CakNun.com

Doa Mbah Nun Menyertai Kehidupan Keluarga Kami

Amin Ungsaka
Waktu baca ± 4 menit
Bantul, 24 Mei 2017. Foto: Adin (Dok. Progress).

Energi rasa syukur mengantarkan saya urun mengisi khasanah tahaddust binni’mah tentang keberkahan doa Mbah Nun — khususnya di setiap pemberian nama bayi yang dimintakan kepada beliau. Tak sedikit jamaah yang meminta beliau merangkaikan nama; entah untuk anaknya, keponakan, atau adiknya. Mungkin permintaan khusus kepada Mbah Nun itu sebagai kepanjangan dari memohon berkah kepada Allah supaya anak dan keluarganya ke depan dapat dituntun sebagaimana yang Allah ridla dan maksudkan.

Sebab tak jarang juga sebagian dari kita yang percaya bahwa nama adalah suatu bentuk doa kita kepada Allah. Saya sendiri merasa bahwa dengan banyak ketidaktahuan dan kurang pengalaman dalam kehidupan ini, maka salah satu cara saya supaya dituntun oleh Allah pada shiratal mustaqim adalah dengan berdoa.

Nah kebetulan pada 2016, Ibu saya sedang mbobot tua, kurang hitungan minggu mau melahirkan. Saya tanya ibu dan bapak perihal opsi nama, beliau belum ada usulan nama. Dan waktu itu saya tawarkan, “piye lek jenenge adik tak suwunne Mbah Nun pak, buk?” Mendengar usulan saya, bapak menyetujui, “yo, coba suwunne Mbah Nun”.

Maka dengan penuh semangat menyambut kelahiran adik saya itu, langsung saya cari-cari kontak ofisial di caknun.com. Ketemulah saya pada kontak tersebut dan segera saya hubungi. Pihak ofisial merespons pesan saya dengan ramah dan menanyakan nama ibu serta bapak, alamat tinggal, tanggal lahir, dan jam lahirnya. Saya isi form yang diajukan itu dan segera saya kirim. Selang beberapa jam ofisial membalas dengan pesan, “mohon ditunggu kurang lebih 2 sampai 3 hari ya, ini masih saya mintakan ke Mbah Nun”.

Pada rentang 2-3 hari masa menunggu adalah momen yang mendebarkan dan tak mengenakkan saya untuk tidur atau makan. Pasalnya saya terlalu larut dalam rasa penasaran tehadap nama yang akan diberikan Mbah Nun.

Setelah tiga hari masa menunggu, pada sore hari menjelang magrib ada pesan SMS masuk dari nomor ofisial tersebut. Berisi pesan: RAJUNALLAH WARABRATA (ibadahnya sungguh-sungguh karena kerinduannya kepada Allah). Betapa senangnya mendapat pesan itu dan segera saya sodorkan ke bapak dan ibu. Setelah membaca pesan yang berisi nama itu, bapak dan ibu merespons, “yowes apik iki. Maknane yo jelas. Eh le… Ojo lali matur suwun nang Mbah Nun”. Waduh iya, waktu itu saya saking gembiranya sampai hampir lupa membalas pesan tersebut untuk matur suwun.

Kalau dipikir-pikir meminta lewat SMS itu rasanya kurang sopan, apalagi urusannya adalah meminta nama kepada guru. Tapi waktu itu pikiran saya belum sampai ke situ. Dalam kesadaran saya waktu itu yang penting saya menyampaikan keinginan saya dengan jangkauan yang memungkinkan bagi saya untuk menjangkaunya. (maaf ya Mbah Nun, wes akeh ngrepoti Panjenengan).

Waktu terus berjalan, adik Raju mulai mengalami proses perkembangannya. Mulai terpancar tanda-tanda doa yang disertakan Mbah Nun melalui nama adik saya. Adik saya tumbuh sebagai anak yang terbaca tidak sama dengan anak lainnya. Adik saya tak suka mainan. Pilihannya tak neko-neko. Misalnya jika diajak menghadiri pengajian kyai di kampung tak pernah merengek meminta mainan atau jajanan yang aneh-aneh. Dia menerima apa saja yang menjadi pemberian ibu.

