CakNun.com

Cak Nun sebagai Penulis Pengantar Buku

Rony K. Pratama
Waktu baca ± 8 menit

Mengapa seorang penulis buku meminta orang lain menulis kata pengantar bagi bukunya? Banyak jawaban bisa diberikan. Salah satunya karena privilese, sebuah kebanggaan tersendiri bagi penulis ketika karyanya diantarkan oleh orang yang dihormati — setidaknya di matanya, sang penulis itu, mempunyai daya pikat kuat bagi pembaca luas.

Cak Nun salah seorang yang mempunyai magnet itu. Di dunia surat kabar, semenjak era 80-an, ia dikenal publik sebagai kolumnis terproduktif. Mengulas isu aktual tanpa batasan pendekatan disiplin spesifik. Tulisannya renyah dan dinikmati segmen pembaca lintas usia. Walaupun pembaca terbanyak tetap kalangan anak muda yang haus gagasan segar, menggelitik, kritis, dan progresif.

Telah merebut perhatian sidang pembaca, Cak Nun berangsur pula mempunyai massa di kalangan penulis. Modal sosial ini terdiri atas aneka ragam latar belakang. Mubalig, peneliti, dan sastrawan. Mereka dipertautkan oleh kesamaan minat, yakni sama-sama bergelut di ranah produksi pengetahuan. Meskipun demikian, sudut pandang dan bidang penulisannya praktis berbeda sama sekali.

Namun, mengapa mereka menjatuhkan hati kepada Cak Nun sebagai penulis pengantar di bukunya?

Selain menelusuri alasan di balik itu, yang tak mungkin pula mewawancarai penulis bersangkutan, saya cenderung berminat mencari tahu isi dan langgam tulisan Cak Nun di bagian Kata Pengantar sebuah buku. Tulisan itu menjadi menarik saat kita juga tergelitik atas pertanyaan: pernahkah Cak Nun membaca buku?

Jelas pernah. Menulis kata pengantar tanpa membaca isi buku terlebih dahulu hampir tak mungkin dilakukan. Terlepas teknik membacanya memakai skimming, scanning, selecting, maupun skipping, proses mendaras untuk menghasilkan tulisan kata pengantar mesti dilakoni. Saya sendiri berpendapat Cak Nun memakai teknik pertama. Teknik skimming (baca-layap) yang sekadar mengambil intisari atau ide pokok isi bacaan.

Pendapat ini menambah pula contoh deretan genre tulisan yang pernah ditulis Cak Nun. Selain genre esai, cerpen, puisi, dan naskah drama, saya kira Cak Nun juga seorang penulis resensi yang kritis. Bukankah tulisan kata pengantar merupakan resensi perdana buku sebelum diterbitkan dan didistribusikan secara luas?

Tanpa berpretensi meresensi buku untuk dipublikasikan tersendiri, ketika sebuah tulisan pengantar memenuhi prasyarat ulasan (kekurangan dan kelebihan) isi buku, maka praktis tak ada batasan linier antara keduanya. Dalam konteks ini Cak Nun sesungguhnya telah mempraktikkan menulis kata pengantar sekaligus meresensi substansinya.

Berkat informasi dan pinjaman buku dari Mas Helmi, saya mengambil tiga contoh buku yang kata pengantar di dalamnya ditulis Cak Nun. Tiap buku bertemakan Catatan Reflektif, Kritik Sosial, dan Tasawuf. Pembagian ini saya susun berdasarkan keterwakilan isi tematisnya.

Islam dan Pemahaman (tentang) Islam

Nyaris nama Drs. H. Mahmud Suyuthi, penulis buku Ulama-Umara, ini asing terdengar di telinga kita sekarang. Cak Nun dalam kata pengantarnya berjudul Titik-Titik Refleksi Pemahaman Islam mengatakan Pak Suyuthi adalah “kepala kantor wilayah sebuah departemen pemerintah”—saya sendiri mendapatkan spesifikasi informasi latar belakang penulis tersebut sebagai Kepala Kantor Departemen Agama Wilayah Jawa Timur (Profil MI At-Taqwa, 2017). Buku Pak Suyuthi sendiri berjudul Memahami Manusia Seutuhnya Melalui Iman-Islam-Ihsan.

