Duta Bangsa Menghadap Tuhan
Dalam Sinau Bareng Maiyahan sering diceritakan tentang suatu kendaraan bermuatan banyak orang, entah bis entah pesawat, yang secara teknis seharusnya mengalami kecelakaan tetapi akhirnya selamat. Karena Allah sayang kepada salah seorang penumpang yang Ia nilai saleh dan sedang berdzikir serius mohon keselamatan. Atau sebuah kelompok, entah perusahaan atau kumpulan lainnya, dipimpin seorang kiai atau ustadz berdoa mohon rezeki dan kemudahan untuk membangun masjid bersama, ternyata kemudian Allah mengabulkan. Pertanyaannya: apakah yang Allah kabulkan itu kiai atau ustadz yang memimpin doa, ataukah direktur atau pimpinan kelompok itu, atau salah seorang lainnya yang tidak begitu dikenal namun dinilai oleh Allah memenuhi syarat untuk dikabulkan ucapan “Aamiin”-nya atas doa itu.
Umpamanya atas situasi siksaan nasional oleh virus Corona ini sekarang pemimpin-pemimpin ormas-ormas Islam mengajak kaum Muslimin se-Indonesia berdoa bersama. Tentu tidak dengan berkumpul secara fisik di masjid atau lapangan-lapangan. Melainkan ditentukan saja hari, tanggal dan jamnya, untuk dilaksanakan oleh semua Muslimin di rumahnya masing-masing, dengan panduan doa tertentu — misalnya “Ya Allah, selamatkanlah bangsa Indonesia dari serangan virus Corona. Yang sudah terlanjur Engkau panggil ya sudah kami ikhlaskan. Tapi mohon jangan ada kematian lebih banyak lagi. Apalagi ada klaim bahwa Indonesia adalah bom waktu Corona di mana akan ada hari yang mengejutkan tentang jumlah tak terkirakan dari korban Corona. Ya Allah, selamatkanlah bangsa Indonesia. Mbok ya ndak usah ada Corona Gelombang-II dan Gelombang-III. Satu ini saja sudah cukup ya Allah. Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal Maula wa ni’man Nashir”.
Andaikan Allah ternyata mengabulkan, siapakah yang menjadi pertimbangan-Nya untuk mengabulkan? Kiai yang memimpin doa? Pimpinan ormasnya? Ataukah seseorang yang kita tidak kita duga sama sekali, tidak begitu dikenal, tetapi justru menjadi perhatian pertimbangan utama Allah? Sebagaimana seorang penumpang di pesawat atau bis yang diselamatkan oleh Allah dari kecelakaan di atas?
Atau Allah sendiri langsung memerintahkan agar bangsa Indonesia mengirim Duta Bangsanya untuk menghadap Allah Swt di singgasana Arasy-Nya. Siapa kira-kira satu tokoh yang akan dipilih oleh rakyat Indonesia untuk sowan ke langit? Atau dengan model berpikir konstitusi kenegaraan, langsung saja Presiden yang berangkat mewakili rakyatnya. Tidak usah pakai kostum Papua pedalaman atau pegunungan, pakai yang biasa beliau pakai pas Peringatan 17-an saja. Pokoknya karena Allah sendiri yang memerintahkan, Allah sudah menyiapkan Diri-Nya untuk memenuhi atau mengabulkan apa yang akan dimohonkan oleh rakyat Indonesia.
