Dari Cahaya Terpuji hingga Indonesia Dinasti
Tuhan, entah siapa sejatinya Beliau itu, yang orang Jawa memanggilnya Gusti, yang dalam keseharian menyebutnya Pengèran dan menggelarinya Sang Hyang Widhi, Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Tunggal, yang merumuskan-Nya dengan kelimat “tan kinaya ngapa tan kena kinira’ – menciptakan pancaran “cahaya terpuji” atau “cahya pinuji”. Kemudian mengolahnya menjadi jagat raya atau alam semesta, jagat itu terdiri dari suatu rentangan atau lengkungan ruang tak berbatas yang makhluk manusia yang sangat kecil dan kerdil, menyebutnya langit dan bumi.
Sebagian manusia meneliti menerawang dengan batas pandangannya dan menyimpulkan jagat raya adalah kumpulan benda-benda yang disebut galaksi-galaksi, yang jumlahnya tak terjangkau oleh orang Jawa atau manusia manapun atau makhluk apapun. Di dalam salah satu galaksi itu kumpulan miliaran tata surya. Di salah satu tata surya ada Matahari, bumi dan sekian “anak-anak”-nya lagi. Di bumi ada beberapa benua. Di salah satu benua ada wilayah yang bernama Indonesia, yang kemudian mengambil keputusan untuk menjadi Negara. Di wilayah Negara Indonesia ada Pulau Jawa. Di Jawa ada Daerah Istimewa Yogyakarta. Ibukotanya Ngayogyakartahadiningrat yang karena orang modern pikirannya sempit dan mudah lelah maka menyebutnya hanya Yogyakarta, bahkan hanya Yogya. Di Yogya ada beberapa Kabupaten. Salah satu Kabupaten disebut Kotamadya. Di Kotamadya Yogya ada kampung Dipowinatan.
Kumpulan manusia beranak pinak di kampung Dipowinatan, juga tiga orang tua yang kemudian datang menemani mereka, yakni Trio-Dinasti, Ratmo-Harno-Gadjah, ditakdirkan oleh Tuhan menjadi orang Jawa. Bukan keturunan orang Eropa, Amerika, Cina atau Arab – meskipun di sana sini terjadi percampuran. Tetapi kesadaran mereka adalah kesadaran Manusia Tanah Jawa. Wong Jowo. Penduduk Jawa ini mayoritas di antara penduduk Indonesia. Maka mereka bermurah hati untuk menjadi bagian dari Indonesia, dan legowo menampung aspirasi serta sumpah bersama:
“Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami Putra dan Putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.
Orang Jawa bangga kalau jembar dan nyegoro hatinya. Maka mereka pun ikhlas oleh ajakan Kemerdekaan 1945 dari Jawa meng-Indonesia, demi bebrayan nasional, kerukunan, persatuan dan kesatuan setanah air.
Akan tetapi kemudian ternyata Indonesia sendiri tidak menjadi Indonesia. Indonesia mengidentifikasi dirinya sebagai keturunan Eropa. Sehingga bikin Negara Indonesia dengan meniru kakek-nenek mereka di Eropa. Bahkan meloncat dengan menjiplak Amerika. Indonesia tidak meneruskan dirinya yang kemarin menjadi dirinya yang sekarang, melainkan menjadi orang lain. Indonesia tidak menjalankan “sejarah kontinuasi”, melainkan mantap melakukan “sejarah adopsi”, bahkan “sejarah plagiat” dari bangsa yang tidak ada kaitannya dengan mereka. Dari bentuk manajemen kesatuannya yang memilih Negara, undang-undang dan hukumnya, cara berpikirnya, sampai budaya dan gaya hidupnya, pilihan tampilan dan asupan-asupan hidupnya.
Sampai pun juga keseniannya. Yang disebut lagu Indonesia adalah lagu Barat, hanya saja menggunakan teks bahasa Indonesia. Yang disebut sastra Indonesia adalah Sastra Barat berbahasa Indonesia. Yang disebut teater Indonesia adalah teater Eropa, dari Shakespearian sampai perkembangan-perkembangannya. Grup-grup teater Indonesia mementaskan naskah-naskah dari Eropa dari yang klasik hingga modern. Ujian kecanggihan dan kelulusan sebuah grup teater nasional Indonesia adalah kalau sudah lulus mementaskan naskah William Shekespeare. Manusia teater Indonesia haram hukumnya kalau tidak tahu “Hamlet” atau “Oedipus”. Demikian juga Sekolah Universitas Kesenian resmi Indonesia, mengajarkan khazanah-khazanah kesenian Eropa. Termasuk bidang-bidang kesenian lainnya.
Kebetulan Tuhan mentakdirkan Trio-Dinasti dan Pemuda-Pemudi Dipowinatan tidak punya garis nasab dengan Shakespeare atau bukan pula keturunan Ratu Elisabeth. Kebetulan juga kebanyakan mereka tidak bersekolah atau kuliah, sehingga tidak sempat dikondisikan oleh menjadi anak cucu bangsa Eropa, kemudian Arab atau Cina. Mereka tidak berkembang menjadi “kaum cerdik pandai” yang ciri utamanya adalah meninggalkan dirinya sendiri dan tidak mempercayai dirinya sendiri atau bahasa mentalnya: tidak percaya diri.
Maka sejak awal berdirinya, Dinasti mementaskan naskah yang digali dari kampungnya sendiri, dari alur darahnya sendiri. Fajar Suharno menulis naskah “Dinasti Mataram”, Raden Mas Galak”, “Raden Gendrek Sapujagat”, “Palagan-Palagan”, sampai saya terdorong untuk mensupportnya dengan “Patung Kekasih”, “Perahu Retak”, “Keajaiban Lik Par”, “Geger Wong Ngoyak Macan”.
Tidak berarti Dinasti menolak yang bukan Jawa. Meskipun Jawa atau apapun, setiap manusia tidak bisa hidup tanpa belajar. Bahkan orang Jawa mencanangkan “Mamayu Hayuning Bawana”, bukan “Mamayu Hayuning Jawa”. Tetapi pembelajaran kehidupan yang sejati tidak mungkin merekomendasikan sebuah “diri” menjelma menjadi “diri” yang lain.
Ada metode “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Robbahu”. Barangsiapa mengenal dirinya maka ia mengenal Tuhannya. Yang ini saja kebanyakan manusia gagal memproses dan menempuhnya. Lha kok kita malah disuruh oleh arah kapal besar Indonesia untuk “jangan menjadi dirimu”.
Komunitas ini bukanlah Dipo Indonesia, Dinasti Indonesia kemudian KiaiKanjeng Indonesia, melainkan Indonesia (secara) Dipo, Dinasti dan KiaiKanjeng. Sebagaimana ada Indonesia-Jawa, Indonesia-Madura, Indonesia-Bugis. Sebab Indonesia terbukti tidak mau menjadi Indonesia. Maka proses berkesenian dan beraspirasinya berprinsip Indonesianya Dipowinatan-Dinasti-KiaiKanjeng adalah Indonesia yang Dipowinatan, Indonesia yang Dinasti dan Indonesia yang KiaiKanjeng. Sebab Indonesia yang ada sampai hari ini, mainstream-nya: bukanlah Indonesia yang Indonesia.
Lamat-lamat ada yang melontarkan pertanyaan: “Kalau begitu, kenapa menjadi Arab Indonesia, dengan memeluk Agama Islam?”