CakNun.com

Dari Desa Menuju Merdesa

Rony K. Pratama
Waktu baca ± 7 menit
Foto: Adin (Dok. Progress)

“Bila neokapitalisme dianggap Schumacher itu serakah dan melupakan kearifan lokal setempat, maka pada Solusi Segitiga Cinta berupaya melibatkan Tuhan yang dalam konteks masyarakat (pengetahuan) modern berangsur dibuang”

Pertama kali terbit tahun 1973 buku berjudul Small is Beautiful: A Study of Economics as if People Mattered karya E. F. Schumacher ini mengguncang dunia1. Jelas buku yang kini makin klasik tersebut digandrungi pembaca internasional karena gagasan yang diusung penulis melawan arus utama perekonomian makro2. Small is Beautiful datang melawan frasa Bigger is Better.

Bila waktu itu dunia setelah Perang Dunia II sedang berbulan madu terhadap pembangunan di segala bidang, maka sesungguhnya di balik itu eksploitasi besar-besaran menjadi tak terelakan. Schumacher bersikap tegas dan menganggap ada problem sistemik di belakang layar pembangunanisme.

Tahun 1973 dunia dilanda krisis energi dan wacana globalisasi sedang naik daun. Pada titik inilah Schumacher menerbitkan bukunya. Kendati keseluruhan isinya merupakan kumpulan tulisan sejak dua dekade sebelum itu, antargagasan yang terkluster ke dalam empat bab saling berpaut erat.

Ia mendedah masalah narasi besar tapi berpijak pada contoh kecil. Schumacher berangkat dari bagaimana dunia modern dengan segala masalah produksi massal yang berpusat di perkotaan menuju ke perlunya pembebasan yang humanistik bagi masyarakat pedesaan. Pada konteks demikian buku Small is Beautiful menarik dibaca ulang.

Schumacher berpendapat bahwa ekonomi modern cenderung rajin mengeksploitasi dalam skala besar tanpa pertimbangan etika lingkungan dan sosial. Ekonomi modern dengan variasi neokapitalisme yang berakar dari gagasan Adam Smith sampai J. M. Keynes yang termutakhir itu justru membuat ketimpangan makin menganga. Ungkapan “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin” menunjukkan relevansinya di tengah paradoks developmentalisme yang digadang-gadang mengusung kesejahteraan sosial.

Genealogi neokapitalisme dunia modern adalah sikap rakus — tak pernah merasa puas dan bertekad menguasai lebih demi kepentingan diri sendiri. Kerakusan itu merasuk ke dalam skala negara yang mempunyai kekuatan surplus untuk menjadi predator bagi negara lain.

Sebagai contoh, sebuah negara yang minim sumber daya alam (bahan bakar fosil) terus berusaha mencaplok negara lain yang dianggap memenuhi kriteria itu. Atas dasar kerja sama transnasional, sebetulnya yang terjadi tak lebih dari ekspoitasi.

Mengapa seseorang rakus? Pertanyaan ini dijabarkan Schumacher dengan mengambil pijakan kenapa manusia cenderung bersikap konsumtif. Mengonsumsi bahan pokok sehari-hari barangkali hal biasa, namun bagaimana jika ia menjadi “isme” dan dilakukan secara massal?

Menjawab pertanyaan ini Schumacher melawan pendapat para ekonom waktu itu kalau dunia belum selesai dengan masalah produksi. Hal ini menegaskan pula betapa dunia buta terhadap perbedaan antara modal dan pendepatan. Bagaimana ia mewedarkan skema ini?

Ambil contoh sumber daya alam dalam variasi apa pun. Bila sumber daya alam difungsikan sebagai pendapatan, maka kecenderungan eksploitatif sebagai alat produksi justru digenjot. Hal tersebut dimungkinkan karena dorongan menumpuk kapital, memperkaya diri, dan mencapai nilai maksimal merupakan realisasi dari homo economicus — manusia ekonomi yang niscaya mengoptimalkan kepentingan (ekonomi) diri3.

Sebaliknya, kalau ia dipahami sebagai modal maka masih ada sikap hati-hati. Setidaknya memaksimalkan sumber daya alam masih mempertimbangkan secara etis. Menaati sikap hemat.

