Festival Arsip Kampung Dipowinatan
Bertempat di Pendopo Ndalem Jayadipuran, yang saat ini merupakan bagian dari kompleks Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) DIY, tadi malam (16/12/20) berlangsung pembukaan Festival Arsip “Ephemera” dan Pekan Seni Dipowinatan. Festival ini diselenggarakan oleh Indonesia Visual Art Archive (IVAA) bekerja sama dengan warga kampung Dipowinatan Yogyakarta dan digelar mulai 16 hingga 22 Desember 2020.
Komplek Ndalem Jayadipuran sendiri merupakan bagian dari wilayah kampung Dipowinatan yang berada di pinggir Jalan Brigjen Katamso Yogyakarta yang dulunya di kompleks Ndalem ini terdapat jalan tembusan untuk masuk ke dalam kampung Dipowinatan. Sementara salah satu gang/jalan menuju kampung Dipowinatan ini hanya berjarak sepuluh meter saja di selatan kantor BPNB.
Festival Ephemera berhajat menyajikan arsip-arsip warga kampung Dipowinatan menyangkut sejarah, kehidupan, sosok atau orang-orang, serta proses-proses kreatif yang berlangsung di kampung Dipowinatan. Sebagai contoh, dalam hal sejarah bangsa Indonesia, adakah kita tahu atau masih ingat bahwa Kongres I Perempuan Indonesia diselenggarakan di Dipowinatan pada 22 Desember 1928. Adakah pula yang mencermati bahwa pada tahun 70-an sebenarnya di kampung ini berjalan suatu proses kreatif kebudayaan yang kelak melahirkan sosok-sosok dan fenomena.
Dari sini mengalir dua hal yang selayaknya dicatat.
Pertama, kampung Dipowinatan dalam sejarahnya telah menjadi tempat bagi lahir dan berprosesnya orang-orang unik dan penting dalam kancah kebudayaan Yogyakarta, Indonesia, bahkan dunia. Orang-orang itu meliputi orang yang asli Kampung Dipowinatan maupun yang datang ke situ dan bergaul-berproses-berkreativitas bersama di Dipowinatan. Sebut misalnya, pantomimer Jemek Supardi yang asli warga Dipowinatan. Novi Budianto KiaiKanjeng yang juga asli Dipowinatan yang merupakan penyusun dan peramu musikalitas Musik-Puisi Karawitan Dinasti serta pada perjalanan berikutnya merupakan “roh” musik KiaiKanjeng.
Kemudian Mbah Nun atau Emha Ainun Nadjib sang penyair yang bersama Karawitan Dinasti pada era 70-an melahirkan fenomena baru dalam jagat perpuisian Indonesia, yaitu Musik-Puisi. Sekalipun bukan orang Dipowinatan, Mbah Nun memiliki hubungan batin yang kuat bukan saja dalam konteks kesenian tetapi juga keluarga. Sesungguhnya pula, keberadaan Mbah Nun saat itu bukan semata dalam arti ikut berproses secara kesenian, malahan menurut Ketua Kampung Dipowinatan yang memberikan sambutan semalam, Mbah Nun saat itu, “Berperan sebagai guru yang mendidik, melecut, dan membimbing kakak-kakak senior saya ini.” Senior yang dimaksud adalah remaja-remaja Dipowinatan tahun 70-an yang berkegiatan dalam Karawitan Dinasti ini, dari Pak Nevi, Pak Godor, Joko Kusnun, hingga Pak Narto Piul, dll.
Deretan nama-nama Seniman yang masuk ke dalam kebun “Dipowinatan” masih panjang. Ada Joko Kamto, Jujuk Prabowo, Vincencius Dwimawan, dan tak ketinggalan penyair sublim Iman Budhi Santosa yang minggu lalu baru saja meninggalkan kita semua.
Maka, di ruangan Ndalem Joyodipuran kita disuguh secara apik berbagai macam dokumentasi, arsip, memorabilia, benda-benda dan artefak lain yang menyangkut Dipowinatan yang disajikan dalam beberapa media, seperti media pajang dinding, video, art, foto, teks data kronologis, dan lain-lain, termasuk sketsa wajah-wajah para seniman dalam lingkup ‘kebon’ Dipowinatan. Pameran ini dikuratori oleh Pang Warman yang juga pernah aktif di Dipowinatan.
Beberapa konten di dalam ruang pameran itu di antaranya adalah catatan tahun berapa berlangsung apa di Dipowinatan, foto-foto kegiatan dan suasana Dipowinatan, kliping dan poster kegiatan pentas teater dari teater Dipo hingga Teater Dinasti, poster dan foto pantomim Jemek Supardi dari masa dahulu hingga (video) pantomim di masa pandemi, dokumentasi kegiatan Musik-Puisi Karawitan Dinasti (di dalamnya tentu foto masa muda Mbah Nun, juga Pak Nevi dan Pak Jokam) , beberapa karya visual Novi Budianto, sketsa wajah orang-orang Dipowinatan oleh Vincensius Dwimawan, lukisan Suhartono BA, puisi dan beberapa buku Iman Budhi Santosa, kliping berita Tertib Suratmo, bahkan bahan-bahan jamu kerkop atau jamu celok yang legendaris dan tempatnya di seberang jalan raya Brigjen Katamso juga dihadirkan di situ.
Kedua, fenomena Dipowinatan ini bagi Mbah Nun mengisyaratkan bahwa jika kebanyakan seniman lahir secara individual, beda halnya yang terjadi dengan seniman-seniman Dipowinatan. Mereka lahir dari, dalam, dan tumbuh dalam komunalitas kampung Dipowinatan.
