Dimensi Keadilan dalam Perspektif Pembangunan Sosial Budaya
Adil
Kata “adil” tidak bisa dijumpai dalam khasanah tradisi kebudayaan masyarakat kita, sekurang-kurangnya masyarakat Jawa tradisional yang “asli”; meskipun itu tidak otomatis berarti tak ada pula sebagai (fakta) nilai.
Di dalam Bahasa Jawa maupun Melayu/Indonesia, tentu saja, terdapat berbagai kata dan ungkapan yang asosiatif, indikatif atau kontekstual terhadap substansi keadilan. Ungkapan ‘pantas’, ‘tepat’, ‘pas’ dan lain sebagainya dalam Bahasa Indonesia, sesungguhnya merupakan semacam aplikasi dari semangat keadilan untuk soal-soal tertentu, atau merupakan kecenderungan ke rasa adil.
‘Pantas’ adalah ‘keadilan estetik’. ‘Tepat’ adalah akurasi pada suatu titik yang berasal usul dari aspirasi ‘adil’: di dalam kehidupan, ketepatan tidak hanya menjelaskan realitas remeh seperti ‘masuknya bola ke gawang’, tapi juga bisa dipakai untuk menjelaskan semua skala kebenaran dan kebaikan. Keputusan Nabi Ibrahim untuk mematuhi perintah Allah untuk menyembelih putranya, atau keputusan Mahkamah Agung untuk mengabulkan kasasi tuntutan ganti rugi tanah warga Kedungombo, adalah tepat. Baju batik warna itu pas untuk penampilan Anda. Sungguh pas Mar’ie Muhammad menduduki jabatan itu.
Ungkapan Jawa misalnya empan papan, mengikat pelakunya untuk tidak keluar dari lingkaran keadilan suatu perilaku: adalah tidak empan papan alias tidak adil memakai peci untuk keset kaki. Adalah tidak empan papan alias tidak adil mengambil tanah seseorang tanpa proses tawar menawar yang wajar dan langsung mengklaimnya dengan harga yang ditentukan bukan oleh pemilik tanah.
Akan tetapi kata tepat, pas, pantas atau empan papan, memiliki relitivitas sosial budaya, yang pada kata adil tidak bisa berlaku. Anda bisa mengatakan “tidak tepat untuk terus menerus mengutamakan pendekatan keamanan,” “tidak pas institusi yang tak bisa dijamin berkelakuan baik memiliki wewenang untuk menentukan dan memberikan Surat Kelakuan Baik kepada setiap orang,” “tidak pantas orang dengan kualitas dan watak semacam itu menduduki jabatan menteri yang begitu memerlukan kematangan, kedewasaan dan keterbukaan,” atau “tidak empan papan kalau jenis pengusaha yang itu terlalu gampang mendapatkan kredit di bank, sementara kebanyakan pengusaha amat susah dan hampir selalu tidak dipercaya memperoleh hal yang sama.” Tetapi pernyataan Anda itu relatif karena kepantasan, ketepatan, ke-pas-an dan ke-empan-papan-an bergantung pada ruang dan waktu tertentu. Bergantung pada sudut pandang kepentingan dan subjektifitas pihak yang melakukan. Pada suatu sudut pandang, soal pendekatan keamanan itu memiliki ketepatannya sendiri, soal surat kelakuan baik itu memiliki ke-pas-annya sendiri, soal menteri itu ada kepantasannya sendiri, dan soal kredit bank itu justru empan papan bagi tatanan yang memang sedang sengaja diberlakukan.
Sedangkan kata “adil” lebih universal, lebih tidak tergoyahkan sebagai patokan nilai, karena sumber dan acuannya memang bukan mekanisme sosial budaya suatu masyarakat. Kalau ia juga memiliki relativitas, letak relativitas itu tidak pada hakikat nilai adil itu sendiri, melainkan pada batas-batas sudut pandang manusia yang menggagasnya.
Sumber dan Ekses
Oleh karena itu barangkali perlu digali dan diuraikan secara lebih rinci sangkan paran kata, nilai, dan fakta keadilan tersebut, terutama dari agama, yang menjadi sumber filosofi nilainya.