Mungkin ada perdebatan terutama di kalangan menengah dan elite, utamanya di parlemen, tentang siapa Duta Bangsa Manghadap Tuhan. Para pakar saling berargumentasi tentang siapa yang sebaiknya diutus ke langit? Siapa yang kira-kira membuat Allah menerimanya dan mengabulkan permohonannya? Apakah ketokohan seseorang di dunia atau sebuah negara? Atau yang paling terpelajar? Yang paling pandai “Ilmu Agama”nya? Yang ahli Kitab Islam tradisional ataukah yang pakar pemikiran Islam modern? Yang pewaris pesantren salafiyah tradisional domestik ataukah yang alumnus Al-Azhar Mesir atau universitas Islam utama di Madinah dll? Atau kealiman dan kesalehan salah satu atau sejumlah orang di antara mereka yang berdoa? Atau yang paling banyak jumlah shadaqahnya? Ataukah yang paling prihatin keadaannya? Yang paling sedih hatinya? Yang paling khusyuk penghayatannya?
Lantas untuk menjajagi kriteria Allah Yang Maha Pemurah untuk menolak atau mengabulkan doa itu — siapa yang merupakan sebab atau subjek utama yang menyebabkan Allah mengabulkan atau menampiknya?
Apa kriteria penerimaan Allah dan kabulnya doa kita?
Sudah pasti tidak seorang pun bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Bisa sih bisa, tetapi posisinya tetap perkiraan, paling pol perhitungan, berdasarkan kelemahan dan keterbatasannya sebagai makhluk Allah, meskipun ia bernama manusia.
Pada kesempatan Maiyahan yang lain sering kepada Jamaah Maiyah ditanyakan: Andaikan Allah membuka pintu langit lantas mempersilakan bangsa Indonesia mengutus seseorang untuk menghadap-Nya, siapa yang kira-kira dipilih? Presiden? Ketua Majelis Ulama, Muhammadiyah atau NU? Atau kiai paling Sepuh? Atau kiai khash, entah apa itu maksudnya dan siapa yang punya ilmu dan keahlian untuk menentukannya? Biasanya Jamaah Maiyah langsung menjawab: “Kanjeng Nabi Muhammad Saw.”
“Lho Kanjeng Nabi kan bukan warganegara dan penduduk NKRI?”
“Ya pokoknya selawatan saja,” begitu mereka merespons lagi. Tak seorang pun bisa mereka temukan di antara 260 juta rakyat Indonesia satu orang saja yang menurut mereka memenuhi syarat untuk menjadi duta Indonesia menghadap Allah. Jamaah Maiyah mengerti bahwa untuk menentukan siapa utusan, bukanlah berdasarkan kemauan atau selera atau perkiraan rasional mereka. Tidak seperti pemilu yang merasa demokratis tapi tidak pernah berdasarkan kematangan ilmu dan pengetahuan dalam mempertimbangkan untuk memilih.
Kriteria yang paling dekat bagi Jamaah Maiyah tentang mengutus siapa bangsa Indonesia menghadap Allah adalah “yang rasanya Allah menerimanya karena mempercayainya.” Dan tak seorang pun lulus untuk itu. Jamaah Maiyah juga tidak menyebut nama saya, karena mereka sangat mengerti kelemahan saya, kekurangan saya, ketidaklayakan saya, dan berbagai faktor negatif lainnya pada Simbahnya ini.
Mungkin ada juga yang cenderung memilih seseorang yang sangat miskin hidupnya tapi rajin ibadahnya dan ikhlas pergaulannya, meskipun sama sekali tidak dikenal oleh publik dan media massa. Pilihan itu juga tidak pasti benar atau tepat, meskipun terasa mulia. Tetapi memang Pemerintah sebaiknya lebih khusus berikhtiar mengamati orang-orang miskin, dengan cara pandang mengacu ke cara berpikir Allah sendiri. Dan menghindar dari anggapan bahwa kaum miskin adalah kelompok dan strata penduduk yang paling harus dikasihani, sehingga solusi bagi kaum miskin adalah pembagian Sembako. Hendaklah Pemerintah menghayati banyak dimensi nilai lain dari kaum miskin, apalagi di pandangan Allah.
Akan tetapi untunglah bahwa peristiwa Allah membuka langit dan memerintahkan bangsa Indonesia untuk memilih “Duta Langit”-nya untuk menghadap kepada-Nya itu tidak akan pernah terjadi. Sebab sudah tidak ada lagi Nabi atau Rasul yang kompeten untuk menerima wahyu yang menginformasikan hal itu.
