Hidup Hari Ini Dengan Kesadaran Besok Pagi
Pada tahun 1980 saya pernah kost beberapa bulan di daerah Cubao, Quezon City, bagian dari Manila ibukota Filipina. Di kota itu, tepatnya di Araneta Collesium, petinju Muslim Muhammad Ali menjalani pertandingan ke-3 melawan Joe Frazier pada posisi 1-1. Di Cubao itu pertama kali saya tahu Mall. Sepulang ke Amerika, Ali menginvestasikan uangnya untuk membangun “Ali Mall”. Itulah momentum saya thileng-thileng alias plonga-plongo menginjakkan kaki di dunia industri modern. Saya keliling seluruh bagian dari Mall besar itu dan tidak beli apa-apa.
Joe Frazier tidak bangkit dari kursinya untuk menjalani ronde-15 melawan Ali, sehingga dia dinyatakan kalah TKO. Sesudah tanding Ali masuk rumah sakit, sementara Frazier ke diskotik, jojing dan bernyanyi, karena dia juga penyanyi blues yang lumayan di Philadelphia, yang saya juga pada tahun 1981 berkunjung ke sasananya.
Pada pause sesudah ronde-14 Ali sebenarnya juga merasa sangat kelelahan. Maka dia berdoa kepada Tuhan: “Ya Allah perkenankan saya meminjam jatah energiku dari-Mu yang untuk besok pagi, untuk kupakai satu ronde terakhir ini”. Allah mengabulkan, dan besoknya memang Ali rebah total di rumah sakit, karena rangsum tenaganya sudah dia kredit tadi malam.
Saya sekarang berusia 67 tahun-jalan. Dan yang belum pernah mampu saya lakukan sampai setua ini adalah “hidup hari ini dengan kesadaran besok pagi. Hidup sekarang dengan kesadaran masa depan”.
Firman Allah Swt “waltandhur nafsun ma qaddamat lighad”, hanya bisa saya jangkau kethawil-kethawil dengan imajinasi, hitungan dan simulasi, tetapi tidak pernah mendapatkannya secara utuh. Kemarin ketika saya bertugas berdoa di zooming IDI, esok paginya baru saya sadar, mengetahui dan menemukan doa apa dan bagaimana yang semestinya saya tuturkan. Itu membuat ketika bangun pagi saya merasa malu dan bodoh dengan doa saya tadi malam.
Allah berfirman: “Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti (kedhaliman) itu: “Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami. Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka”. (Al-Baqara: 167)
Kasus dan konteks nilai yang saya alami dengan doa IDI itu tentu tidak sampai ke level kedhaliman. Tapi toh setiap penyesalan adalah incip-incip api neraka. Sekarang satu-satunya yang tepat untuk saya lakukan adalah beristighfar dengan kesadaran tentang betapa lemah dan dungunya saya.