Akan tetapi dengan contoh di atas terdapat suatu argumentasi, bahwa perspektif sosial budaya suatu masyarakat—dalam kaitannya dengan dimensi ada atau tak adanya keadilan—perlu dipahami dengan mencerdasi dan menjernihi proses dialetikanya. Di satu tahap atau sisi, realitas sosial budaya suatu masyarakat sebenarnya merupakan “ekses” dari suatu proses yang berbeda, meskipun pada tahap atau sisi yang lain ia merupakan sumber atau pendorong. Artinya, berlangsungnya ketidakadilan, hegemoni, oligopoli dan seterusnya, tidak pernah bisa diasumsikan bersumber sepenuhnya dari struktur nilai sosial budaya masyarakat yang bersangkutan. Atau, dengan kata lain, kondisi sosial budaya, dengan faktor-faktor seperti agama, antropo-psikologi, berlakunya ideologi dan sistem tertentu sebagai penata utama teknokrasi kehidupan bernegara suatu masyarakat, dan lain sebagainya –senantiasa berposisi inter-kausalitif, saling menyebabkan dan mengakibatkan, silih berganti menjadi sumber dan ekses.
Tidak akan semakin efektif untuk memahami kondisi dinamis sebuah masyarakat hanya dengan mempercayai satu aksentuasi: sumber nilai budayanya saja, mental manusianya saja, hardware sistem-sistemnya saja, dan lain sebaginya. Kita memerlukan bukan saja ‘kamera’ keilmuan yang komprehensif dan dinamis, tapi juga ‘kamera’ yang multi-angles yang tidak pernah berhenti pada sekadar deretan ‘potret-potret’ dan terlalu mempercayainya. Kalau terjadi kolusi misalnya antara pengusaha, bupati dan institusi militer serta bahkan dengan tokoh keagamaan di suatu wilayah untuk memfetakompli sebuah pasar dijadikan Mall: apakah langkah-langkah yang mereka ambil bisa disebut langkah ekonomi (saja), langkah politik (saja) atau langkah sosial budaya (saja)? Dan kalau tokoh keagamaan yang terlibat dalam kolusi itu melontarkan sebuah hadits Rasul yang secara manipulatif dan sepihak dipakai untuk melegitimasikan proyek itu, apakah ini sebuah langkah agama –hanya karena ia disebut fatwa?
Apalagi, sebagai suatu lapangan realitas, perspektif sosial budaya bukan bidang atau lini sebagaimana ekonomi, politik atau hukum. Sosial budaya sebuah masyarakat adalah keseluruhan watak, ekspresi dan perilaku dari sebuah “kepribadian kolektif” yang di-“suku-cadang-”i oleh kondisi-kondisi ekonomi, politik, hukum, serta yang untuk satu dua hal disumberi oleh sejumlah nilai agama di kedalaman ‘lubuk hati’-nya.
Atau mungkin begini; politik adalah perangkat kerasnya, budaya politik adalah perangkat lunaknya. Juga ekonomi dan hukum adalah perangkat kerasnya, budaya hukum dan budaya ekonomi adalah perangkat lunaknya. Posisi agama mungkin agak berbeda: realitas sosiologis dan budaya masyarakat beragama justru adalah perangkat kerasnya, sementara agama adalah suatu perangkat lunak yang berasal dari luar diri manusia, yang secara relatif dan (hampir selalu) reduksionistik diterima dan dimanifestasikannya.
Al-Adl dan Tiga Macam Ayat
Saya “curiga” al-Adl, satu akar kata dari sangat banyak asma atau sifat Allah, adalah semacam titik pusat atau patokan dari keseluruhan nama-nama itu. Sifat cinta-personal (ar-Rahman) atau kasih sosial (ar-Rahim) misalnya, adalah sifat-sifat ‘emotif’; sementara sifat-sifat yang mengamankan (al-Mu’min) atau yang menyelamatkan (as-Salam) memerlukan pemahaman yang lebih intelektual; kemudian sifat-sifat lain seperti perkasa (al-Aziz) atau gagah (al-Jabbar) bersifat menjelaskan kondisi atau eksistensi-Nya.
