Dinamika Plus dan Dinamika Minus
Saya tidak tahu bagaimana sebutan-sebutan ilmiah akademisnya. Sebut saja dua kemungkinan: manusia dengan gerak pasang, serta manusia dengan gerak surut. Atau manusia dengan dinamika plus, serta manusia dengan dinamika minus.
Yang kedua dulu — “surut” atau “minus” — ialah posisi di mana manusia menyurutkan, mengurangi, atau melokalisasi dirinya dari keutuhannya sebagai manusia menjadi atau menuju “lingkar primordialitas” tertentu, baik karena fungsi, profesi, ras, atau gender.
Manusia menjadi “belum tentu” manusia karena ia adalah pria, wanita, anak Bugis, insinyur, birokrat, santri, atau maling. Mereka tidak bisa mengelakkan, atau justru membutuhkan primordialitas ini karena sosialitas manusia memerlukan tatanan, aturan nilai, pembagian kerja serta identifikasi lokal lainnya masing-masing.
Akan tetapi, dinamika minus atau gerak surut ini justru merupakan cara dan saluran untuk kemungkinan yang pertama: yakni gerak pasang atau dinamika plus.
Hakikat kewanitaan seorang manusia bisa merupakan sumber bagi peningkatan derajat kemanusiaannya, umpamanya melalui bakat kearifan dan kelembutan yang melebihi pria. Dengan menyadari kebugisan atau kejawaannya, seorang manusia bisa justru menemukan jalan untuk mempertinggi kualitas kemanusiaannya. Serta dengan menjadi seorang insinyur, seniman, atau santri, juga dengan kedudukan sebagai birokrat, pemimpin, menteri, atau lurah, bisa justru terbuka peluang bagi manusia pelakunya untuk memperjuangkan nilai plus bagi derajat kemanusiaannya.