CakNun.com

Dua dan Tujuh dalam 27 Tahun Padhangmbulan

Achmad Saifullah Syahid
Waktu baca ± 3 menit

Belum lama rasanya Padhangmbulan menggelar tasyakuran ke-26 tahun lalu. Kini, pengajian yang rutin diselenggarakan setiap malam bulan purnama di desa Menturo Sumobito memasuki tahun ke-27. Satu tahun berlalu. Dinamika dan dialektika pengajian Padhangmbulan tidak berubah: tetap sederhana dan apa adanya.

Hingga tahun ke-27 Pengajian Padhangmbulan konsisten dan istiqomah nguri-nguri kesederhanaan dan kebersahajaan. Di tengah situasi pandemi Pengajian Padhangmbulan pun tetap meneguhkan kejernihannya. Hal itu terlihat dari suasana pengajian yang tenang, hening, khusyuk.

Libur selama dua bulan berturut-turut tidak menyurutkan jamaah mencari informasi kapan Pengajian Padhangmbulan dimulai lagi. Keluarga ndalem memutuskan pengajian diadakan dalam format terbatas. Sementara waktu flyer pengajian Padhangmbulan tidak ditayangkan. Namun hal itu tidak mengubah kenyataan pengajian Padhangmbulan yang istiqomah berlangsung pada malam bulan purnama. Beberapa teman jamaah berseloroh, “Pokoknya tanggal 14 malam saya berangkat ke Mentoro. Siapa tahu dapat rezeki ikut Padhangmbulan.”

Di tengah suasana pandemi tiba-tiba kita terlempar ke pojok ruangan jiwa kita masing-masing. Oleng dan gagap membaca situasi. Tertatih-tatih mengeja isi pikiran. Kita terbiasa disuapi formula ilmu Maiyah, kini, mengalami sendiri rasanya disapeh.

Kendati Mbah Nun tidak berhenti menyampaikan udan deres tulisan dan tayangan video di www.caknun.com, beberapa bulan tidak bertatap muka secara langsung dalam Majelis Maiyah rasanya seperti anak-anak yang kangen sama orangtuanya. Kelimpungan.

Di sudut ruang batin melayang-layang sejumlah pertanyaan. Kita merindukan romantisme Padhangmbulan atau tengah merasakan dahaga tauhid? Kita kangen kepada Mbah Nun atau tengah terbata-bata mengeja suara hati nurani? Kita membutuhkan fakta tekstual quote dari Marja’ Maiyah atau hal itu merupakan pantulan cermin bahwa kita belum sepenuhnya jernih dan seimbang?

Yang menarik dialektika itu justru meningkatkan “imunitas” jiwa dan badan kita. Pikiran bergerak, jiwa mengembang, rohani mengendap sekaligus mendaki tangga kesadaran mi’roj. Rindu yang sangat untuk melingkar di bawah langit Maiyah meneteskan kesadaran tauhid. Dalam situasi apapun Maiyah melatih kita supaya meneb, bening dan manusiawi. Wa’tashimuu bihablillaah, berpegang pada tali Allah.

Menjalani proses meneb, membening dan memanusiawi tidak cukup mengandalkan kecerdasan pikiran apalagi memasuki lorong misterinya dengan berbekal satu dua gepok asumsi. Yang kita butuhkan adalah penjagaan dari Allah: “Ya Hafid, ihfadznaa”. Yang kita perlukan adalah hidayah dari Yang Maha Pemberi Petunjuk: “Ya Haadi, ihdinaa”. Yang kita dambakan adalah takdir keajaiban dari Yang Maha Menakdirkan: “Ya Qodir, qoddirnaa”.

Tahun ini Allah menakdirkan kita memetik keajaiban Padhangmbulan. 27 tahun Padhangmbulan kita maknai sebagai penyatuan dualisme: terangkatnya hijab yang memisahkan dua substansi. Malam bukan musuh siang. Api tidak membenci air. ‘Alim (al-‘alim) tidak kontra produktif dengan hakim (al-hakim). Tinggi tidak menyombongi rendah. Ganjil tidak mengejek genap. Penyatuan itu, sebagai kesadaran ber-tauhid maupun men-tauhid, pada akhirnya adalah meng-Ahad.

“Dua” dalam dua puluh tujuh-nya Padhangmbulan adalah: “Kita ini bergenap-genap, bermiliar-miliar manusia hidup bersama, berjuang untuk menyatu dengan Maha Sangkan Kehidupan. Ketika penyatuan itu terjadi, yang berlangsung bukan bersama lagi, bahkan bukan menyatu lagi, melainkan Satu. Kalau bersama harus tidak satu. Kalau menyatu berarti belum satu. Tapi kalau Satu, sudah sirna kebersamaan, sudah tiada kegenapan, tinggal Ahad” (Tauhid, Wahid, Ahad, Daur II. 132)

“Tujuh” dalam dua puluh tujuh-nya Padhangmbulan adalah istiqomah dalam kesederhanaan Cak Fuad: “Saya 7 saja, tidak perlu 9 apalagi 10”. Tujuh-nya Padhangmbulan dalam perspektif tujuh-nya Cak Fuad adalah kesederhanaan yang bermartabat; kesederhanaan yang membangun jiwa pendamai, perekat dan pemersatu; kesederhanaan yang meniti jalan kemesraan bersama Rasulullah: “Beruntunglah, beruntunglah, beruntunglah, beruntunglah, beruntunglah, beruntunglah, beruntunglah, bagi orang yang tidak pernah melihatku, namun ia beriman kepadaku”.

Dua dan tujuh dalam 27 tahun Padhangmbulan adalah dua dan tujuh tarikan dan hembusan napas kita. Bertauhid, me-wahid lalu sirna menjadi Ahad.

Jagalan, 31 Oktober 2020

Lainnya

Exit mobile version