Menurut penilaian Cak Nun, selain konten yang diwedarkan penulis, buku ini menarik karena ditulis oleh seorang birokrat. Acap kali posisi itu memfungsikan diri sebagai aparat pemerintah yang hanya mengurusi tetek-bengek administrasi perkantoran. Tapi Pak Suyuti punya keistimewaan. Ia seorang penulis yang dalam bahasa Cak Nun “langka” di tengah hutan rimba pemerintahan lokal waktu itu.

Lha wong Ketua RW saja bisa punya kebiasaan untuk memiliki staf yang khusus bertugas menuliskan sambutan-sambutan. Ini Kakanwil kok kober-kobernya dan sedemikian rajin menulis artikel, esei, dan hikmah-hikmah keagamaan,” komentarnya.

Buku ini menyuguhkan bentangan jalan refleksi pemahaman Islam Pak Suyuthi. Tema refleksinya berangkat dari pengalaman sehari-hari. Pengalaman itu lalu ia tarik ke dalam nilai-nilai yang terkandung di dalam Islam. Pak Suyuthi, menurut Cak Nun, menulis catatan secara rutin yang “momentum ilhamnya berdasarkan peristiwa-peristiwa atau gejala-gejala yang aktual pada suatu waktu.”

Pendek kata, tulisan Pak Suyuthi, diikat oleh pengalaman kontekstual. Model gaya tulisan yang waktu itu jarang dipakai di tengah akademisi muslim yang menulis dari wacana luas untuk dijadikan sudut pandang terhadap pengalaman spesifik.

Ada satu frasa atau istilah yang saya catat dari Cak Nun. Ia menulis tabligh sosial. Kita sendiri jarang memakai atau mendengar istilah ini sekarang. Barangkali tidak pada akhir 80-an manakala buku ini terbit. Secara kata, tabligh berasal dari kata balagha, yuballighu, dan tablighan. Dalam bahasa Indonesia, tabligh dikategorikan sebagai kata kerja transitif yang bermakna menyampaikan.

Cak Nun menyebut tulisan Pak Suyuthi sebagai upaya yang lahir atas situasi tabligh sosial. Menyampaikan refleksi diri secara kontekstual memang dibutuhkan masyarakat yang waktu itu tak kritis membedakan antara “Islam” dan “pemahaman tentang Islam”.

Keadaan ini, bagi Cak Nun, kurang dipahami penulis. Pak Suyuthi kurang memperluas dan meramahkan konteks pengalaman refleksinya dengan kondisi sosial di sekitarnya. “Seandainya penulisnya sudah berhitung jauh dan memikirkan akurasi jangka panjang dan pengkomunikasian gagasan dan maksud-maksud tabligh, tentu akan lebih cemerlang,” catatnya.

Cak Nun juga mengkritisi bahasa penulis. Meskipun ia dikategorikan sebagai kekurangan teknis, tapi bukankah bahasa merupakan pemikat pertama sebelum masuk ke inti pembahasan? Sepadat apa pun ide yang disodorkan, bila bahasanya buruk, maka isi buku sukar tersampaikan secara paripurna.

ICMI dan Kelas Menengah

Kata Pengantar berjudul Perang Simbol dan Pelanduk Keadilan Sosial di buku ICMI dan Perjuangan menuju Kelas Menengah (1995) karya Robert W. Hefner ini menarik karena posisi Cak Nun pernah berada di dalam kelembagaan. Buku ini merupakan kritik sosial rekam jejak ICMI yang oleh Hefner disebut mewakili kelas menengah muslim yang sedang bangkit semenjak 90-an.

Masalah pembentukan ICMI pada tahun 1993 dianggap jamak pihak sebagai kebangkitan umat Islam di Indonesia, yang fenomena ini bagi akademisi Barat dinilai unik dalam sejarah budaya dan politik rezim Soeharto setelah 1966.

Mengapa unik? Sepanjang satu dekade pemerintahan yang mengklaim pihaknya sebagai “Orde Baru” dominasi militer begitu menguat. Anggapan akademisi luar mengenai pemerintah Indonesia yang cenderung “abangan” lebih kuat, sehingga wajar kalau halauan politiknya jauh dari nuansa Islam. Bahkan simbol-simbol keislaman waktu itu dilucuti agar ruang publik terbebaskan dari kesan islami.

Cak Nun sendiri mempunyai pandangan yang relatif sama tapi berangkat dari premis yang berbeda.

Sebagai mantan pengurus Ketua Bidang Dialog Kebudayaan ICMI, Cak Nun menarik benang sejarah ICMI dalam pusaran sejarah “perang simbolik” antara Islam dan Jawa semenjak era Kerajaan Mataram. Sekilas nampak janggal, apa kaitan antara ICMI yang lahir menjelang abad ke-21 dan Mataram Islam yang berdiri pada abad ke-16?

