Grand Prix Merde-kah?
Alhamdulillahirobbil’alamin. Awalnya hanya kalimat ini yang menjadi fokus perhatian saya menjelang genap usia satu tahun Mafaza yang sudah di-tumpeng-i awal Agustus lalu. Namun, setelah membaca tulisan Cak Nun yang beliau tujukan khusus untuk momentum ini, beserta multidimensi Agustus-an tahun ini yang sungguh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, ternyata dimensi Inna lillahi wa inna ilaiHi roji’un yang sengaja beliau bold sampai dua kali menjadi jauh lebih relevan untuk di-tadabburi.
Dari kacamata pecinta olah raga balapan, saya melihat dan ikut merasakan bahwa satu tahun simpul ‘mini’ Mafaza telah menjadi pitstop bagi anak cucu, perantau, dan penggelandang dari berbagai kampung dan dusun bernama Indonesia di tanah Eropa. Mereka terus mencoba ber-fastabiqul khoirot dan bersinau bareng ala Maiyah, berpindah-pindah dari Amsterdam, Leiden, Almere, Laren, Berlin, Helsinki, dan kota-kota lain. Termasuk beberapa seri balapan online lintas-Eropa karena terimbas Covid-19. Dan rentang waktu yang masih sangat muda dan labil ini sebenarnya sama sekali belum layak untuk disebut on track dalm ber-istiqomah. Bahkan, dianggap qualified untuk mengikuti sesi latihan bebas sebagai tahap official paling awal dalam rangkaian sebuah balapan pun belum cukup.
Dibandingkan dengan ‘tim-tim pabrikan’ yang semua aspek daya dukungnya sudah jauh lebih baik, ataupun tim-tim satelit lain yang menang pengalaman, simpul ini sebenarnya masih dalam fase sangat awal membentuk tim, memoles pembalap yang paling pas, dan mempelajari peta kekuatan mereka semua. Itu pun tanpa proses rekrutmen, apalagi training, dan kaderisasi. Semuanya mengikuti ritme aliran paseduluran Maiyah. Mungkin, hanya satu modal yang mereka miliki dan tidak dimiliki oleh tim-tim lain di Indonesia atau beberapa negara tetangga, bahwa seluruh balapan satu tahun yang harus diikutinya adalah kelas premier dan di arena the most selected international circuits. Padahal, mereka tidak memiliki satu pembalap pun yang sebelumnya pernah merasakan, apalagi memenangi balapan di kelas intermediate, atau bahkan kelas junior sekalipun. Sehingga jangan heran jika di awal-awal debut balapan yang mereka ikuti, beberapa pembalap harus rela ndlosor ke gravel.
Dari rangkaian itu, mereka sangat sadar diri akan kemustahilan bagi para pembalap andalan mereka naik podium, apalagi menjuarai salah satu seri balapan dan memastikan sang merah putih dinaikkan bersamaan dengan diputarnya Indonesia Raya. Target mereka pun sederhana, memastikan semua pembalap mampu mencapai finish di setiap seri, di posisi berapa pun. Karena hanya dengan modal itu mereka bisa mengikuti gelaran balapan pada episode berikutnya.
Untuk mensyukuri capaian dari target sederhana itu, meskipun awalnya berat dan ragu-ragu, salah satu dari mereka memberanikan diri memohon kepada Cak Nun sang inisiator (team principal) Maiyah Racing Team untuk sekadar uluk salam via video recording atau video call kepada para penasihat dan sesepuh tim Mafaza di Belanda. Kebetulan, beliau-beliau yang berkenan hadir di acara tumpengan setahun Mafaza adalah sahabat-sahabat lama Cak Nun di Eropa, baik yang dari kalangan ‘kiri, kanan, kiri-luar, atau kanan-dalam’. Permohonan itu dikabulkan melebihi harapan. Pak Toto Raharjo sang mechanic and circuit orchestrator yang paling setia mendampingi calon-calon pembalap Maiyah Nusantara di lapangan dan Mas Sabrang sang national team manager yang tanpa henti mencari inovasi untuk meng-upgrade kualitas para pembalap Maiyah, bersedia mengirimkan terlebih dahulu mantra penyemangat dan doa terbaik. Satu pesan singkat Mas Sabrang, istiqomah!
