Gantungan Hati
He who has a why to live for can bear with almost any how. Dia yang memiliki alasan untuk hidup, bisa menghadapi keadaan apapun. Nietzsche bilang begitu. Dalam hal ini, bener banget filsuf Jerman. Semua kisah kepahlawanan gagah berani yang terjadi dalam peperangan hanya mungkin terjadi karena para tentara itu telah menemukan alasan yang mulia untuk maju bertempur dan menanggung lelah dan sakitnya luka, bahkan kematian. Terlepas dari apakah makna itu dipaksakan sebagai doktrin militer ataupun hasil kontemplasi pribadi sang prajurit, makna itu membuat mereka tetap bisa merasa bahagia betapapun berat penderitaannya.
Hal yang sama bisa kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa teman dekat saya sukses berhenti merokok, karena menemukan alasan yang membuat mereka mampu mengatasi penderitaan (terutama batin) tidak merokok. Ada yang berhenti karena anak perempuannya yang paling kecil tiba-tiba suatu saat bertanya, “Bapak kok merokok sih? Itu kan berbahaya bagi kesehatan. Emangnya Bapak gak sayang ya sama — sebut saja — Mawar?”.
Pertanyaan ini kemungkinan besar titipan dari ibunya, tetapi tetap saja tentu sangat mengharukan buat si Bapak. Dan sejak saat itu dia bertekad berhenti merokok. Setiap kali godaan untuk merokok itu datang (bagi perokok tentu paham betul memang sungguh berat menolak godaan itu), dia segera teringat anaknya dan seketika itu juga penderitaannya tidak merokok menjadi terasa tidak terlalu berat. Ada juga teman yang berhasil berhenti merokok karena cinta sejatinya melarangnya merokok. Pengorbanannya berhenti merokok dia rasakan menjadi bermakna karena berusaha membahagiakan pacarnya itu.
Saya tidak mengatakan bahwa orang yang masih terus merokok berarti tidak mencintai keluarganya. Kecintaan yang sama bisa membuat dia terus merokok. Karena, siapa bilang merokok itu hanya mudharat. Dia membantu kita meredam amarah sesaat. Sehingga terhindar pertengkaran hebat. Dan terbina keluarga sakinah mawaddah wa rahmat. Begitulah mungkin makna yang ditemukan oleh para–masih–perokok.
Sebenarnya pemaknaan hidup itu hanya soal kepada apa atau siapa kita menggantungkan hati. Hati perlu disandarkan atau digantungkan sesuatu agar membuatnya bahagia. Sayangnya kebanyakan dari kita menggantungkan hati pada hal-hal yang berubah-ubah. Misalnya kita menggantungkan hati pada harta, pangkat, suami/istri, anak, atau hal-hal abstrak mendekati mitos seperti nasionalisme dan cinta romantis lawan jenis. Yang semuanya itu — andaikan ‘nyata’ — hanya sementara dan juga mudah sekali berubah. Akibatnya hati selalu gelisah terombang-ambing ke sana ke mari. Dan bukan hanya terombang-ambing, bahkan hati bisa terhempas jatuh karena gantungannya hilang. Orang lalu kehilangan makna hidup dan merasakan apa yang disebut kehampaan eksistensial. Kosong hidupnya dan yang terburuk bisa berujung pada kehilangan hasrat untuk hidup.
Bayangkan misalnya betapa menderitanya para prajurit itu ketika kemudian pulang mendapati bahwa semua tugas suci bela negara yang selama ini dijejalkan ke kepala mereka sesungguhnya adalah omong kosong belaka. Atau apa yang terjadi dengan mantan perokok itu ketika kisah cintanya kandas di tengah jalan.
Oleh karena itu, gantungkanlah hatimu pada buhul tali yang sangat kuat yaitu Tuhan Yang Maha Perkasa dan Kekal. “Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan.”
(QS Lukman: 22). Berserah, katakan “iya” pada apapun yang terjadi padamu. Dan lakukan yang terbaik yang dituntut darimu pada saat itu. Niscaya akan senantiasa bermakna hidupmu dan tenang hatimu.