Membaca ini kita memerlukan sebuah konteks. Berlangsungnya pemerintahan rezim tangan dingin di bawah Soeharto ternyata mirip dengan persinggungan Islam dan awal mula Kerajaan Mataram. Waktu itu kompleksitas pergaulan antara Jawa dan Islam berlangsung sengkarut saat ditandai oleh peristiwa Ki Gede Pemanahan secara tak sengaja meminum cengkir kelapa muda, sehingga praktis “wahyu” keraton setelah Pajang “tergenggam oleh garis keturunannya”.

Pangeran Benowo, Putra Mahkota Kerajaan Pajang, pilu menyaksikan konflik kekuasaan dan ideologi di dalam keraton. Maka dirinya memutuskan menepikan diri ke sebuah dusun agar terjauhkan dari pusat (konflik) kekuasaan. Jebeng Sutawijaya, anak angkat Sultan Hadiwijaya, raja terakhir Pajang, dengan sendirinya mendapatkan kekuasaan penerus.

Ia kemudian membubuhkan gelar di namanya sebagai Panembahan Senopati.

Cak Nun menilai akar konflik antara Islam dan Jawa bermula dari sana. Pergaulan itu memang di satu pihak menghasilkan asimilasi dan sintesis yang sistemik, namun di pihak lain “halusinasi, subjektivisme, dan ketidakpahaman” masih terpelihara subur. “Baik pada level teologi dan filosofi, pada level kebudayaan, maupun pada level sosial ekonomi dan politik kekuasaan,” tulisnya.

Masalah apa yang melilit keduanya? Antara lain “proses islamisasi” tak beranjak dewasa tapi cenderung berpusar semata oleh kesibukan penyimbolan, pergulatan kekuasaan politik, dan kerakusan ekonomi.

Rezim “Orde Baru” semisalnya. Cak Nun berpendapat posisi Pancasila waktu itu sering dipakai sebagai alat penguasa. Ia didayagunakan untuk kepentingan manipulasi teologi dan spiritualitas, filosofi dan kebudayaan, serta politik sehari-hari. Orang mudah dicap “anti-Pancasila” ketika seorang buruh hanya menyampaikan penderitaannya karena kesewenang-wenangan perusahaan tempat ia bekerja.

Kuasa rezim ini menyebar dan menyusup ke semua lapisan. Termasuk MUI yang waktu itu diprakarsai dan dilantik sendiri oleh pemerintah, sehingga menurut Cak Nun ia secara politis merupakan “bawahan” rezim. ICMI juga berada di lingkaran tersebut.

“Apakah ICMI sedang mengobsesikan pembangkitan jangka panjang institusi semacam ‘Wali atas Negara’ semacam itu — seberapapun takaran kualitas mereka — dan menempuhnya lewar ‘pintu bekakang’? Apakah yang sedang kita saksikan hanyalah pergulatan “siapa ‘joki’ siapa ‘kuda’ antara ‘Pemerintah’ dengan kelompok Kiai modern itu?” kritik Cak Nun dalam Kata Pengantar Hefner.

Temuan penelitian yang dirangkum Hefner dalam bukunya mendapatkan apresiasi Cak Nun karena “kejernihan dan keadilan” paparan dari berbagai segi persepsi mengenai ICMI. Organisasi Islam yang berlatar belakang kaum kelas menengah ini masih mempunyai PR yang panjang dalam keberpihakkan dengan wong cilik.

“Islam dengan segala bias sejarahnya boleh tidak selesai diperkatakan dan diperdebatkan, tapi masalahnya tetap terbatas pada apakah ia memiliki domisili yang jelas di dalam proses memperjuangkan keadilan sosial, Islam tidak datang untuk mengagungkan namanya, melainkan Islam memperalat dirinya dan diperalat oleh para pemeluknya atau siapapun untuk mencapai keadilan sosial, sehingga — karena itu — ia bernama Islam.”

Eksistensi Manusia “Kosmo-Atomik”

Tahun 1993, Penerbit Risalah Gusti, menyiarkan buku yang cukup membuat sidang pembaca mengernyitkan dahi. Buku itu berjudul Tujuh Samudera Agung Lirik Ummil Qur’an karya Mohammad Luqman Hakiem. Buku ini merupakan kumpulan puisi “tasawuf” setebal 132 halaman yang memproblematisir eksistensi manusia di hadapan makro kosmos hingga guratan spiritualisme individu macam apa yang dialami individu sehari-hari.