Keesokan harinya, antara kaget, bingung, haru, dan emosi lain yang bercampur, sebelum acara tumpengan di pinggir pantai Friesland di Almere dilambari dengan wirid, mereka dikejutkan dengan tulisan Cak Nun yang isinya 6 ‘wasiat’ khusus kepada Mafaza tentang ‘grand prix of life’. Salah satu pembalap di tim bergumam, “wah serius ini, berat banget, ini bukan sekadar fastabiqul khoirot, tetapi juga ‘fast to be cool out of the race’!”.
Untuk sejenak menikmati post-race season Mafaza 2019-2019, tumpengan pun dibuka dengan pembacaan puisi oleh tiga anak kecil, Argya (12) membawakan karyanya Indonesia, Alif (10) mendeklamasikan puisinya Corona Virus, dan Renzo (9) tidak ketinggalan membacakan Buah Tomat coretannya sendiri. Para sesepuh yang kemudian juga membacakan puisi-puisi andalan karya mereka sendiri namun terinspirasi dari Cak Nun, atau puisi-puisi lawas Cak Nun di Eropa, kaget bukan main menyaksikan anak-anak kecil ini bisa membuat puisi dan membacakannya di depan mereka. Bahkan dari puisi ketiga anak ini jalannya diskusi selanjutnya diorkestrasi. Ketiga anak ini mengajari bagaimana bapak-ibu, kakek-nenek mereka, dan semua yang hadir hari itu untuk memaknai dan menafsirkan ulang tentang ke-Indonesiaan, kemerdekaan, dan kemandirian, termasuk 6 wasiat ‘Revolusi Hulu-Hilir’ Cak Nun.
Pertama, Mataair Peradaban Modern. Mulai dari bagaimana mengelola mata air dengan menjamin setiap keran air di setiap rumah mengalirkan air yang langsung layak minum tanpa harus direbus, sampai menekuni mata air ilmu pengetahuan yang orang Eropa tiru dari kesungguhan Ibnu Sina, Alkhawarizmi, Ibnu Khaldun, dan para koleganya, Cak Nun seolah berpesan: “sinau sing tenanan le!” Wanti-wanti Cak Nun ini sangat beralasan karena sejak medio pertama tahun 1980-an, beliau secara empiris sudah melihat dan mengalami sendiri betapa teguran Tuhan ‘jika kamu orang-orang yang menggunakan akal’ kepada orang Islam, justru diamalkan dengan serius oleh orang orang-orang non-Islam Eropa di bidang apa saja sejak Renaissance. Mereka baru ngeh, mau ngeles seperti apapun, Mafaza memiliki privilege untuk lebih melek soal fakta peradaban ini.
Revolusi mental (membuang mitos dan mengembangkan rasionalitas) sejak abad ke-15 yang diikuti revolusi industri dan seluruh dimensi revolusi peradaban di benua Biru ini mampu membalikkan nasib bangsa-bangsa miskin sumber daya alam dan miskin keragaman budaya ini menjadi kekuatan imperium yang menguasai ratusan bangsa di empat benua lain selama lima abad. Karenanya, tidak usah heran jika hari ini mereka menguasai infrastruktur ‘peradaban balapan’ dan semua hulu-hilirnya. Seolah Cak Nun ingin berkata, “Alasan logis apa yang membuatmu minder dan rendah diri? Bangsamu baru saja bikin Revolusi Mental, itu pun para pemimpin dan rakyatnya belum tentu paham-paham amat maksudnya apa, apalagi serius mengaplikasikannya, tapi kalian sudah ikut balapan di arena balap premier bangsa-bangsa yang serius melakukannya sejak berabad-abad yang lalu, teruslah balapan, abaikan hoaks-hoaks yang berseliweran!”
