CakNun.com

Cumlèrèt Tiba Nyemplung

Corona, 73
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 5 menit

Semua manusia di dunia saat-saat ini sangat bersatu, sangat kompak menderita mengurusi ikhtiar yang sama: bagaimana bisa secepatnya lolos dari derita Corona.

Seluruh penduduk dunia memfokuskan hatinya, pikiran dan tindakan perilakunya untuk menjawab pertanyaan yang sama: Covid-19.

Ibarat shalat berjamaah, ketika Iqamah atau tanda shalat segera didirikan, Imamnya belum datang. Pak Imam belum merasa bahwa “as-shalatu ‘ala waqtiha”, momentum untuk shalat sudah tiba. Sebaiknya segera berbaris dan memulai “takbiratul ihram”. Tetapi Pak Imam santai. Tatkala kemudian seharusnya shalat sudah memasuki raka’at kedua, baru Pak Imam nongol.

Maka kemudian shalat dilaksanakan dengan agak gugup-gugup. Sajadah untuk Pak Imam di tempat Imaman agak kurang mengakurasi ke 24,5 derajat condong dari barat ke utara. Banyak makmum di shaf-shaf depan juga sama santainya dengan Pak Imam. Sebagian yang lain sarungnya melorot. Bahkan ada yang kelupaan mengambil air wudlu.

Sekarang Jamaah sedang menjalani raka’at kedua, dan tak seorang pun tahu kapan tahiyat akhir di raka’at keempat akan terjadi. Jamaah Corona itu semua pelakunya, termasuk Imamnya, tidak punya pengetahuan tentang berapa lama shalat berjamaah mereka akan berlangsung.

Dan yang paling dahsyat dari Jamaah itu, juga jamaah-jamaah penderitaan di seluruh dunia, adalah bahwa tak seorang pun yang bertanya kepada Allah kapan kira-kira raka’at keempat nanti tiba pada “Assalamu’alaikum” menoleh ke kanan dan kiri. Semoga tidak ada perkara yang didesakkan di tengah shalat, misalnya nanti sehabis salam akhir jamaah boleh atau tidak bersalaman dengan saudara-saudara kiri kanannya.

Cara bersaudara, bentuk implementasi persaudaraan, budaya dan tata cara memelihara ukhuwah, tidak merupakan wilayah kreatif yang setiap orang bisa mengarang-ngarang sendiri. Semua secara detail harus meniru persis apa yang dulu dilakukan dan yang tidak dilakukan oleh Kanjeng Nabi Muhammad. Kalau Rasulullah Saw tidak pernah bersalaman dengan jamaahnya sehabis shalat, ya para pengikut beliau tidak perlu mengarang-ngarang dan sok suci, sok akrab, sok arif dengan menginisiatifi budaya salaman sehabis salam terkahir shalatnya.

Alhamdulillah tema “kreativitas mu’amalah” seperti itu tidak muncul selama Corona mendera. Sekarang bahkan setiap orang hendaknya menghindari bersalaman dengan siapa saja, dan ini landasan empuk kenyal bagi Pak Ustadz untuk berfatwa “makanya jangan ngarang-ngarang salaman bakda shalat, sekarang Allah membuat kalian tidak berani salaman satu sama lain”.

Di raka’at kedua ini, jumlah penduduk Negeri kita yang terpapar Corona sebanyak 7.135, dari 260-an juta orang. Dibandingkan tetangga kita Kabupaten Singapura yang penduduknya hanya 6 juta lebih sedikit, kasus Coronanya mencapai 9.125. Aneh bin ajaib. Bayangkan prosentase keterpaparan Covid-19 di Singapura sekitar 0,15% sedangkan Indonesia hanya 0,00269%. Rakyat Indonesia pasti sakti mandraguna, sejak lama sudah punya herd immunity atau communal immunity. Mungkin ada yang pakai Aji Lembu Sekilan. Atau Covid-19 ngerti ketika akan menyantuh darah daging jenis manusia Nusantara yang aneh. Ataukah Pemerintah belum tahu persis berapa sebenarnya jumlah kasus Corona yang menimpa rakyatnya? Karena belum tuntas melakukan sesuatu yang seharusnya sudah dilakukan untuk mengetahui korban Corona rakyatnya sepersis mungkin?

Kalimat-kalimat di atas, tolong diamati: adalah pertanyaan. Bukan kritik. Bukan kecaman. Apalagi hoax. Hoax haruslah pernyataan, bukan pertanyaan.

Di Yogya sudah ditabuh berdengung-dengung Gong Tolak Bala. Para pelaku kebatinan sudah melakukan berbagai upacara untuk maksud serupa. Para ulama, kiai dan santri sudah shalat malam, wiridan dan apa pun saja yang menurut kepercayaan rohaniyah mereka bisa membuat pageblug tidak menimpa mereka. Jamaah Maiyah sudah minta “sangu” dan “disangoni” jauh sebelum Corona datang. Bahkan sebelum Corona berakhir raka’atnya, mungkin sudah terbit dua buku saya yang meresponnya.