Eksploitasi besar-besaran perlahan melahirkan malapetaka baru. Di bidang ekonomi, misalnya, manusia dipandang bukan sebagai individu berakal budi, melainkan sebatas angka statistik. Oleh elite manusia pula eksploitasi itu bersanding dengan hasrat untuk terus melejitkan pertumbuhan ekonomi. Itupun dilihat secara makro.

Tatkala sebuah negara saling berlomba meningkatkan angka pertumbuhan nasional, mensimbolkan secara numerik kemampuan manusia untuk terus mengonsumsi, maka di balik itulah ia melupakan hal terpenting dari sisi humanistik: distribusi keadilan sosial yang bukan hanya merata bagi seluruh individu, melainkan juga perubahan bagi ilmu dan teknologi (Iptek) yang berbasis kearifan masyarakat.

Kemakmuran yang merata, bagi Schumacher, tak bisa menjadi landasan perdamaian. Kacamata ini acap kali dipakai sebagai ukuran untuk menilai Produk Nasional Bruto4. Kemakmuran, dengan kata lain, harus melihat bukan dari balik deretan statistik, melainkan kondisi mikro masyarakat pedesaan yang sering tak tercatat olehnya.

Kesejahteraan, kemakmuran, maupun keadilan tak bisa dikuantifikasi (dilihat secara angka semata) tapi cenderung akan bernilai jika ia dinarasikan secara analitis serta deskriptif. Schumacher di sini tak antipati terhadap angka karena ia sendiri pernah bekerja sebagai penasihat Chief Statistician di British Control Commission5. Ia cenderung melihat adanya limitasi angka.

Gagasan mengenai kearifan ini Schumacher dapatkan lebih komprehensif saat melawat di Burma tahun 1955. Waktu itu ia menjadi konsultan ekonomi saat Perdana Menteri Burma U San Tun (U Nu) menjabat. Di negara ini ia menulis sebuah esai bertajuk Buddhist Economics yang juga pernah terbit di Asia: A Handbook (1966)6.

Ide perdamaian dan kelestarian harus dikembalikan kepada kearifan yang kalau dilacak ia sesungguhnya merupakan akar dari filsafat Timur. Menurut Schumacher, dunia modern terlalu terpaku terhadap nilai materialistik. Namun, pada gilirannya, ia justru menjadi bumerang bagi manusianya sendiri. Itu kenapa tujuan spiritual harus dimasukan ke dalam perikehidupan modern.


1. Terbitan aslinya oleh penerbit Blond & Briggs, London, tahun 1973. Namun, saya memakai versi terbitan Harper & Row, New York. Di Indonesia sendiri baru tahun 1979 terbit dan diterjemahkan oleh S. Supomo oleh LP3ES.

2. Sekitar 22 tahun setelahnya, tinjauan buku tiap pekan The Times Literary Supplement mencatat buku karya Ernst Friedrich Schumacher (1911-1977) masuk ke dalam Seratus Buku Berpengaruh di Dunia Pasca-Perang Dunia II. Selain itu, Cambridge Programme for Sustainability Leardership mengatakan buah pena Schumacher tersebut masuk ke dalam Top 50 Books for Sustainability, sebagaimana ia survei berdasarkan pendapat para jaringan alumni yang meliputi 3000 orang yang kini menyebar menjadi pimpinan di seluruh dunia.

3. Term ini pertama kali diproblematisir oleh John Stuart Mill. Lebih lanjut lihat Persky, Joseph. 1995. "Retrospectives: The Ethology of Homo Economicus." The Journal of Economic Perspectives, Vol. 9, No. 2 (Halaman 221–231). Supaya istilah ini makin dipahami, saya rekomendasikan baca Smith, Adam. 1986. “On the Division of Labour,” The Wealth of Nations. New York: Penguin Classics (halaman 119).

4. Lihat Daly, Herman E. 1996. Beyong Growth. Boston: Beacon Press.

5. Biografi singkatnya bisa dibaca di buku Small is Beautiful (1973).

6. Di buku Small is Beautiful (1973) esai ini masuk Bab Satu berjudul The Modern World. Hlm. 53.

Lainnya

Tanpa Desa Indonesia Bukan Siapa-Siapa

Tanpa Desa Indonesia Bukan Siapa-Siapa

Saat buku ini pertama kali menyapa sidang pembaca tahun 1983 melalui penerbit Jatayu, Indonesia sedang berada di puncak bulan madunya dengan ideologi pembangunan.

Rony K. Pratama
Rony K.P.