CakNun.com

Dari Desa Menuju Merdesa

Rony K. Pratama
Waktu baca ± 7 menit

Ilmu Ekonomi Buddha yang disodorkan Schumacher bertujuan untuk ekonomi yang lebih baik dan memanusiakan. Bagaimana operasional corak ekonomi tersebut? Schumacher menjawab: corak ilmu ekonomi ini menjunjung nilai spiritual dengan membasiskan tujuan pada harmoni alam dan kesederhanaan tanpa kekerasan.

Keduanya merasuk ke dalam praktik maupun keputusan ekonomi. Pada konsepnya itu Schumacher mencari jalan alternatif di tengah kesumpekan ilmu ekonomi yang berkiblat pada produksi dan eksploitasi massal, terimbangilah dengan etika lingkungan dan sosial yang akan melahirkan keselarasan.

Pusat-pusat perkembangan ekonomi juga tak boleh sentralistik. Sekadar berpusat pada kota-kota tertentu karena di situlah asal-muasal ketimpangan. Schumacher menengahi agar masalah sosial dan ekonomi mesti dibarengi dengan pengembangan teknologi madya.

Masyarakat kecil memerlukan alat produksi sendiri yang sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Bukan alat produksi massal yang masyarakat hanya sebagai “sekrup-sekurp” industri. Teknologi madya, selain relevan bagi masyarakat, juga ramah lingkungan dan sederhana siap digunakan wong cilik.

Mempunyai kebijaksanaan yang luas akan membuat manusia mencapai keadilan, ketabahan hati, dan berhenti mengejar ego. Ilmu dan teknologi, menurut Schumacher, hanya berupa alat, namun akal budi berikut kearifan tradisional masyarakat setempatlah yang mesti diusung terus-menerus karena ia membawa harmoni antara alam dan manusia—sesuatu yang luput dikaji ulang, bahkan dihiraukan, oleh wacana neokapitalisme yang kini mengglobal itu.

Pada aras demikian buku Small is Beautiful yang terbit 47 tahun silam masih relevan didaras dan didiskusikan ulang.

Kedudukan Maiyah dan Masyarakat

Sekilas membaca buku Schumacher pada tahun 2020 barangkali akan menuai anggapan kalau informasi yang dibahasnya lazim didengar dua dekade belakangan. Bukan tak mungkin sebab gagasannya yang lahir tahun 1973 itu banyak memprediksi hari depan melalui serangkaian koreksi masa silam.

Futurolog Alvin Toffler bahkan pernah mengatakan kalau masyarakat Gelombang Ketiga merupakan aplikasi pemikiran Schumacher7. Ia menyebut Small Within Big is Beautiful8.

Problem mendasar yang dibentangkan Schumacher ini mendapatkan titik relevansinya di Maiyah. Bukan berarti terdapat struktur yang menjalin-kelindankan antara Small is Beautiful dan Maiyah, melainkan titik fokus keduanya relatif sama: wong cilik.

Jika Schumacher berangkat dari sesuatu yang general kemudian spesifik, maka di Maiyah yang partikular dan universal didialogkan secara dinamis. Dengan kata lain, masalah rakyat kecil yang ditindas oleh keadilan sosial-ekonomi menjadi menjadi fokus utama mengapa Maiyah (kebersamaan) itu dimungkinkan.

Maiyah melalui Solusi Segitiga Cinta yang memosisikan Allah, Rasulullah, dan Hamba pada titik segitiga meniscayakan “Tuhan merupakan faktor primer bersama Rasululllah dalam mengupayakan atas segala permasalahan”—individu, komunitas, pengetahuan modern, negara, dunia, dan lain sebagainya9.

Ilmu dasar di Maiyah ini mempunyai kemiripan dengan konsepsi harmoni dalam nilai spiritual Timur yang digagas Schumacher. Lebih spesifik lagi, bila neokapitalisme dianggap Schumacher itu serakah dan melupakan kearifan lokal setempat, maka pada Solusi Segitiga Cinta berupaya melibatkan Tuhan yang dalam konteks masyarakat (pengetahuan) modern berangsur dibuang.

