Halal Bihalal dan Tadabbur 80 Hari Pandemi Covid-19
Suasana Idul Fitri tahun ini sungguh berbeda. Tidak ada silaturahmi ke rumah-rumah tetangga, saudara, handai tolan. Tidak ada tradisi mudik. Tidak ada kemeriahan seperti Idul Fitri biasanya dirayakan. Semuanya hampir di rumah saja. Bahkan, MUI menghimbau untuk tidak melaksanakan shalat Id di lapangan atau masjid. Potret yang menarik selama Idul Fitri tahun ini, netizen mengunggah suasana shalat Ied di rumah masing-masing. Kepala keluarga pun menjadi khatib dan imam. Melengkapi suasana selama satu bulan Ramadlan yang juga banyak orang memilih shalat tarawih di rumah.
Kurang lebih seperti itu pula yang diceritakan beberapa penggiat Simpul Maiyah yang pada Rabu malam (3/6) lalu bergabung dalam Reboan on the Sky Kenduri Cinta. Forum yang memang dilaksanakan untuk merespons situasi, dari yang awalnya offline di Teras Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki, Cikini. Malam itu adalah edisi ke-8. Pada setiap edisi, penggiat Kenduri Cinta mengundang perwakilan Simpul Maiyah lain untuk bergabung.
Karena masih suasana bulan Syawal, Reboan on the Sky kali ini bertajuk Halal bi Halal. Dilengkapi judul; 80 days Journey with Pandemic. Di situ, para peserta bukan sekadar bertukar kabar, saling menyapa, dan saling berbagi informasi mengenai situasi terkini dari daerahnya masing-masing. Di awal, seluruh peserta diskusi bersama-sama melantunkan Wirid Akhir Zaman, sekaligus memanjatkan doa untuk kesembuhan Syaikh Nursamad Kamba yang beberapa hari terakhir sedang dirawat di Rumah Sakit.
Sudah memasuki bulan ketiga, terhitung sejak Kenduri Cinta edisi Maret 2020 lalu, Maiyahan dengan skala besar yang dihadiri banyak orang tidak dapat dilaksanakan. Pandemi Covid-19 membuat kita semua beradaptasi dengan banyak hal baru. Kita yang awalnya tidak rajin mencuci tangan, kini sudah terbiasa dengan budaya cuci tangan. Mungkin juga, bukan hanya masker dibawa setiap hari dan dipakai untuk menutup sebagian area wajah, tetapi di saku kita membawa cairan pembersih tangan. Seolah sudah menjadi kecenderungan baru saat ini, kemana pun kita pergi terbiasa memakai masker dan menggunakan hand sanitizer.
Membiasakan diri dengan situasi baru
Banyak orang menyebut keadaan hari ini adalah The New Normal. Tetapi sebenarnya, kita mengalami banyak New Normal. Sesuatu yang awalnya tidak terbiasa kita lakukan, kini sudah menjadi hal yang biasa. Dulu, kita tidak terbiasa menggunakan gadget di genggaman kita. Pada medio 10 tahun lalu, bahkan handphone touch screen saja masih menjadi barang mewah. Sampai akhirnya, pelan-pelan kita terbiasa, dan kini sudah sangat akrab. Dulu, kita tidak membayangkan bahwa bisa dengan mudah memesan ojek secara online atau membeli makanan hanya dengan menyentuh beberapa pilihan menu di handphone.
Juga, dulu tidak semudah sekarang ketika kita ingin bepergian ke luar kota atau luar negeri. Tiket pesawat, kereta, bus sampai reservasi penginapan bisa dilakukan jauh-jauh hari, secara mudah, dari genggaman tangan kita. Kemudian kita terbiasa dengan hal-hal itu. Ketika kita membayangkan itu semua adalah puncak dari pencapaian kecanggihan manusia, sampai kita kebingungan akan ada inovasi apalagi setelah itu semua sudah kita nikmati. Mungkin Allah kemudian memberi jawaban melalui Pandemi Covid-19 ini, yang kemudian manusia kembali mengasah kreativitas dalam berpikir dan melahirkan inovasi-inovasi atau juga melakukan hal-hal yang kemarin dianggap sebagai sesuatu yang tradisional, ketinggalan zaman, jadul, kini justru dilakukan oleh banyak orang, seperti menanam tanaman sayuran sendiri di pekarangan rumah.
Situasi The New Normal kali ini pada akhirnya melahirkan kreativitas-kreativitas baru dalam menggerakkan roda perekonomian dalam skala mikro di desa-desa. Beberapa teman penggiat Simpul Maiyah menceritakan bagaimana roda ekonomi di tempat mereka terus berputar, menjual barang-barang kebutuhan primer sehari-hari, saling memperkuat, membeli barang yang dijual tetangganya sendiri. Semuanya mengkreatifi hal-hal yang bisa dilakukan untuk tetap bisa bertahan hidup.
Sigit Hariyanto, salah satu penggiat Kenduri Cinta yang bekerja di Kementerian Keuangan memberikan informasi bahwa selama masa Pandemic Covid-19 ini pendapatan negara dari PPN naik sekitar 10%. Belum lagi pendapatan dari cukai rokok, yang ternyata juga bertambah. Hal ini menandakan bahwa sebenarnya daya beli masyarakat tidak turun sama sekali. Tingkat konsumsi masyarakat sampai bulan Mei lalu masih dalam taraf yang bagus, naik 8% dari tahun sebelumnya.
