Fa Huwa Fa’ilun dan Pragmatisme Akronim
Apa yang saya tulis mungkin terkesan sepele bagi sebagian orang. Namun, yang sepele itu justru membuat saya gemes.
Pesan dari grup kumpulan wali murid masuk ke Whatsapp saya. Isinya jadwal belajar siswa. Tertulis: “Jadwal KBM BDR”. KBM saya tahu maksudnya: Kegiatan Belajar Mengajar, walaupun terbuka sejumlah kemungkinan, seperti Kelompok Bermain Mandiri atau Komunitas Belanja Mama-mama…
Lha BDR, kepanjangannya apa? Butuh berjam-jam untuk mengetahui kegaiban Si BDR ini.
Saya baru ngeh setelah melacaknya secara othak athik gathuk. Yang dimaksud BDR adalah Belajar Dari Rumah. Gusti Pengeran! Alangkah katrok saya.
Sekarang, apa yang tidak dijadikan singkatan dan dipaksakan jadi akronim? Banjir bandang akronim dan singkatan kian mencemaskan karena melewati batas ambang kewajaran nalar sehat.
Akronim BDR mengandung tingkat keterpelesetan makna yang tinggi. Ia bisa dipanjangkan Belajar di Rumah atau Belajar dari Rumah. “Belajar di Rumah” menekankan lokasi dan tempat belajar berada di rumah. Fokus kesadarannya pada papan, tempat, panggonan di mana aktivitas belajar diselenggarakan, yang tidak memerlukan akses keterhubungan dengan dunia luar.
Pada konteks ini kita bisa mengatakan: “Saya mengerjakan shalat di rumah.” Pasti berbeda kalau kita menyatakan, “Saya mengerjakan shalat dari rumah.”
Sedangkan “Belajar dari Rumah” menjadikan rumah sebagai titik lokasi. Informasi, pengetahuan, data atau segala hal yang diperlukan bisa diakses sedemikian rupa dari rumah menggunakan perangkat tertentu. Seorang siswa bisa mempelajari peta kondisi global saat pandemi Covid-19 dari rumah dengan mengakses website atau media sosial.
Akronim BDR mengaburkan esensi “di” dan “dari”. Kesembronoan pencetus dan pemakai singkatan BDR cukup diatasi dengan berkata, “Itu kan cuma istilah. Toh maksudnya sama…”.
Saya sudah menulis jawabannya: “In buk cum ur is dan sing. Kit tel keh or bah es pen…” Jawaban itu lantas saya urungkan sendiri karena membuat orang bingung.
Hal serupa juga menimpa seorang kawan. Ia mendadak goblok setelah menerima “Jadwal KBM Pembeda”. Bergegas kawan saya berangkat ke sekolah untuk melakukan klarifikasi program baru yang bernama KBM Pembeda. Apanya yang beda? Mengapa beda? Sejak kapan KBM perlu Pembeda? Bagaimana cara melakukan KBM yang Pembeda itu?
“Ya KBM seperti biasa, Pak, tapi dilaksanakan di rumah,” ucap seorang guru.
Kawan saya belum mengerti benar. “Belajar seperti biasa kenapa disebut KBM Pembeda? Yang beda apanya? Alat komunikasinya? Merek HP-nya?”
“Pembeda itu kepanjangan dari Pembelajaran Daring, Pak.”
Spontan kawan saya mengucapkan “syahadat nJombangan” di depan dewan guru yang terhormat.
Saya merasa lega karena kesembronoan penggunaan akronim dan singkatan bukan berlangsung di komunitas yang terbatas. Istilah “Social Distancing” yang direvisi menjadi “Physical Distancing” yang berlaku secara global menunjukkan akurasi denotasi belum menjadi pertimbangan yang mendasar untuk menyelamatkan nyawa dan masa depan manusia.
Hadija, Gabut, Baper, Gercep...