Di sini, kita melihat relevansi pameran Ephemera yang digelar IVAA ini. Semangatnya adalah menunjukkan bahwa dokumentasi atau arsip bukan hanya tersimpan di atau dikerjakan lembaga-lembaga yang selama ini berwenang/berkewajiban mengelola, tetapi arsip itu sudah tersimpan dalam tubuh masyarakat itu sendiri.
Dipowinatan dengan sejarah dan aktivitas warganya tentu perlu didokumentasikan dengan baik, dan mereka menjumpai bahwa dokumentasi-dokumentasi itu masih tersimpan oleh warga. Sebagai contoh, foto-foto Jemek pentas di masa lalu masih ada dan bisa kita nikmati. Demikan pula, kegiatan pentas Musik-Puisi Karawitan Dinasti seperti di Gedung Kesenian Senisono masih bisa kita lihat dan sebagian menjadi latar-layar dari panggung pentas Dinasti tadi malam. Tentang Musik-Puisi Karawitan Dinasti ini teman-teman perlu membaca tulisan Mbah Nun seri Kebon nomor 2 berjudul “Persemaian Musik-Puisi”.
Seperti Ini Seharusnya Indonesia
Keberadaan Musik-Puisi Karawitan Dinasti yang lahir dan berproses di Dipowinatan tentu menjadi fokus perhatian dalam festival ini. Semalam orang-orangnya, yang alhamdulillah masih dianugerahi panjang umur, diminta tampil membawakan beberapa nomornya yang tak lain adalah puisi-puisi karya Mbah Nun seperti ‘Bali’, ‘Tuhan Aku Berguru Kepadamu’, ‘Berdekatankah Kita’, ‘Jakarta’, dan ‘Nyanyian Gelandangan’.
Pembaca puisinya adalah Mas Seteng, dan khusus pada nomor Nyanyian Gelandangan bapak-bapak Dinasti itu meminta Mbah Nun langsung yang membacanya. Kontan ini menjadi kejutan dan dan magnet tersendiri tadi malam dari rangkaian nomor Musik-Puisi Karawitan Dinasti ini. Mbah Nun membacakannya secara bagus dan berkekuatan.
Di tengah lirik puisi Nyanyian Gelandangan ini ada momen membaca adzan yang menghadirkan magi. Perhatian seluruh audiens yang datang baik para pemimpin kampung, kepala BNPB, para kurator kesenian, maupun hadirin pada umumnya semua meningkat konsentrasinya kepada pembacaan puisi oleh Mbah Nun ini. Mereka menikmati sajian langka yang penuh nuansa mengenang-mengarsip dan menghadirkan kembali jejak-jejak langkah kebudayaan dan hangatnya bebrayan kemanusiaan di kampung Dipowinatan pada kurun tahun 1970-80-an.
Sebelum membaca puisi Nyanyian Gelandangan ini, Mbah Nun diminta ikut memberikan respons terhadap pameran ini maupun tentang kampung Dipowinatan. Mbah Nun mengapresiasi kegiatan ini sebagai hal yang bukan hanya baik tetapi juga indah.
Bahkan lebih mendalam lagi, aktivitas laku dokumentasi seperti ini dalam bahasa Mbah Nun adalah niti laku memori cahaya (memori Nur Muhammad) yakni mencari atau mengurut siapa sejatinya diri kita dalam kerangka sangkan paraning dumadi. Bagi Mbah Nun, apa yang berlangsung dengan festival Dipowinatan ini juga sangat penting untuk perjalanan ke depan. Sebab, sebuah bangsa tak bisa bergerak ke depan tanpa mempertimbangkan masa silam.
Sebagai contoh, Mbah Nun menegaskan, musik Karawitan Dinasti inilah Indonesia, dalam arti tidak tiba-tiba kita membawakan blues, hiphop, atau yang lain. “Musik kita adalah slendro-pelog. Kalau mau bikin musik musik ya nerusin ini mestinya,” kata Mbah Nun. “Sehingga jika mau mengglobal ya dengan modal sendiri yaitu slendro-pelog.”
Di sinilah kemudian Mbah Nun berbicara tentang Novi Budianto. Menurut Mbah Nun, seharusnya Pak Nevi–panggilan Novi Budianto–mendapatkan anugerah kebudayaan, minimal tingkat nasional. Sebab, dialah perintis musik KiaiKanjeng yang mengawinkan nada pentatonis dan diatonis. Dalam bahasa Mbah Nun, Indonesia tahap awal adalah musik Karawitan Dinasti dan tahap perkembangan inovatifnya adalah KiaiKanjeng, dan Pak Nevi ada di situ semua sebagai roh dan mujaddid-nya.
Dalam sesi dialog di tengah pementasan Musik-Puisi tadi malam Pak Nevi juga diminta bercerita tentang Dipowinatan kala itu serta merespons pertanyaan salah seorang audiens. Pak Nevi bercerita bahwa dulu kesenian itu merakyat. Setiap kampung memiliki kelompok teater. Kemudian ada kegiatan bernama arisan teater yang berisi pentas kesenian anak muda berbentuk kompetisi adu kreativitas.
Usai kompetisi pentas teater itu selanjutnya selalu disusul dengan pembahasan oleh para ahli atau kritikus. Iklim seperti itu sangat memancing kreativitas serta tidak ada rasa ragu-ragu bahwa kalau-kalau nanti tak ada yang nonton teater atau kesenian yang ditampilkan oleh kelompok-kelompok kesenian itu. Malahan, Pak Nevi dan teman-teman saat itu sudah terbiasa membawa gamelan dengan naik becak, jalan kaki berkilo-kilo, kemudian kalau kalau mau pentas, bikin poster sendiri bahkan bisa oyak-oyakan dengan petugas dari dinas pajak.
Demikianlah sedikit catatan dari Festival Ephemera yang mengangkat arsip warga kampung Dipowinatan dalam lintasan waktu dan sejarah.