Gambaran modernitas yang “nir-Tuhan” itu hanya berada dalam Solusi Bulatan. Dengan kata lain, hanya dan hanya jika Tuhan dilibatkan, maka ia sekadar diposisikan sebatas “pelengkap penderita”. Istilah Schumacher: spiritualisme disingkirkan karena tak menunjang produksi massal yang menuai surplus.

Kalau pun dipakai ia hanya sebatas klaim guna praktik eksploitasi lanjut. Di Maiyah “pelengkap penderita” agaknya merupakan frasa yang lebih kontekstual karena menunjukkan praktik sosial dewasa ini.

Belum lagi kalau meninjau mekanisme eksploitasi dari pusat ke daerah. Buku Cak Nun berjudul Indonesia Bagian dari Desa Saya (1983) sedemikian relevan untuk menunjukkan pola-pola hegemoni itu10. Pembahasan mengenai kedudukan desa yang pada era pembangunan hanya diposisikan secara instrumental, keterjalinan pengaruh kota sedemikian menguat, hingga relasi kota-desa yang makin timpang diwedarkan Cak Nun secara empiris.

Buku ini bukan diktat teori kajian pedesaan, melainkan refleksi kritis penulis terhadap gejala sosial-kemasyarakatan yang gagap akan globalisasi maupun modernisasi.

Masyarakat dibuat gagap untuk menerima perubahan sebagai pencerahan baru. Di satu pihak kondisi ini dianggap merupakan parameter kemajuan, namun di sisi lain dibarengi oleh eksploitasi (kearifan) desa secara besar-besaran.

Paradoks pembangunan semacam itu dijelaskan Cak Nun dengan mengambil analogi sebuah masyarakat di Jombang yang waktu itu karena perbedaan pilihan politik saling baku hantam. Ternyata pilihan politik yang secara simbolis “berwarna” itu bukan datang dari desa sendiri, melainkan dari pusat kota yang sedang menuju hajat pesta demokrasi.

Masalah pilihan politik akhirnya berhilir pada problem sistemik lain. Pertautan polanya sama, yakni mana pusat mana pinggiran dengan pelbagai varian maupun ekspresi kejut budaya masing-masing. Apakah pokok pembahasan semacam itu, sebagaimana diulas padat oleh Cak Nun maupun Schumacher, masih sesuai dengan kondisi “desa global” hari ini — saya kira — akan memerlukan tinjauan spektrum lebih komprehensif lagi.

Tulisan ini sekadar awalan untuk menjajaki masalah yang lebih kompleks. Kecil itu sesekali memang indah, namun besar tak kalah memesona.


7. Lebih lanjut tengok Toffler, Alvin. 1980. The Third Wave. Dublin: William Morrow.

8. Baca Armawi, Armaidy. 2008. “Menengok Kembali Gagasan Pemikiran Small is Beautiful”. Jurnal Ketahanan Nasional, Edisi XIII (2), Agustus.

9. Simak Meletakan Solusi Bulatan ke dalam Solusi Segitiga Cinta (2016) di caknun.com.

10. Pertama kali terbit tahun 1983 oleh Penerbit Jatayu dengan judul Indonesia Bagian Sangat Penting dari Desa Saya. Terbitan setelahnya mengambil judul Indonesia Bagian dari Desa Saya (SIPRESS, 1993) yang sudah diberi kata pengantar oleh Y.B. Mangunwijaya. Terbitan termutakhir tahun 2016 oleh Kompas.

Lainnya

Tanpa Desa Indonesia Bukan Siapa-Siapa

Tanpa Desa Indonesia Bukan Siapa-Siapa

Saat buku ini pertama kali menyapa sidang pembaca tahun 1983 melalui penerbit Jatayu, Indonesia sedang berada di puncak bulan madunya dengan ideologi pembangunan.

Rony K. Pratama
Rony K.P.