Sudah pasti pemahaman saya ini bersifat sangat relatif. Tetapi sejauh yang saya mampu gagas, sifat al-Adalah mengandung tiga dimensi itu sekaligus: ia eksistensial, membutuhkan pilar intelektual, serta sangat ‘emotif’. Jika seluruh asma Allah itu adalah sebuah peta atau lingkaran, maka al-Adl adalah titik tengahnya atau titik pusatnya.
Dalam pemahaman ruang, adil adalah proporsional. Dalam kesadaran waktu, adil adalah ketepatan. Dalam disiplin rasionalitas dan intelektualitas (keilmuan), adil adalah obyektifitas dan kejernihan. Dalam peristiwa perasaan, emosi dan hati, adil adalah pas-nya takaran. Tidak ada wujud kebaikan tanpa memenuhi keadilan. Tak bisa terjadi kebenaran jika tak adil. Keindahan juga tidak bisa mengelak dari hakikat adil, karena keadilan adalah terhindarnya kekurangan dan keberlebihan. Tidak adil kalau 3+2=10, karena kalau perut hanya butuh sepiring nasi, mulut tidak boleh mengancamnya dengan dua piring nasi. Tidak adil kalau kakanwil minta dilayani rakyat, karena batang pohon tidak diperanakkan oleh buahnya, melainkan buah yang diproduksi oleh batang bersama akar dan daunnya, sebagaimana kakanwil diupah oleh rakyatnya.
Alhasil keadilan adalah dimensi paling sentral dari seluruh tata nilai kehidupan manusia dan masyarakat.
Akan tetapi dimensi nilai keadilan bukanlah monopoli wahyu (agama). Karena meskipun ia, sejauh yang saya mengerti, adalah satu-satunya sumber dari aspirasi al-‘adl, tetapi Ia memberikan kepada manusia tidak hanya satu jenis informasi/pewujud kehendak, yakni yang berupa wahyu atau ayat qauliyah, melainkan tiga. Dan dua ayat Allah lainnya adalah alam semesta dan manusia ini sendiri. Ketiganya berposisi, berlaku dan berfungsi inter-dialektis. Wahyu hanya dipahami melalui pemahaman atas manusia dan alam. Manusia tidak bisa ‘menemukan’ dirinya tanpa cermin alam dan wahyu. Sementara alam akan ‘membeku’ jika hanya dipahami sebagai alam itu sendiri: alam ‘ditemukan’ atau ‘menemukan dirinya’ pada manusia dan wahyu.
Apakah itu penting? Ya, jika kita percaya bahwa untuk bisa mengendalikan keadilan, harus dipahami sejelas mungkin asal usulnya di dalam kehidupan masyarakat, manusia dan makhluk hidup.
Keadilan Sebagai Titik Sentral
Mungkin harus diyakini terlebih dulu bahwa dengan demikian keadilan adalah sebuah kecenderungan yang berasal dari kenyataan religiusitas manusia. Kecenderungan itu meniscayakan dirinya sebagai salah satu metode dasar untuk memahami realitas sosial budaya suatu (bahkan semua) masyarakat, dan tidak berlaku hanya pada ‘masyarakat Pancasila’.
Sebab religiusitas yang saya maksudkan tidak terbatas pada yang biasanya dilihat sebagai ‘realitas transenden’, melainkan juga ‘realitas immanen’. Untuk itu kita bedakan empat kategori (bisa diasumsikan juga untuk kepentingan ilmiah tertentu sebagai tahapan-tahapan dalam sejarah).
Pertama religiusitas intuitif-instinktif. Yakni suatu pengalaman paling dini dan paling orisinal pada semua dan setiap manusia terhadap – katakanlah – ‘misteri kemutlakan’: suatu wilayah nilai yang seakan-akan berada di luar dirinya, yang tidak pernah jelas benar baginya, namun menyediakan baginya sumber nilai-nilai yang tak terbatas. Secara intuitif-instinktif manusia memanifestasikan atau merepresentasikan perolehannya dari ‘dunia misteri’ itu secara personal maupun kolektif, melalui bentuk-bentuk budaya ‘keagamaan’ pra-Agama. Animisme, misalnya, adalah suatu tahap religiusitas, suatu ‘agama’ orisinal yang digali dan dibentuk secara intuitif-instinktif.