Perilaku nuthul menjadi kelaziman. Langkahnya pendek-pendek, selangkah dua langkah, karena jarak pandangnya tidak lebih jauh dari itu. Pragmatisme shortcut, instan, kepingin menikmati hasil: cepat populer, cepat kaya, cepat berkuasa menjadi motor penggerak sosial, ekonomi, politik, agama dan pendidikan.
Penggunaan akronim mulai dari percakapan sehari-hari hingga relasi resmi birokrasi menjamur di ruang komunikasi publik. Mulai dari ABG imut-imut hingga Bapak-Ibu pelaku tulen birokrasi berenang-renang dalam lautan akronim dan singkatan yang ambigu dan dangkal.
Hati-hati di jalan diakronim jadi “Ti Ti Di Je”, lalu dievolusi lebih mesra jadi “Hadija”. ” On the Way” jadi “Otewe.” Kita bisa menyebut akronim yang lain, misalnya baper, bucin, gabut, gaje, gercep, halu, mager.
Akronim dan singkatan yang ambigu adalah screenshoot zaman ketika manusia hilang titik pijaknya, oleng akurasi intelektualnya, gagap artikulasi pikirannya, gelap mata pandangnya. Yang tersisa tinggal sikap main-main, ngguya-ngguyu, cengengesan.
Kata-kata dilahirkan tidak dari kedalaman nilai yang ngajeni manusia. Tidak diinisiatifi oleh kesadaran sangkan paran. Satu biji kata bisa lahir dari struktur sosial politik yang menindas. Konteks sebuah kata bahkan didesain untuk kepentingan politik dan ideologi dengan cara mempersempit konotasi tanpa menghitung dan mempelajari analisis forensik linguistik, “asbabun nuzul”, etimologi, filosofi dan kandungan akidahnya.
Bangunan berpikir (bun-yanut tafkir) tidak menjadi keniscayaan. Padahal satu buah kata memiliki konteks waktu, makna dasar, pelaku, objek, tujuan, amanat, cara, sarana, norma yang semua itu tidak bisa dipersempit menurut selera politik dan ideologi tertentu.
Orang hanya tahu sebiji kata lalu mandeg di situ dengan setting konotasi yang sempit dan dangkal. Logika dan analisa bentukan kata, seperti fiil madli, fiil mudlorik, masdar ghoiru mim, masdar mim, isim fail, isim maf’ul, fiil amr, isim makan, isim alat dibiarkan terbengkalai.
Kita sepakat satu buah kata tidaklah netral. Selain bersifat politis dan ideologis, satu buah kata (semestinya) mengantarkan kita pada kesadaran Huwa (Dia) sebagai Yang Maha Subjek. Maiyah mentadaburinya sebagai Sang Maha Pelaku Perubahan. “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (Q.S. Ar-Ra’du: 11)
Tidak mengherankan apabila pada struktur Ilmu Tasrif (al-Amtsilah al-Tashrifiyyah) — yang ditulis KH. Muhammad Ma’shum (wafat 1351/1933) dari Pondok Pesantren Seblak Diwek Jombang — memasang kata fa huwa pada isim fail: fa huwa faa’ilun, yakni bentukan kata yang menunjukkan arti orang yang melakukan pekerjaan.
Tadaburnya, Huwa adalah Allah yang Maha Ghaib sebagai Pelaku Utama. Manusia Jawa memiliki istilah nyambut gawe. Nyambut artinya meminjam. Tenaga, pikiran, energi kreativitas, daya inovasi yang kita sangka sebagai perangkat kecerdasan adalah pinjaman dari-Nya. Hakikat Isim Failnya tetap Huwa, Dia, Allah Swt.
Mengapa kata-kata, seperti baper, mager, anjay, Jombang Beriman (ternyata yang dimaksud adalah Bersih Indah dan Nyaman) digandrungi masyarakat dan menjadi arus utama cara berpikir dan berkomunikasi?
Jagalan, 17 September 2020