Dua Realitas Berbeda dalam Melihat Polisi Amerika
Martin adalah anak milenial, bule, lajang, dan muslim. Ia lancar berbahasa Indonesia karena beberapa tahun penelitian di sana. Pernah mendapat keistimewaan saat mengurus SIM C di Yogya karena pak polisi senang ada bule kok muslim. Ia ikut demo Black Lives Matter di Chicago akhir Mei lalu, saat kerusuhan terjadi. Ia bahkan menggalang dana untuk logistik para pendemo. Ia cukup keras menyuarakan perlawanan atas kebrutalan oknum polisi Amerika.
Beberapa hari usai demonstrasi, saya sempat bertanya kepadanya, bagaimana dia sebagai kulit putih dididik dalam melihat sosok polisi. Ia mengatakan bahwa orang tuanya mendidik bahwa polisi itu adalah orang yang akan selalu membantu mereka bila ada masalah hukum. Polisi adalah sosok yang baik. Saya bertanya hal ini kepadanya karena ada realitas berbeda yang dialami warga kulit hitam terhadap sosok polisi.
Sebuah dokumenter di stasiun televisi PBS (Public Broadcasting Services) berjudul The Talk: Race in America. Film dokumenter ini berdurasi dua jam, mengangkat perbincangan yang semakin sering muncul dalam berbagai keluarga dan komunitas di Amerika, khususnya antara orang tua “kulit berwarna” (selain bule) dan anak-anak mereka, terutama anak laki-laki. Perbincangan tentang bagaimana sebaiknya mereka bersikap pada saat dicegat polisi.
Film dokumenter ini menggambarkan permasalahan pelik antara warga kulit hitam dan polisi, di mana warga kulit hitam cenderung selalu dicurigai oleh polisi. Mereka tidak bisa berjalan dengan tenang tanpa dicegat polisi dan ditanyai macam-macam, meskipun tidak melanggar hukum.
Situasi seperti ini juga diwakili melalui gambaran Presiden Obama dalam adegan film biopik tentangnya. Semasa ia muda, saat baru diterima di Columbia University di kawasan Harlem, New York, pada awal 80-an, dihampiri polisi kampus ketika sedang duduk-duduk di taman. Karena ia kulit hitam, polisi tidak percaya dia mahasiswa Columbia. Ia dimintai Kartu Mahasiswa. Sedangkan ia melihat polisi itu tidak menanyai mahasiswa kulit putih yang ada di sana.
Karena orang kulit hitam berada dalam posisi selalu dicurigai polisi hanya berdasarkan ras, mereka mengatakan kepada anak-anak mereka untuk selalu waspada kepada polisi. Polisi bukan sahabat yang akan membantu mereka bila ada masalah hukum. Dari pengalaman kehidupan, mereka cenderung lebih mudah dikriminalisasi. Sehingga penjara dipenuhi orang kulit hitam. Dari populasi mereka yang hanya 13 persen, tapi 40 persennya dipenjara.
Bukan berarti saya mengatakan mereka pasti dikriminalisasi, tapi jebakan lingkaran setan yang saya jabarkan sebelumnya membuat mereka tak berdaya. Stigma bahwa kriminalitas cenderung melekat kepada mereka tak bisa dihapus dengan gampang. Apalagi rekam jejak bahwa seseorang pernah dipenjara akan mempersulit untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
Amerika Serikat tidak berada di wilayah khatulistiwa yang negerinya subur makmur. Sinar matahari di benua ini tidak melimpah sepanjang tahun. Alamnya menempa manusia yang hidup di sini dengan keras. Musim dingin tidak bisa dilalui dengan duduk-duduk lama atau jalan kaki santai di taman. Iklim hidup dalam persaingan sudah dididik sejak kecil, untuk bertahan hidup.
Di negara ini, yang dalam UUD-nya dikatakan bahwa setiap manusia setara, maka bila merasa ditindas, semua punya hak untuk speak up. Ketika seorang kulit hitam berada dalam situasi seperti yang sedang dialami Barack Obama dalam film Barry tadi, wajar jika mereka harus bersikap dengan keras, karena pandangan diskriminatif yang dialami. Namun tak jarang, oleh polisi, sikap itu justru dianggap sebagai perlawanan yang dijadikan alasan untuk meringkus mereka.
Pesan para orang tua kulit hitam kepada anak-anak mereka agar lebih baik menurut saja jika ditanyai polisi, seringkali tidak relevan dengan harga diri. Gambaran keadaan ini diwakili oleh adegan dalam film Crash yang memenangi kategori Film Terbaik Oscar tahun 2006. Seorang perempuan kulit hitam diperiksa tubuhnya dengan diraba pada area sensitifnya oleh polisi laki-laki kulit putih ketika mobilnya diberhentikan. Sementara suami perempuan itu, yang berada di sampingnya menyuruhnya diam saja, padahal istrinya sedang dilecehkan. Suaminya berpikir bila teriak atau protes, polisi akan bisa punya banyak alasan untuk bertindak atas sikap mereka, yang tak jarang akan berujung kematian, atau minimal dipenjara.
Kejadian seperti ini tidak dialami oleh kebanyakan warga kulit putih. Banyak dari mereka tidak mengalami kecemasan tinggi seperti yang dirasakan orang kulit hitam ketika diminta menepi di jalan oleh patroli polisi. Chris Rock, bintang Hollywood dalam sebuah episode Comedians in Cars Getting Coffee disupiri sahabatnya, Jerry Seinfeld, komedian kulit putih beretnis Yahudi, sang host acara talkshow di Netflix itu. Jerry mengebut kencang mobil Lamborghini tipe P400S Miura tahun 1969 yang dikendarainya di New Jersey sampai melewati batas kecepatan yang diperbolehkan. Polisi patroli mengejar dan meminta mereka menepi. Setelah polisi memperbolehkan mereka melanjutkan perjalanan, Chris Rock mengatakan meskipun ia terkenal sejagat raya, dan Jerry yang menyetir, ia tetap khawatir hal buruk akan menimpanya, hanya karena ia berkulit hitam.