Kalau misalnya Allah menyuruh Malaikat Jibril menginformasikan itu dengan turun ke langit rendah dan menggunakan pengeras suara spesifik mengumumkan perintah Allah secara oral, atau menuliskan huruf-huruf raksasa di bentangan langit biru. Sepertinya Malaikat Jibril harus menggunakan Bahasa internasional yakni Bahasa Inggris, agar bergengsi dan dipercaya oleh penduduk Indonesia. Kalau pakai Bahasa Jawa krama inggil nanti malah diejek, atau kalau pakai Bahasa Arab nanti disikapi sinis dan olok-olok oleh kaum intelektual milenial.
Juga kalau Allah umpamanya memilih dan mengilhami salah seorang di antara penduduk Indonesia, tidak akan ada yang percaya. Kebanyakan orang akan menganggapnya pemimpi dan halusinator yang gila, “kenthir” kata orang Yogya atau “gak tapèk èplek” kata orang Jombang. Dan kalau kegilaannya itu lantas menjadi kontroversial, polisi insyaallah akan segera menangkapnya karena dianggap meresahkan masyarakat, atau malah dituduh menyebarkan hoax, berdasarkan kesaksian ilmiah pejabat tinggi Kominfo. Kaum Nahdliyin memilih Ketua Syuriah atau Tanfidziyah. Kaum Muhammadiyin memilih ketuanya yang tak hanya kiai tapi juga sarjana utama. Kaum Maiyyin mungkin memilih Pak Mustofa W. Hasyim karena kepolosan dan kejujurannya, atau malah Kiai Tohar karena orisinil dan otentik, serta sangat berat hatinya menyangga cintanya kepada kaum lemah.
Tetapi siapa tahu ternyata Allah memang sudah berkehendak untuk itu, meskipun prosedur dan pola informasinya hanya Ia sendiri yang mengetahui. Bisa jadi sudah haqqulyaqin dan ‘ainulyaqin bahwa Allah memang sudah melakukan itu, sudah memilih orangnya dan sudah menginformasikan hal-hal yang diperlukan oleh bangsa Indonesia di tengah trauma Corona sekarang ini. Termasuk bahan dari rempah-rempah Nusantara untuk vaksin Corona.
Andaikan bangsa Indonesia yang semakin modern ini tidak menjalankan Peradaban Tinggi Hati, maka hal itu bukan sesuatu yang sukar atau ruwet prosesnya. Masalahnya semua kalangan, semua kelas, para pejabat, para ilmuwan, bahkan mungkin juga para ulama dan asatidz, tidak siap kerendahan hati dan infrastruktur mental untuk menerima kemungkinan itu. Sebagaimana zaman Nabi Luth dulu: “Dan tatkala datang utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada Luth, dia merasa susah dan merasa sempit dadanya karena kedatangan mereka, dan dia berkata: Ini adalah hari yang amat sulit.” (Hud).
Mungkin kalau ada yang diberi hidayah Allah seperti itu, lantas ia mensosialisasikannya, bisa jadi yang paling duluan menolak dan menepis adalah para pemimpin agama. Karena cocoknya kepada merekalah Allah menginformasikan. Yang “aba wastakbara”, yang lalai dan takabbur, bukan hanya tipe Fir’aun. Hampir semua profesional modern cenderung berkarakter seperti itu.
Jadi memang bangsa ini terlanjur menjalani nilai-nilai dan sikap hidup yang mempersulit silaturahmi mereka sendiri dengan Allah dan hidayah-Nya. Semoga rakyat kecil yang polos-polos dan tidak ikut sombong, hanya mengalami sial di dunia, tetapi tidak sial di akhirat, sebagaimana mungkin kita semua yang lainnya. *****