Hidup, Sabar dan Syukur?
Kapan kita mula pertama kali mengenal kata “Sabar”, juga “Syukur”? Pasti sudah lama. Jika dijumlah sepanjang hidup, berapa juta kali mengucapkan sabar dan syukur. Seberapa sering, menasihati diri dan orang lain dengan kosakata ini.
Tentu saja, dapatlah diyakini bahwa manusia sangat akrab dengannya. Bahkan, manusia dalam skala dan intensitas tertentu sudah fasih menerapkannya. Tetapi dapat dipastikan, manusia belum sungguh-sungguh memaknai konsep sejati dari sabar dan syukur ini. Apalagi menerapkannya dengan optimal.
Apa tanda dari pemaknaan dan penerapan sabar dan syukur yang belum optimal? Rumah sakit masih penuh, penjara tak pernah kosong, narkoba merajalela, dan korupsi tak lekang oleh waktu. Selain itu, jumlah “cabe-cabean” dan “brondong-brondongan” juga merayap naik. Perceraian — bahkan di usia dini dari pernikahan — juga mengalami peningkatan. Jadi, ada masalah serius pada manusia dan negara modern saat ini.
Sesungguhnya, seluruh peristiwa yang menimpa manusia cukup dihadapi dengan sabar dan syukur. Manusia harus memahami dan menerapkan dengan tepat. Kapan harus dihadapi dengan sabar dan kapan disongsong dengan syukur.
Hanya saja dan lebih kacaunya, manusia sering salah tempat menggunakan dua konsep ini. Mestinya sabar, eh, malah tidak. Mestinya syukur, eh malah tidak. Kenapa? karena menurut guru saya, manusia hanya dididik dan mengandalkan “budaya pelampiasan nafsu”.
Dalam kehidupan kita, termasuk misalnya dalam pekerjaan kita, kita selalu menghadapi dua hal. Kesulitan atau kemudahan. Penolakan atau penerimaan. Kelapangan atau kesempitan. Keuntungan atau kerugian. Kesedihan atau kebahagian. Kesehatan atau ke-sakit-an. Kegalauan atau ketenangan. Kecintaan atau kebencian. Fitnah atau pujian. You name it.
Nah, kita harus berjuang optimal untuk menempatkan konsep “sabar” dan “syukur” tersebut dengan skala, intensitas dan akurasi maupun presisi yang pas.
Sabar berbeda dengan pasrah. Sabar itu mengandung dimensi berjuang habis-habisan untuk perbaikan, pasca menerima realitas yang mungkin mengecewakan. Sabar juga mengandung makna evaluasi dan menarik butiran hikmah dari aneka peristiwa yang menimpa.
Sabar adalah manajemen akal dan menata hati agar tetap jernih dan tidak kacau balau dirundung kegelisahan. Kita bisa memaknai lebih jauh dan lebih dalam lagi. Intinya: sabar itu konsep Ilahi yang sengaja dibocorkan kepada hamba-Nya agar ia bisa selamat dan menyelamatkan dalam perjalanan hidup, bahkan tak hanya di dunia, tapi juga akhirat kelak.
Bagaimana dengan Syukur? Konsep ini bersanding untuk melengkapi sabar. Jika pandai bersyukur, hidup dapat dijalani dengan penuh kebahagian. Makan dengan ikan asin dan sambel serta tahu bisa jauh lebih nikmat jika pandai mensyukurinya. Dibandingkan, jika makan ayam atau daging tetapi tidak dengan syukur. Gaji UMR akan berkah dan nikmat, jika disyukurinya. Dibandingkan, gaji belasan juta tapi terus-menerus merasa kurang karena konsisten melampiaskan keinginan konsumtifnya.
Tegasnya, sabar dan syukur adalah kunci kesuksesan hidup. Sukses hidup adalah bahagia, juga sehat. Semakin pandai bersabar dan bersyukur, maka semakin dekat kepada kebahagiaan dan kesehatan. Tentu saja, sikap sabar dan syukur wajib diperjuangkan. Mengatakan dan menuliskannya, jauh lebih mudah dari pada menerapkannya. Selamat mencoba! Bismillah.
Tulisan ini diilhami oleh aneka peristiwa terkini serta tafsir dari Mbah Emha Ainun Nadjib.