Kemarin saya titip “Turi-Turi Putih”, tembang tradisional popular di kalangan bangsa Jawa tradisional. Turi Putih secara klasik ditafsirkan dengan mengasosiasikan “pocongan”. Turi Putih adalah kain kafan. “Cumlorot tiba nyemplung” diinterpretasikan sebagai momentum ketika jenazah atau mayat manusia masuk kuburan. Kemudian ada pertanyaan peradaban: “Mbok Ira, Mbok Ira, kembange opo?”. Ada yang menganggap Mbok Ira adalah panggilan untuk orang yang sudah meninggal. Yang lain mamparalelkan “mbok Ira” dengan “wama adraka ma” di Al-Qur`an. Apa gerangan, wahai apa gerangan? Kamu asumsikan apa itu? Kamu kira akan bagaimana?

Ada pandangan lain yang mengawali persepsinya dengan “Ditandur ning Kebon Agung”. Kebon atau kebun di Al-Qur`an disebut “Jannah” atau lazim diartikan sebagai Sorga. Kebon Agung, di mana turi itu ditanam, adalah Al-Jannah An-Na’im. Begitulah dulu asal-muasal manusia. Mbah Adam ‘alaihissalam diciptakan dan diberi tempat tinggal indah yang namanya Sorga. Tapi karena suatu kesalahan aqidah dan akhlaq, karena kurang serius memperhatikan larangan Tuhan sehingga menjadi tidak patuh, maka “cumlèrèt tiba nyemplung” di Bumi. Jarak waktu dihijrahkannya Mbah Adam dari Sorga ke Bumi digambarkan dengan “cumlèrèt”. Mungkin kalau di Al-Qur`an bahasanya “kalamhin bil-bashar”. Sekejapan mata. Cumlèrèt.

Kelak semua anak turun Adam akan kembali ke tempat semula itu. Sebab Bumi di dunia ini hanya tempat hijrah atau melancong sementara, sedangkan kampung halaman kita adalah sorga, ya Kebon Agung itu. Kan rumusnya “Inna lillahi wa inna ilaiHi roji’un”.

Maka tahap yang ditawarkan dan harus ditempuh oleh manusia setelah terpuruk di Bumi adalah harapan dan perjuangan: “Mbok Ira kembange apa”. Kembang adalah harapan menuju buah. Hasil perjuangan proses menanam. Jadi harapan untuk membuahkan apa yang kalian perjuangkan selama dapat jatah hidup di Bumi? Itulah yang didalami dan diperluas oleh Sinau Bareng di Maiyahan. Yang primer itu “kembang” yang mana? Sukses di dunia (menjadi pejabat, berkuasa, terkenal, pakar, kompeten, kaya) ataukah “tidak dimurkai oleh Allah di Akhirat?” Bahkan Jamaah Maiyah takut bernafsu kepada Sorga, karena ada penghuni Sorga yang Allah tidak menyapanya. Maka fokus Sinau Bareng adalah pembelajaran menuju penerimaan Allah, bukan primarily masuk Sorga. Maka Jamaah Maiyah berjuang untuk selalu “sumeleh” hidupnya, “ikhlas dan tawakkal”. “In lam takun alayya Ghodlobun fala ubali” wiridan mereka.

Tetapi ada yang menawar: “Kalau boleh ya Allah, ya kalau bisa saya jangan ditakdirkan meninggal karena masuk rombongan korban Corona”. Itu adalah muatan hati polos setiap orang. Itu adalah aspirasi wajar ketidakberdayaan manusia di hadapan ketentuan Allah. Saya tidak akan bersikap seolah saya ahli Syariat dan Fiqih sehingga saya memakruhkan, mengharamkan atau memfasiqkan aspirasi itu. Atau andaikan ada kemungkinan kita bareng-bareng sowan kepada Kanjeng Nabi Muhammad Saw, ya kita tanya bersama-sama kepada Beliau. Tapi mau bagaimana, kita ini ngelihat virus Corona saja nggak becus, agak kurang masuk akal kalau kita berhak atau pantas berjumpa bertatapan wajah dengan Kanjeng Nabi.

Kalau punya bekal rohani untuk memilih, yang kita pilih bukan tafsir bahwa Turi Putih adalah kain kafan kematian kita, melainkan Kembang Turi mengandung zat-zat yang membuat pemakannya tidak “tedas” digerus oleh virus Corona. “Ya zamzamallah, ya zamzamallah”, kita memakan kembang itu, kita meminum air seduhannya, Engkau ya Allah berkenan menjadikannya syifa’ bagi sakit kami, atau penolak datangnya penyakit. Sebagaimana para Ulama mengatakan air zam zam membuat peminumnya diampuni dosanya, disembuhkan penyakit, dan dikabulkan keinginan baiknya.

Di masa kanak-kanak selama menggembalakan kambing, saya dan para penggembala lain menghindarkan kambing-kambing kami dari memakan Kembang Turi. Sebab bisa menyebabkan kambing-kambing itu mandul. Mudah-mudahan zarrah Corona juga mandul untuk mengembangkan diri di badan kita, mandul untuk bermutasi dan berkembang biak.

Kalaupun Turi Putih pocongan atau kain kafan yang membungkus tubuh kami ini “cemlorot”, ya lahannya bukan kuburan, melainkan Jannatun-Na’im. Kebon Agung. Tetapi harus tetap dilewati, ditempuh dan diperjuangkan seluruh tahapan-tahapan hidup di dunia. Termasuk Pageblug sekarang ini, yang akan diteruskan oleh Paceklik. *****

Lainnya

Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan

Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan

Rakyat kecil kebagian remah kemakmuran berupa upah buruh murah, dan negara kebagian remah kemakmuran berupa pajak.

Nahdlatul Muhammadiyyin
NM
Exit mobile version