Gembira dalam Sunyi di Temaram Padhangmbulan
Terakhir kali merasakan atmosfer Maiyahan adalah di Kenduri Cinta edisi 13 Maret 2020. Sehari sebelumnya, mungkin atmosfer Maiyahan terakhir bersama pakde-pakde KiaiKanjeng yang kebetulan dilaksanakan di kampung halaman saya, di Belik, Pemalang. Tidak terasa, sudah 8 bulan kita tidak merasakan kehangatan suasana Maiyahan seperti sebelum-sebelumnya. Beberapa edisi, Mocopat Syafaat terlaksana secara terbatas di Kadipiro, begitu juga Gambang Syafaat dan Bangbang Wetan yang sempat Maiyahan juga di Kadipiro beberapa waktu yang lalu.
Sementara, simpul-simpul lain, seperti Kenduri Cinta juga tetap menggeliat di tengah keterbatasan. Sepuluh edisi Reboan on The Sky terselenggara, yang bisa dikatakan juga cukup menguras energi. Dua bulan lalu, sempat juga melaksanakan Maiyahan secara terbatas, namun karena memang terkendala teknis dengan aturan PSBB di Jakarta, Kenduri Cinta belum bisa menyelenggarakan Maiyahan seperti biasanya. Dan simpul-simpul Maiyah lain pun tetap juga beraktivitas dengan geliat rutinan mereka masing-masing. Semua dilakukan semampu-mampunya, sebisa mungkin dengan segala keterbatasannya.
Maiyahan yang kita rasakan atmosfernya dengan berkumpulnya massa di lapangan atau di sebuah tempat, semula berawal dari sebuah pengajian kecil, yang pada awalnya hanya diniati sebagai pengajian rutin keluarga, satu bulan sekali, di Menturo. Dari data yang saya ketahui, saat itu Cak Dil menginisiasi agar terwujud sebuah momen di mana Mbah Nun bisa pulang ke Menturo sekali dalam satu bulan, mengingat saat itu jadwal Mbah Nun sangat padat mengisi berbagai forum-forum diskusi.
Yang saya pahami, segala sesuatu memang ada batasnya. Hikmah pandemi Covid-19 ini pun bisa kita masuki dari berbagai pintu. Setiap individu berhak untuk menghikmahi apapun saja dalam situasi seperti saat ini. Mungkin tidak perlu sampai Lockdown 309 tahun, seperti yang dituliskan Mbah Nun. Tetapi, seharusnya dengan bekal-bekal nilai Maiyah yang sudah diwedar Mbah Nun selama ini, kita masing-masing mampu mengambil hikmah dari pandemi Covid-19 ini.
Bisa jadi, salah satu hikmahnya adalah Allah mendatangkan Covid-19 ini agar kita sebagai Jamaah Maiyah menyadari bahwa memang semua ada batasnya, termasuk kita dalam menikmati Maiyahan. Yai Toto Rahardjo pernah menyampaikan bahwa masa-masa pandemi ini justru adalah masa yang tepat bagi Jamaah Maiyah untuk mengaplikasikan nilai-nilai Maiyah. Alhamdulillah, dengan berbagai macam skala, dari yang kecil hingga yang besar, setidaknya dari yang saya mampu menjangkaunya, teman-teman Jamaah Maiyah di setiap Simpul Maiyah banyak melakukan upaya-upaya untuk terus bertahan hidup.
Dalam forum Reboan minggu lalu di Kenduri Cinta, saya sampaikan kepada teman-teman penggiat KendurI Cinta, salah satu hal lain yang bisa kita teladani dari Mbah Nun adalah survivalitas atau daya bertahan hidup. Mbah Nun telah melewati segala zaman, bahkan sejak zaman yang kita belum merasakannya sampai saat ini. Dan Mbah Nun tetap survive.
Jika berbicara atmosfer Maiyahan, maka kita sudah sepakat bahwa kita semua rindu dengan suasana itu. Cukup banyak yang mengungkapkan kerinduan untuk kembali Maiyahan. Tapi pertanyaan yang muncul kemudian adalah; Apakah ber-Maiyah itu hanya sekadar ketika kita Maiyahan?
27 tahun yang lalu Padhangmbulan, embrio dari Maiyah dirintis melalui sebuah forum yang sangat sederhana dengan tujuan yang juga sangat sederhana. Sekian tahun perjalanannya, Padhangmbulan menjadi sebuah fenomenal. Padhangmbulan merespons zaman, hingga kemudian lahir adik-adik dari Padhangmbulan; Mocopat Syafaat, Gambang Syafaat, Kenduri Cinta, Bangbang Wetan, Papperandang Ate hingga 60 lebih titik Simpul Maiyah yang terdata hingga hari ini di Koordinator Simpul Maiyah.
Mungkin Allah sedang mengajak kita untuk merasakan atmosfer pada masa awal-awal Padhangmbulan saat baru dirintis. Dan semua kembali kepada diri kita masing-masing, apakah kita peka dengan hidayah dari Allah atau tidak. Jangan heran jika pada akhirnya kita melewati masa pandemi ini begitu saja, tanpa ada kesan apa-apa.
Mbah Nun di awal tahun 2020 ini pernah menyampaikan bahwa yang kita butuhkan saat ini adalah peradaban Desa. Dalam pandangan saya, momen kontemplasi selama pandemi ini adalah awal dari kembalinya kita ke peradaban Desa. Sebuah peradaban yang memang sudah kita tinggalkan, terlebih dengan pesatnya teknologi saat ini. Lihatlah sekeliling kita, tetangga kanan-kiri rumah kita, jangan-jangan kita sudah tidak saling akrab lagi dengan tetangga kita? Teknologi justru semakin mengakrabkan kita dengan mereka yang sebenarnya “jauh” dari kita.
Dengan selama 8 bulan ini kita tidak melaksanakan Maiyahan seperti biasanya, semoga menghadirkan kembali hikmah-hikmah mengenai kebersamaan, tepo sliro, tenggang rasa antar sesama. Dan juga, bukan berarti dengan kita tidak bisa melaksanakan Maiyahan seperti biasanya, kita tidak mampu mendapatkan nilai-nilai Maiyah yang diwedar oleh Mbah Nun dan Marja’ Maiyah lainnya.
27 tahun Padhangmbulan, semoga menjadi sebuah momentum re-start bagi kita semua, Jamaah Maiyah. Yang bisa kita upayakan saat ini adalah menunggu akan seperti apa kehendak Allah selanjutnya untuk kita.
Selamat ulang tahun, Padhangmbulan.