Kedua, Ilmu dan Iman. Dengan nada agak gemes tapi karena saking sayangnya ke anak-cucunya, Cak Nun mereka bayangkan meneruskan: “Setiap hari para ulama dan cerdik pandai di negara kampung halamanmu berfatwa dan menasehati dengan ayat, ‘barangsiapa di antara kalian berilmu maka Tuhan akan tinggikan derajatnya’, namun mereka sendiri memahami derajat itu hanya jabatan tinggi, uang melimpah, dan bisa nyuruh orang sebanyak mungkin!”
Orang Eropa menguasai ilmu darat, laut, dan udara, beserta semua yang ada di antaranya, sangat tekun menelitinya, dan menemukan formula sunnatullah-nya. Itu semua untuk memperbaiki hidup dan memastikan seluruh warga negaranya mendapatkan derajat hidup yang lebih tinggi daripada orang-orang yang hanya mengandalkan iman semata. Mereka sudah mencapai derajat itu, dan itu janji Tuhan untuk siapapun tanpa pandang bulu. Mereka melamun seolah Cak Nun merangkul mereka dan berkata:
“Tetapi ingat, hidup lebih luas dari sekedar derajat karena berilmu itu, ilmu dan iman bukan dua hal terpisah, itu satu paket seperti motor dan pembalapnya! Orang Eropa menggunakan ilmu untuk mencari iman itu apa, sementara kalian hanya kadung diajari menggunakan iman semata untuk meningkatkan ilmu! Dua-duanya sama saja mengsle-nya! Kalian ingat, sejak era Martin Luther menentang praktik indulgentia di Gereja Katolik Roma, dengan ilmu, peradaban mereka memang terus maju secara material, tetapi coba gali kedalaman spiritual dan hati nuraninya! Mereka ujung-ujungnya lari ke Asia mencari itu! Jangan ikut mereka, tetapi juga jangan menentang mereka! Gunakan rumus hibrida dari Rosulmu!
Ketiga, Kemerdekaan. Ini satu-satunya dari 6 poin yang Cak Nun sebut hanya dengan satu kata, bahkan dua poin selanjutnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari poin ini. Tentang sholat dan kemerdekaan. Dengan rasionalitas, mungkin mayoritas orang Eropa akan melihat sholat sebagai bentuk paling konkret dari belenggu ketidakmerdekaan dan doktrinal keterikatan. Apalagi alasan mayoritas yang mereka dengar dari orang-orang kampug macam kami adalah nasihat simbok di kampung untuk ‘nangdi wae, sing penting ojo lali sholat le!’. Sinisme ini sudah ada sejak abad ke-17, yaitu titik dimana praktik feodalisme di Eropa mencapai puncaknya, karena memang ulah ‘makelar’ –institusi-institusi agama saat itu, sehingga memicu pecahnya Revolusi Perancis yang menggelorakan liberté, fraternité, égalité, menentang segala macam penguasaan dan penindasan manusia atas manusia lain, atas alasan apapun, termasuk atas nama agama.
Gaung revolusi ini memicu The Age of Enlightenment yang di kemudian hari bermetamorfosis menjadi demokrasi seperti yang kita kenal sekarang ini. Namun, pada saat yang sama, setelah mereka mengagung-agungkan pencapaian kemerdekaan antarsesamanya, bangsa-bangsa Eropa mulai menguasai bangsa lain di berbagai penjuru bumi, lalu mengklaim memberi kemerdekaan bagi bangsa-bangsa yang mereka jajah, dan kemudian mengajarkan demokrasi agar lepas dari penjajahan. Jika kita lihat kurikulum pelajaran sejarah di sekolah di Belanda misalnya, jangan harap akan menemukan kalimat ‘Belanda menjajah Hindia Belanda’. Sebaliknya, carilah kalimat semacam ‘Belanda membangun dan memerdekakan Hindia Belanda’. Juga cerita serupa di sekolah-sekolah di Inggris, Perancis, Spanyol, dan Portugis.
