Entah Apa dan Entah Siapa
Baru kali ini ada yang bisa menghentikan komidi putar supersonik kecepatan tinggi, pesawat terbang, kereta api, sekolah, Ujian Negara (UN), supermarket, rapat-rapat, resepsi pengantin, kompetisi olah raga, hingga ibadah berjamaah.
Apa dan siapakah “Dia”?
Yang jelas aku beruntung ikut menyaksikan dan dapat mengalami kepanikan manusia di bumi terhadap situasi yang luar biasa dan tidak pernah terjadi sebelumnya. Peristiwa ini membawa kita perlu mengkaji dan merenungkan ulang mengenai nilai hidup global manusia di bumi ini.
Segala yang dianggap sebagai kemajuan seperti mesin perang yang beranggaran tinggi untuk pertahanan negara atas nama nasionalisme menjadi dipertanyakan kembali. Ternyata mesin perang sekalipun tak mampu menahan serangan mahluk tak kasat mata itu yang sekarang ini menjadi “musuh” bersama manusia berbagai bangsa.
Setelah makan malam bersama istri, anak dan cucu, aku melontarkan seloroh “Eh, jika bapak ini yang sudah tua renta, tiba-tiba sekarang mati—rasanya bapak rela mati dalam situasi dunia yang ‘menakjubkan’ dan ‘menggetarkan’ seperti sekarang ini. Dapat melihat drama reaksi umat manusia untuk menyelamatkan diri melawan virus Corona,” ujarku lagi.
“Sudah?,” anakku bertanya tegas apakah ocehanku sudah tuntas.
“Gini, Bapakku bisa rela mati dengan situasi Corona yang menakjubkan lewat imajinasimu. Rela mati dalam usiamu yang telah tua. Lha, aku yang masih muda? Jelas nggak maulah mati muda karena Corona.”
Ia lalu melanjutkan, “Dan ingat, generasimu termasuk generasi yang rakus dan tak pernah puas mengeruk kekayaan bumi. Warisan generasimu adalah pencemaran lingkungan akut dan perubahan iklim yang nyata. Itu warisan generasimu bagi generasiku.”
Pikiranku kembali dalam percakapan bersama anakku dan gugatan yang baru saja ia lontarkan. Bisa jadi memang kita, umat manusia, adalah hama sesungguhnya di planet ini. Covid-19 lantas menjadi ‘antivirus’ atas keserakahan kita. Keserakahan yang tak kunjung membuat kita puas, sekaligus membawa kita tak pernah sedekat saat ini dengan keluarga. Dan ketika kita harus tinggal di rumah, seringkali masih saja terasa seperti terpenjara.
Percakapan yang sempat terhenti sejenak kututup dengan jawaban lirih, “Maafkan, Nak.”
Tampaknya Dunia akan nyepi dalam tempo berbulan-bulan bahkan mungkin bertahun-tahun menuju pencapaian “kebenaran dan martabat” manusia.
Nitiprayan, 24 Maret 2020