Berbeda dengan representasi nilai-nilai yang lebih canggih hasil dari eksplorasi religiusitas rasional-intelektual. Manusia pada tahapan ini, memahami dirinya, alam, kehidupan dan ‘misteri kemutlakan’ itu (menerima ataupun menolaknya, dan itu sama-sama religius), dengan menggunakan kerja akal. Ia mewujudkannya menjadi sistem-sistem pengetahuan dan ilmu, melahirkan nilai dan ideologi serta tatanan-tatanan, mendayagunakannya untuk aturan-aturan, produksi dan teknologi. Kebudayaan dan peradaban (:modern) yang tercipta melalui eksplorasi jenis ini, dengan segala apresiasi maupun penolakan atau pengingkarannya terhadap segala sesuatu yang tak bisa disentuh oleh.
Intelektualitasnya – merupakan sebuah ‘agama’ tersendiri, yang bahkan kita kenal paling gegap gempita dibanding ‘agama-agama’ lain.
‘Agama’ lain itu misalnya religiusitas Agama Wahyu: pengenalan dunia, alam dan kehidupan melalui panduan ayat-ayat harafiah dari Tuhan. Kemudian juga religiusitas ‘pasca’-Agama: yakni sublimasi, komprehensi atau resultan dari religiusitas intuitif-instinktif, religiusitas rasional intelektual dan religiusitas wahyu.
Kategori yang keempat atau yang terakhir ini menggambarkan bahwa dalam peradaban mutakhir pada pergantian abad 20-21 ini ummat manusia mencoba secara global menempuh proses penyaringan, pengendapan, sublimasi, juga penyaringan dan penguraian atas seluruh tahapan sejarah religiusitas mereka, kemudian menyepakati substansi-substansi tertentu untuk dijadikan semacan ‘rukun keagamaan’ pasca-modernisme.
Hampir seluruh wilayah dari peta pengetahuan dan ilmu, pemahaman sejarah dan teknokrasinya, menyepakati upaya sublimasi itu dengan mempertemukan semua segmen pembangunan ummat manusia pada nilai-nilai paling substansial, misalnya keadilan (baca perangkat kerasnya: kesamaan hak, demokratisasi total, pemerataan ekonomi, sejumlah muatan gerakan feminisme, tuntutan agar “agama” berkonsentrasi pada keadilan sosial dan lain sebagainya). Disepakati juga proses penguraian dan penyaringan diri dengan arus-arus seperti reuniversalisasi dan deprimordialisasi hampir di segala bidang. Partai-partai politik melampaui tahap “bendera”, fungsionalisme dan profesionalisme, menuju inti demokratisasi. Lahir institusi-institusi sosial macam LSM dengan akar tunjang demokratisasi yang sama. Muncul gerakan-gerakan konsientiasi hukum yang muaranya adalah inti religiusitas seperti terurai di atas. Kekuatan-kekuatan kerakyatan (keburuhan, kepetanian, marginalitas, keummatan, ke-‘bawah’-an) bergolak dan menggelombang ke muara yang sama, betapa pun sporadisnya. Budaya dan politik partisipatoris, pendidikan andragogis, perlawanan atas arus –baik yang tertata maupun yang anarkis, anak polah bapak kepradah, kegatalan idiomatik untuk selalu menyebut ‘arus bawah’, dan lain sebagainya, tidak semakin bisa dipendam di bawah permukaan bumi sejarah.
Keadilan Sosial: Desakan Global
Dimensi keadilan sedang memproses diri untuk menjadi tema utama kemanusiaan dan peradaban ummat manusia di peralihan abad 20-21. Tahap proses itu justru sedang mempertunjukkan situasi yang paling nadir dari berlakunya keadilan, dan itu hampir mencapai ufuk kenadirannya –justru untuk ‘menjanjikan’ dua hal.
