikir “kok Nabi Muhammad yang indah dan dahsyat itu hanya dikasih umur 63 tahun, sementara Nabi Nuh 950 tahun dan Nabi Ibrahim 165 tahun”. Sekalian saja nyatakan kepada Tuhan: “Mbok saya tidak usah dilahirkan di dunia yang kemproh dan ndableg ini, mbok langsung saya dilahirkan di Sorga jannatunna’im saja. Ikut Maiyahan Cinta Kanjeng Nabi di sana”.
Bukan hanya Zainul. Saya juga bisa mendaftari “nasib” yang “seharusnya” menurut saya, bukan yang menurut iradat Allah. Beratus ketidakadilan yang menimpa saya selama 50 tahun terakhir ini juga “menurut saya” tidak seharusnya saya alami. Tetapi Ummat Maiyah tahu justru itulah landasan untuk otentik dan sungguh-sungguh menempuh taqwa dan tawakkal.