Uniknya, dalam bahasa Perancis, merde itu kurang lebih artinya ‘shit’ atau meminjam idiom arek Suroboyo ‘Jancuk!’ Ini jelas sekali bahwa output demokrasi, dalam banyak hal memang ‘jiancukkk semata!’ Kita dengan sembrono menyederhanakan makna luhur asal kata merdeka, yaitu maharddhika. Jika merdeka bermakna dan berdimensi sama persis dengan liberté ala orang Perancis, istilah maharddhika dari nenek moyang kita memiliki makna ‘melepaskan diri dari kekuasaan nafsu keduniawian’. Ini jelas-jelas orientasi kemerdekaan yang sama sekali berbeda. Dan inilah kemerdekaan yang saya tangkap dari maksud Cak Nun. Ciri-cirinya mudah, mulai dari presiden hingga pemulung di pinggir jalan, kalau 24 jam hidupnya mayoritas yang dirasakan adalah terbebani atau membebani orang dan bangsa lain, maka ia mungkin sudah merdeka namun belum maharddhika. Jika Islam dimasukkan, itupun baru tahap seruan untuk bersiap-siap hayya ‘alas-shalah, hayya ‘alal-falah, baru tahap free practices untuk istilah balapannya.
Keempat, Men-diri-kan Kemerdekaan. Lagi-lagi di Belanda, ada paradoks ketika penjara sampai kekurangan penghuni. Apa karena rasionalitas tertinggi mereka yang menghasilkan penghargaan tertinggi terhadap kemerdekaan diri untuk melakukan apapun, kapanpun, dan di manapun asalkan sesuai dengan peraturan setempat yang berlaku. Malam minggu di Redlight District di dekat stasiun Amsterdam Centraal yang dahulu Cak Nun sering meringkuk di emperannya, misalnya, adalah bentuk paling nyata pelampiasan kemerdekaan diri, yang di negerimu haram, di sini semua serba boleh, legal, termasuk narkoba, bahkan membantu pemasukan negara.
Orang Eropa mungkin sudah sampai pada level penegakan hak asasi tertinggi, merdeka untuk diri mereka sendiri, menegakkan segala macam hukum dan aturan setegak-tegaknya untuk mengatur masyarakat mereka sendiri, termasuk semua orang yang datang ke negeri mereka, tanpa terkecuali. Sampai-sampai International Criminal Court of Justice (mahkamah internasional tertinggi sejagad) yang berdiri di tahun yang sama Indonesia merdeka, berada di Den Haag, Belanda sehingga memungkinkan negara dengan penduduk kurang dari separo warga Jawa Timur ini mengabaikan hak-hak 270 juta warga negara yang dahulu mereka kuasai.
Ini soal dimensi diri. Ini ilmu memahami kewajiban asasi, bukan hak asasi, sehingga penekanan Cak Nun pada mendirikan kemerdekaan, bukan memerdekakan diri. Untuk mengikuti balapan harus mengikuti fase kualifikasi dan memastikan posisi start di seri balapan tersebut. Karena suatu kondisi, adzan bisa saja ditinggalkan, tetapi sholatnya tidak. Mungkin karena ini sholat disebut tiang agama. Sesuatu disebut tiang jika ia sudah berdiri tegak. Sholat dianggap sebagai tiang agama jika ia sudah didirikan, menjadi bagian tak terpisahkan dari diri. Spiritualitas yang didirikan melalui sholat melatih diri untuk merdeka dari menuntut hak diri, karena hak itu untuk bayi, bukan mereka yang sudah aqil baligh, yang wajib menyuapi si bayi. Dan sholat baru diwajibkan ketika kita sudah aqil baligh, saat kita merasa merdeka dari ketergantungan untuk disuapi.