Pertama, nadirnya keadilan dalam realitas masyarakat melahirkan ‘konsistensi’ munculnya kerinduan terhadapnya. Tingkat realitas ketidakadilan berbanding sejajar dengan obsesi dan keadilan. Kedua, pembusukan situasi diolah oleh semakin nadirnya keadilan, secara alamiah merupakan proses pendewasaan dan pematangan dari gagasan dan aspirasi tentang keadilan. Situasi budaya yang semakin tidak adil adalah ‘prasyarat’ yang diperlukan oleh masyarakat yang mengalaminya untuk menjernihkan dan mengarifkan pemahaman mereka tentang keadilan. Bersamaan dengan itu tema keadilan sosial tidak bisa dielakkan akan menjadi desakan utama ke masa depan ummat manusia. Dimensi keadilan semakin mewujudkan suatu global pressure dari masalah sepak bola, perlakuan orang tua kepada anak, pembebasan tanah, sampai politik luar negeri dan perdagangan internasional.
Namun demikian pada tahap sekarang, desakan kerinduan akan keadilan itu masih sangat embrional. Pada masyarakat hal ini masih ‘terpendam di bawah sadar’, meskipun pada sebagian yang lain ia sudah merupakan kesadaran, bahkan sudah mulai dan selalu diupayakan butir-butir konsepsionalisasi dan operasionalisasinya.
Namun janin keadilan di dalam kandungan ketidakadilan itu semakin besar, membengkak dan bergerak-gerak. Para tiran masih mungkin dengan enteng mendemontrasikan kekuasaannya untuk menindas dan menghisap, tapi itu bom waktu. Para pengenggam kekuasaan dan modal masih sangat leluasa untuk menjaringkan cengkeramannya di mana pun dan kapan pun tanpa harus menghadapi antisipasi yang serius dari kekuatan-kekuatan ‘bawah’ yang solid, tapi semakin jelas bahwa itu ‘anak harimau’.
Mental korup, watak fasis, sikap egosentrisme hampir total, merambah dan merasuki
-bahkan- mereka-mereka yang berada dalam posisi tertindas – tetapi titik baliknya sudah tidak bisa ditunda-tunda lagi lebih jauh sebagaimana pada dekade-dekade sebelumnya. Keterpelesatan mental dari keswadayaan menjadi kapitalisasi egosentris, peran serta menjadi eksploitasi, kesucian perlawanan menjadi anarki dan subyektivisme, pemberdayaan (sebagian) rakyat menjadi penciptaan juragan baru, dan seterusnya, tetap semakin menjadi-jadi—namun situasi realtas sosial budaya manusia dan masyarakat semacam itu tidak bisa ‘krasan’ sampai terlalu jauh; karena sebelum ‘dosis kehancuran’ sampai ke titik optimum, arus balik akan terjadi.
Biaya yang harus dibayarkan oleh masyarakat kita untuk sampai ke titik di mana arus akan berbalik itu memang sangat-sangat mahal. Misalnya kehancuran logika. Kalau majelis Ulama mengusulkan pelanggaran atas gerakan Darul Arqam, tidak ada kehidupan logika yang menjamin bahwa Majlis itu jauh sebelumnya sudah terlebih dahulu merekomendasikan pemberangusan tindak korupsi, budaya katebelece penggusuran yang selalu sewenang-wenang, atau ’gerakan’ Kiai Gendheng Pamungkas yang memuja Iblis. Sebab di dalam cara berpikir majlis Ulama sendiri tidak berlangsung logika yang meletakkan penggusur dan pemuja Iblis berada di deretan lebih tinggi dalam daftar skala prioritas halal-haram dibandingkan Darul Arqam yang toh shalat lima waktu meskipun dengan dasar akidah yang agak berbeda dengan orang Islam lainnya, yang toh sangat serius menjawab hegemoni dan konglomerasi dengan sistem ekonomi jamaah, yang toh membina fisik dan rohani karena mereka punya hak yang sama dengan setiap manusia yang berhak olahraga dan wiridan. Logika amar makruf nahi mungkar yang berskala universal juga tidak berlaku karena mungkin bagi Majelis Ulama soal korupsi, penggusuran dan penggusuran dan Gendheng bukanlah urusan Agama Islam.
