Dekonstruksi Rukun Islam ala Syaikh Nursamad Kamba
Genap empat puluh hari sudah Syaikh Kamba berpulang ke hadirat-Nya. Nuansa kesedihan masih saya rasakan dan mungkin juga dirasakan oleh mereka yang pernah bersentuhan dengan beliau, mulai dari keluarga, rekan kerja, hingga kawan-kawan Maiyah se-Nusantara. Meskipun Syaikh Kamba sendiri meminjam istilah Mbah Nun telah merdeka di sisi Allah Swt, berkumpul secara bahagia dengan para kekasih-Nya.
Begitu banyak warisan dan peninggalan Syaikh Kamba, mulai dari keteladanan hingga yang bersifat akademis-intelektual. Salah satu bentuk peninggalannya yang bisa dibilang magnum opus beliau ialah buku yang berjudul Kids Zaman Now Menemukan Kembali Islam (2018), di samping segudang warisan intelektualnya yang berlimpah ruah.
Buku ini menjadi penting karena ia berisikan dekonstruksi ajaran-ajaran dalam agama Islam. Mulai dari pemahaman mengenai tiga dimensi agama (Islam, Iman, Ihsan), fikih dalam struktur pengetahuan Islam, makna bertasawuf, hingga konsep tarekat virtual yang menjadi gagasan alternatif Syaikh Kamba bagi generasi muslim saat ini.
Artikel ini sendiri akan membahas pemaknaan lain mengenai rukun Islam berdasarkan salah satu bab dalam buku tersebut. Menurut hemat penulis, dengan pemahaman rukun Islam ala Syaikh Kamba inilah kita bisa menemukan esensi dan kesejatian agama Islam. Pertama, ialah dwitunggal kesaksian yang kita kenal dengan syahadat.
Bagi Syaikh Kamba, syahadat berarti “menyaksikan,” bukan “kesaksian.” Hal ini mengandung perbedaan dalam aspek implementasi dan aktualisasinya. Makna “kesaksian” hanya terbatas pada tindakan formalistik yang sifatnya sementara, sedangkan “menyaksikan” berhubungan dengan tindakan yang kontinyu secara terus-menerus. Lebih lanjut, output dari menyaksikan adalah kepasrahan dan penyerahan diri kepada-Nya yang dalam tahapan selanjutnya membuahkan akhlak dan budi pekerti luhur, berbeda dengan kesaksian yang efeknya legitimasi menjadi bagian dari umat atau ibarat ikrar semata.
Selain itu, ketika Islam kemudian dijadikan nama bagi agama yang terlembagakan secara formal (bukan lagi difungsikan sebagai salah satu dimensi agama), orang cenderung menggunakan makna kesaksian dengan alasan yang pragmatis dan bahkan politis untuk menambah kuantitas pemeluknya. Faktor kerapuhan syahadat inilah yang barangkali membuat umat Islam selama 13 abad hanya unggul dalam jumlah pengikut saja.
Kedua, yakni mendirikan shalat. Hal ini merupakan konsekuensi logis sekaligus sebagai pembuktian dan penguatan dari dwitunggal syahadat yang telah dilakukan sebelumnya. Jika seseorang telah menyaksikan “tiada Tuhan selain Allah,” berarti orang tersebut harus mengabdikan diri kepada Allah, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah. Bahkan, idealnya setiap menyaksikan kemanunggalan dan keesaan Allah, secara otomatis seseorang itu langsung mendirikan shalat.
Sejatinya shalat merupakan kebutuhan kita sendiri sebagai seorang hamba, bukan sekadar perbuatan yang didahului dengan takbir dan diakhiri dengan salam sebagaimana pengertiannya dalam bentuk formal. Oleh karena itu, shalat hendaknya dilaksanakan dengan sukarela, bukan karena keterpaksaan. Itu juga alasan mengapa digunakan istilah “mendirikan shalat,” bukan hanya “menunaikan”.
Komponen selanjutnya dari rukun Islam ialah membayar zakat. Makna zakat sendiri ialah proses pembersihan diri melalui penyisihan sebagian harta milik seseorang. Yang dibersihkan ialah pemilik hartanya, bukan harta itu sendiri. Hal ini sejalan dengan QS. At-Taubah ayat 103 yang berbunyi “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka……” Meski terlihat sebagai kegiatan sosial, hakikat utama membayar zakat merupakan bentuk penyerahan diri dan pembentukan integritas pribadi.
Keempat, ialah berpuasa pada bulan Ramadan. Berpuasa mengandung arti menahan diri dari godaan-godaan, hasrat-hasrat, kecenderungan-kecenderungan jiwa, dan kebutuhan biologis. Aplikasi puasa yang diperkenalkan oleh Nabi Muhammad Saw memang unik. Puasa tidak harus menghalangi aktivitas sehari-hari, justru kualitas puasa yang tertinggi ialah berpuasa di tengah keramaian. Pemaknaan ini berdasar logika puasa sebagai bentuk menahan diri. Semakin banyak dan besar godaannya, maka semakin tinggi pula nilai perjuangannya.
Tak hanya itu, puasa juga mengandung pelajaran atau ibrah untuk mampu mengorbankan ego sendiri di atas kepentingan lain yang lebih besar, baik itu kemaslahatan umat atau bahkan kehendak Tuhan. Selain itu, puasa juga merupakan ibadah yang mengajarkan kejujuran kepada manusia. Hal ini disebabkan hanya Tuhan dan orang yang menjalani puasa itulah yang tahu apakah ia benar-benar berpuasa atau hanya penyamaran belaka.
Terakhir, yakni berhaji ke rumah Allah. Disimbolkan dengan penggunaan pakaian ihram, berhaji merupakan puncak peniadaan diri. Segenap atribut yang melekat pada diri seseorang di tempat asalnya, baik jabatan, status sosial, kekayaan, dan sejenisnya, ditanggalkan dengan sukarela.
Seseorang akan menjadi manusia paripurna ketika berhasil merealisasikan peniadaan diri. Indikatornya ialah tidak lagi tunduk dan kalah pada kecenderungan nafsu dan hasrat rendahan. Seluruh hidupnya hanya menjadi perpanjangan tangan Ilahi. Inilah makna haji mabrur yang sebenarnya, dengan jaminan utamanya ialah surga-Nya.
Melalui perumpamaan anak tangga, Syaikh Kamba mengibaratkan kelima aspek dari rukun Islam. Beliau mengemukakan bahwa bentuk-bentuk penyerahan diri yang diperkenalkan oleh Nabi Muhammad memang membutuhkan proses sebagaiman kronologi pemberlakuannya. Ada rentang waktu antara sejumlah 3,5 tahun antara pemberlakuan ketentuan shalat lima waktu dan kewajiban puasa serta zakat. Pun halnya dengan haji yang berjarak 7 tahun pasca ketentuan mengenai puasa dan zakat diperkenalkan.
Mungkin dengan itulah Allah mengajarkan bahwa proses penyerahan diri yang terinternalisasi dalam setiap rukun Islam memerlukan usaha yang sungguh-sungguh dari manusia untuk menjalaninya sehingga tujuan utama dari kelima aspek tersebut yang berupa karakter dan akhlak bisa tercapai dengan riil dan nyata. Sebagaimana ditegaskan oleh Nabi Muhammad; “Aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak mulia”. Akhir kata, Al-Fatihah untuk Syaikh Nursamad Kamba. Semoga kami bisa terus menggali mutiara ilmu yang telah kau curahkan kepada kami.