Adik saya yang di-undang Raju itu sekarang sudah berusia 4 tahun. Dia sudah mulai meminta ke ibunya untuk disekolahkan seperti kakak tetangga sepermainannya. Sebab Raju mulai bosan di rumah bermain sendiri. Daya kritis Raju mulai meningkat. Segala hal yang diajarkan ibu, dia ingat-ingat dan menjadi bumerang bagi siapa saja yang melanggar ajaran ibu yang diingatnya itu.

Misalnya pada suatu Ketika ibu mengajarkan ke Raju bahwa setelah mandi, baju yang kotor langsung ditaruh di bak tempat baju-baju kotor. Raju menjalankan ajaran ibu, setiap selesai mandi tanpa disuruh baju kotor Raju langsung dia taruh di bak. Pada suatu ketika, ketika saya pulang ke desa, saya yang tak tahu apa yang diajarkan ibu kepada Raju, setelah mandi baju kotor saya biarkan nggletak di kasur tempat tidur saya. Raju yang pada waktu itu ada di kamar saya segera menegur saya dengan cara ngomong dengan logat seperti orang dewasa, “mas iki kebiasaan, lek mari adus klambine digletak-gletakno” sambil meraih baju kotor saya yang nggletak itu untuk ditaruh di bak baju kotor seperti biasanya. Tambah menggemaskan lagi ketika kejadian nggletaknya baju kotor saya itu dilaporkan ke ibu. Mendengar laporan dari Raju ibu ngomong ke saya, “mangkane lek onok Raju ojo kemproh, bakal di-ilokno awakmu,” sambil tertawa.

Wah malu besar saya. Saya yang tampak sudah berumur dewasa ini malah ditegur oleh anak umur 4 tahun. Tampak betapa saya kurang menegakkan kedisiplinan untuk menjaga kebersihan dan empan papan, menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Raju mengantarkan saya pada pemahaman, “Oh iki to seng dimaksud Mbah Nun membaca ayat-ayat yang tak difirmankan”.

Ternyata ayat Allah yang tak difirmankan hadir dimana pun dan kapan pun — tinggal bagimana tingkat kepekaan kita dalam membaca tanda tersebut.

Bahwa setelah sadar maksud dari pernyataan Mbah Nun tersebut, saya semakin menyadari bahwa banyak yang saya tidak tahu daripada yang saya tahu, banyak yang saya tidak paham daripada yang saya paham, dan banyak yang saya tidak mengerti daripada yang saya mengerti. Setelah kejadian ditegur oleh adik saya itu kesadaran saya untuk terus dan banyak belajar semakin saya tingkatkan. Belajar kepada apa dan siapa saja. Dari ayat yang difirmankan maupun yang tidak difirmankan.

Kini Raju mulai serius mendalami Islam. Raju ngaji-nya sudah sampai turutan atau metode iqra’. Raju mulai menghapal surat-surat pendek: al-Falaq, an-Naas, al-Ikhlas dan sudah hapal pengetahuan tajwid — yang didapatkan dari sekolah diniyahnya. Dan yang selalu nrenyuhne ati ketika Raju mbuntuti saya ketika shalat di langgar, dengan menirukan gerakan shalat saya dan umik-umik seperti sedang wiridan ketika shalat selesai. Terbaca betapa rindunya Raju kepada Allah.

Pada kehidupan sehari-hari Raju menjadi pengayom bagi teman sebayanya. Raju menjadi pelindung dan pembela temannya yang sedang ditindas oleh otoritas kakak sepermainan yang suka resek karena merasa lebih senior dari Raju dan teman sebayanya.

Betapa perlahan doa Mbah Nun yang memohonkan adik saya supaya ibadahnya sungguh-sungguh karena kerinduannya kepada Allah itu mulai keluarga kami rasakan.

Melalui Raju kami sekeluarga dibimbing oleh Allah untuk terus belajar dan terus-menerus memohon ihdinish shiratal mustaqim, berharap menjadi ahsani taqwim — yang manfaatnya dapat dirasakan tetangga sekitar.

Matursuwun Mbah Nun. Kami sekeluarga utangroso.

Surabaya, 17 September 2020

Lainnya

Jeneng, Jenang, dan Arti Sebuah Nama

Jeneng, Jenang, dan Arti Sebuah Nama

Menjadi bagian dari masyarakat Belanda, mau tidak mau saya harus belajar banyak tentang sosial budaya serta peraturan yang berlaku di negeri ini.

Ericka Irana
Ericka Irana

Topik