Kalau beberapa penerbitan media tulis dicabut nyawanya, tidak berlaku logika bahwa semestinya institusi-institusi akal sehatlah-misalnya Forum Demokrasi, lembaga-lembaga ilmu pengetahuan, organisasi cendekiawan, organisasi cendekiawan—yang pasti pertama-tama mengalami kegelisahan dan menunjukkan sikap kritis. Juga tidak ada logical guarantee bagi satu dua jurnalis yang sesudah kena bredel baru ‘engeh demokrasi’ dan baru sadar bahwa selama ini pembredelan sudah ribuan kali terjadi dan menimpa buruh, pemilik tanah, pewaris hak-hak kemanusiaan dari Tuhan serta pemilik hak-hak kewarganegaraan yang diperolehnya dari filsafat kedaulatan rakyat.
Tidak ada yang meminjam bahwa ada hubungan-hubungan logis antara nilai dengan perilaku, antara kata dengan perbuatan, antara nama dengan pelaksanaan, antara eksistensi institusi dengan operasionalnya. Bisakah Anda membayangkan bahwa Jakarta Raya ini teguh beriman? Bisakah Anda membayangkan bahwa pemerintah kolonial Belanda dulu mewajibkan setiap inlander memiliki surat kelakuan Baik, melarang kumpul-kumpul lebih dari lima orang, menyensor khotbah hari raya, dan Kopral van Hoek ditugasi untuk mencoret beberapa baris puisi Anda yang tidak boleh dibacakan? Dengan menggunakan logika macam apakah Anda memahamui paradoks antara hal-hal semacam itu yang terjadi di zaman Orde Baru, yang di sisi lain setiap hari ia mengumumkan dirinya aman dan stabil?
Dua hari yang lalu saya bertemu dengan 300an Ulama se-Madura dan pada kesempatan sebelumnya dengan sekitar 15.000 ummat dan santri mereka. Karena memakai logika, saya pernah sempat mengemukakan kepada kecemasan mereka akan datangnya industrialisasi — bahwa: organisasi cendekiawan yang pakarnya Muslim semua itu pasti akan memandu penduduk Madura untuk mempersiapkan diri menghadapi industrialisasi, memilihkan jenis industri menengah, lunak, bertahap, dan tepat, yang bisa mereka taklukkan — sebab berbeda dengan Jakarta dan Surabaya, masyarakat Madura punya keuntungan karena sempat mengolah jarak dengan datangnya industrialisasi. Mereka bisa menjadi semacam percontohan atau uswatun hasanah dari suatu masyarakat yang berpeluang melakukan negosiasi konstruktif dengan industri, serta berpeluang untuk menaklukkan industri, bukan ditaklukkan (kemanusiaannya, imannya, budayanya) oleh industri. Saya berharap tahap dan petanya sekarang sedang mengolah kebenaran logika saya itu, meskipun saya menangkap indikator yang berbeda.
Ongkos lain yang harus dibayarkan oleh masyarakat di ujung situasi pembusukan ketidakadilan yang mereka alami, misalnya adalah tidak berakarnya nilai, tidak terdapatnya konsistensi antara kata dengan kenyataan. Pidato ditaburkan setiap hari, gagasan-gagasan disusun dengan lidah, aturan dan pedoman dipaparkan, namun tidak ada jaminan bahwa ia berakar, bahwa ia juga hidup lebih sebagai teori nilai dan sebagai kata. Situasi sosial budaya masyarakat kita dewasa ini sangat mencatat bahwa idiom atsluha tsabit wa far’uha fi-ssama’ (akarnya menghunjam bumi dan daun-daunnya merambah langit) sedang sulit-sulitnya diwujudkan.
Tetapi jika kegelapan sempurna, sepanjang kita yakin dan memiliki bukti sebagaimana terungkap di atas bahwa masyarakat kita tidak sedang menyepakati untuk menjawab kegelapan itu dengan kehancuran, maka alternatifnya adalah terbitnya cahaya. Minadl-dlulumati ilan-nur. InsyaAllah.
Dokumentasi Progress. Tulisan dimuat dalam Buku: Tidak. Jibril Tidak Pensiun; Bentang Pustaka, 2017