Tidak hanya yang di dalam negeri, beberapa teman-teman yang saat ini berada di luar negeri pun turut bergabung. Seperti Mas Jamal di Chicago (USA), Mas Karim di Amsterdam (Belanda), Mas Reiza di Putrajaya (Malaysia) dan Argo di Daegu (Korsel). Mereka pun berbagi cerita suasana lebaran di tempat mereka masing-masing.
Dari Chicago, Mas Jamal mengabarkan situasi terkini di sana. Hari-hari ini kita melihat di media sosial bahwa kasus kematian George Floyd yang meninggal beberapa waktu lalu akibat kekerasan fisik yang dilakukan oleh aparat kepolisian setempat mengundang simpati seluruh dunia. Sementara di Amerika sendiri kerusuhan meledak di berbagai titik, termasuk penjarahan di beberapa pusat perbelanjaan. Seperti ketika kerusuhan Mei 1998 di Indonesia Meletus saat itu, beberapa toko ditulisi “Milik Pribumi” agar tidak diserang oleh massa. Di Amerika, beberapa toko diberi tulisan “Black Own”, sebagai penanda bahwa toko tersebut dimiliki oleh masyarakat kulit hitam. Karena memang isu rasial dalam kematian George Floyd ini sangat kental, memicu kerusuhan di Amerika.
Peristiwa kerusuhan ini menurut Mas Jamal hanya merupakan puncak gunung es dari yang selama ini memang terjadi di Amerika. Sangat berkebalikan dengan apa yang selama ini dikampanyekan oleh Amerika sendiri, mereka sering menggaungkan demokrasi, sementara kondisi mereka sampai hari ini tidak benar-benar mampu menyelesaikan isu rasisme di negara mereka. Meskipun pada akhirnya, kerusuhan yang marak terjadi di Amerika ini juga kontraproduktif, karena salah satu dampaknya adalah orang kulit hitam semakin dipandang negatif.
Small is beautiful
Di sesi akhir, Yai Tohar menyampaikan kepada semua yang bergabung dalam forum Reboan on the Sky untuk mencari buku “Small is beautiful”, yang dicetak tahun 70’an. Dan juga, Yai Tohar mengusulkan agar buku itu dibahas pada sesi diskusi minggu selanjutnya. Menurut Yai Tohar, apa yang ada di dalam buku tersebut sangat relevan dengan kondisi hari ini. Menurutnya, perubahan yang terjadi dalam hari-hari ke depan akan dipicu oleh sesuatu yang kecil. Termasuk Coronavirus ini, sesuatu yang sangat kecil, tetapi kemudian memaksa manusia seluruh dunia untuk mengubah haluan tradisi dan kebiasaan hidup.
Termasuk Maiyahan sendiri, setiap Penggiat Simpul Maiyah harus segera mencari formulasi yang tepat untuk mengaplikasikan Sinau Bareng di setiap Simpul Maiyah masing-masing. Yang ditekankan Yai Tohar adalah bahwa Maiyahan itu tidak harus kita berkumpul, berdiskusi, dari malam sampai pagi. Menurut Yai Tohar, apa yang dalam 3 bulan terakhir sudah dilaksanakan oleh masing-masing penggiat Simpul Maiyah dalam merespons pandemi Covid-19 ini harus terus dilakukan dan diseriusi. Karena setiap Simpul Maiyah sudah pasti menghadapi tantangan yang berbeda-beda.
Adanya Lumbung, gerakan berkebun, kembali ke sawah, berdagang, itu juga merupakan bentuk Maiyahan. Hal ini ditekankan oleh Yai Tohar agar setiap Penggiat Simpul Maiyah untuk tetap ubed, mengkreatifi banyak hal di sekitar mereka untuk terus dilakukan agar dapat bertahan hidup.
Yai Tohar juga mengungkapkan, salah satu kebiasaan masyarakat kita memang adalah tidak mau disiplin. Di Maiyahan saja, beberapa waktu lalu sering Mbah Nun usai Maiyahan berpamitan dan meminta maaf untuk tidak bersalaman, tetap saja jamaah menyerbu berebut bersalaman. Dan mau tidak mau, inilah protokol kesehatan yang selanjutnya akan kita hadapi bersama.
Dan inilah tantangan kita semua sebagai Jamaah Maiyah kedepan. Sudah pasti, kita semua kangen untuk bermuwajjahah seperti Maiyahan biasanya, duduk melingkar, dari malam sampai menjelang subuh. Sementara ini, Maiyahan memang tidak bisa kita lasanakan seperti biasanya, tetapi bukan berarti kita tidak bisa Maiyahan. Karena Maiyahan itu tidak hanya dipahami dengan hal-hal yang sempit seperti itu. Justru masa-masa seperti ini bisa menjadi arena praktik kita, setelah selama ini kita menerima banyak bekal dari Mbah Nun dan Marja’ Maiyah lainnya di Maiyahan.