Cembung-Cekung-Cembung dan atau Cekung-Cembung-Cekung
Tulisan apapun selalu harus memilih satu di antara sejumlah bangunan di mana gagasan dipaparkan. Ada bangunan cembung-cekung-cembung. Ia berangkat dari masalah-masalah umum, diperas sampai ke inti permasalahannya, didalami, dianalisis, dan diarifi, kemudian dikembalikan kepada keperluan dan bangunan umum atau luas kembali.
Ada bangunan lain yang berangkat dari cekungan dari suatu titik tematik, kemudian baru diproyeksikan ke situasi-situasi umum, dikembarakan secara intelektual dan spiritual sebagaimana Islam membimbingnya, untuk akhirnya dikembalikan ke titik intinya lagi. Itulah bangunan cekung-cembung-cekung.
Ada juga bangunan yang tak menentu, misalnya cembung-cembung-cembung. Tulisan semacam ini ngglambyar dan tidak pernah memfokus atau ‘memijak bumi’ sehingga tidak memiliki kadar efektivitas yang tinggi dan tidak menjanjikan kesan pada pembacanya. Ada juga bangunan cekung-cekung-cekung. Penulisnya asyik dengan pendalamannya sendiri tentang sesuatu hal dan melupakan dialektika komunikasi serta kebutuhan pembacanya terhadap kaitan-kaitan antara substansi tulisan itu dengan situasi-situasi aktual dalam masyarakat. Tulisan semacam ini akan melelahkan, ‘egoistik’ dan segera ditinggalkan orang.