Kelima, Meng-alam-i Kemerdekaan. Ini level selanjutnya. Pengejawantahan ajaran memerdekakan diri yang telah dilatih melalui sholat ke alam semesta. Seolah sekedar makna idiomatis, namun kita sering lupa bahwa kemerdekaan sejatinya bukan untuk dinikmati, tetapi dialami. Apa bedanya? Saya bisa saja menikmati merdunya alunan biola Mas Ari Blothong dari kanal YouTube, tetapi saya baru bisa mengalami atmosfer magisnya ketika saya mengikuti seluruh rangkaian acara dari awal sampai akhir yang di sela-selanya beliau mengeluarkan kemampuan menggesek biola terbaiknya. Lebih dalam lagi, saya akan mengalami nuansa makna terdalam biola itu jika saya juga mempelajarinya, memainkannya dengan versi saya untuk tujuan menggembirakan dan memberi manfaat sebanyak mungkin orang yang mendengarkannya.
Demikian juga di dunia balap, politik, dagang, dan sekolah. Alami kemerdekaan dalam hidup senyata mungkin, dan nyatakan kemerdekaan dalam hidup sealami mungkin. Barankali ini yang Cak Nun maksud Islam sebagai sebuah metode untuk liberation (memerdekakan).
Keenam, Karier dan Kebesaran. Podium dan Kemenangan, itu paralelnya. Keduanya adalah angan-angan dan harapan tertinggi setiap pembalap ketika melaju di lintasan balap. Tidak jarang, karena saking inginnya menang, pembalap terlalu bersemangat menarik gas dan kurang menahan rem ketika belok kanan dan diri. Padahal, di dua titik belokan inilah fungsi rem menjadi sangat penting. Dan Cak Nun selama di Eropa menyelami kanan dan kiri ini langsung dari sumber primernya. Bahkan, beberapa sesepuh Mafaza yang hadir kala itu adalah representasi kedua etos itu. Keduanya dilalui oleh Cak Nun dengan gas dan rem yang proporsional.
Jika Cak Nun terkejut dengan mau berkumpulnya mereka ber-Maiyah di Eropa, terutama sesepuh kanan-kiri yang mau melingkar dengan para pembalap ingusan yang masih bau kencur itu, saya juga terkejut dengan cerita-cerita mereka tentang Cak Nun semasa di Eropa. Soal karir berpuisi dan bersastra di luar kampus tetapi diabadikan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh seorang profesor kenamaan. Soal rambut gondrong yang menurut sahabat terdekat beliu di Berlin adalah kharisma terkuat beliau, namun suatu saat justeru sengaja digundul plonthos. Soal aura dan ketokohan beliau di tanah air yang membatasi gerak fisik dan sosial, sehingga merasa harus hidup di Eropa untuk menikmati kemerdekaan sebagai homeless. Soal hobi menyisir rambut dan sisir butut yang entah nemu dimana, dan selalu disimpannya di saku baju depan untuk memastikan orang-orang yang baru mengenalnya tidak menganggapnya sebagai ‘homeless beneran’. Soal menyembunyikan kebesaran nama Muhammad sebagai nama depan beliau karena begitu malunya beliau kepada sang pemilik nama itu. Soal panggilan Ainun dari sang Ibunda beliau yang juga populer di kalangan sahabat terdekatnya di Eropa, dan masih banyak lagi.
Itu semua ilmu balap kemerdekaan bangsa dan rakyat Indonesia yang refleksinya sangat kuat di bumi Eropa, bukan grand prix merde-kah 2020 yang dari logo resminya saja sudah menimbulkan kontroversi. Jika Indonesia tidak juga alhamdulillah memiliki Cak Nun, ya sudah Inna lillahi wa inna ilaiHi roji’un. Dirgayahu Indonesia, Maharddhika Indonesia.
Amsterdam, 18 Agustus 2020