Kata Pengantar Cak Nun bertajuk Menyibak Seribu Kematian (Kegelisahan Manusia ‘Kosmo-Atomik’) menilai buku pemuda panggilan Luqman ini bermuatan esoteris. Ia bersifat rahasia, setidaknya lewat pengalaman batiniah penyair, sehingga penuh keremangan, keambiguan, dan ketidakjelasan.

Keremangan itu makin gelap saat coba dijelaskan. “Padahal, puisi,” kata Cak Nun, “betapapun rendah hati dan polosnya, tetap memiliki ketergantungan terhadap simbol-simbol ungkap yang tak bisa mengelak untuk — toh — menjelaskan sesuatu yang dialami oleh penyairnya.”

Saya mendapatkan titik tengah perbincangan di antara sesama “penyair” di sini. Terlebih keduanya, selain rajin menulis puisi, kerap membawa sajak-sajak bertemakan serupa. Ada minat yang sama pula saat Cak Nun mencoba menjelaskan “aku-sang-subjek” di dalam puisi Luqman dengan uraian analogi yang kerap disampaikan Cak Nun dalam tiap tulisan-tulisannya.

Atomik dan kosmik itu bisa diumpamakan sebuah hubungan antara Tuhan sebagai “kosmos” dan manusia sebagai “atom” — demikian pula sebaliknya: manusia sebagai “kosmos” dan alam semesta sebagai “atom”.

Sejak-sajak Luqman dominan memakai perspektif itu pada tiap diksi yang dipilihnya. Mengapa demikian? Menurut Cak Nun, Luqman ingin mengetengahkan apa yang disebut insan kamil dan menariknya ke dalam pusaran ilmu pengetahuan fisik melalui pencapaian menuju manusia kosmo-atomik.

Gerak makhluk dalam kehidupan ini tak bisa bergerak ke mana pun dan dengan capa apa pun kecuali melalui mekanisme ilahi raji’un. Intisari dari konsep ini, menurut pembacaan Cak Nun, merupakan perwujudan “kembali kepada sumbernya” sehingga gejala ini dalam Islam merupakan niscaya, sesuatu yang mustahil terhindarkan.

Luqman lewat sajak-sajaknya memang mencoba menyelami manusia secara batiniah, namun langgam puisinya selalu mengarah kepada “kemesraan pertemuan kembali dengan Rabbi pengasuh mereka”. Kematian menjadi gerbang awal menuju transisi berikutnya. Sajak-sajak Luqman mengartikulasikan hal itu.

“Dengan demikian nilai hasil kerja Luqman bukanlah seberapa berkualitas puisi-puisinya menurut ‘kode etik poetika’ yang berlaku, melainkan apakah ia terbebas dari keharusan-keharusan hakiki manusia yang menempuh tauhid: yakni memperuntukkan semua ini tidak buat eksistensi kulturalnya, melainkan Inna Sholati wanusuki wamahyayaa wamamati lillahi rabbil’alamin,” kata Cak Nun.

Saya mencatat pokok menarik dari kata pengantar Cak Nun, khususnya kecenderungan penyair era 90-an yang “memantulkan” pula spiritualitas (perjalanan) diri. Menurut Cak Nun, estoterisme Luqman dan penyair seangkatannya tak sebangun dengan gerakan anti-materi. Gerakan ini berbeda dengan anti-materialisme.

Anti-materialisme merupakan penolakan terhadap gagasan dan sikap hidup yang menomorsatukan materi di atas segalanya. Sedangkan anti-materi adalah penolakan absolut atas materi, dan itu mustahil, ‘kufur’ dan irrasional.”

Selain memberikan pengantar dan beberapa kritik atas karya Luqman, tulisan Cak Nun ini menjadi menarik karena juga memproblematisir pembahasan secara aktual. Pembahasan materi dan anti-materi memang sedang dijadikan buah bibir di era 90-an, terutama sejak sastra sufistik menjadi bahan perbincangan hangat beberapa tahun sebelumnya.

Kecenderungan sastra sufistik ini dipelopori oleh Danarto melalui gerakan kembali ke akar dan kembali ke sumber — kembali ke sesuatu yang bersifat azali dan memosisikan Tuhan sebagai causa prima.

Lainnya

Fenomena Emha

Fenomena Emha

Ketika kondisi sosial  politik dan birokrasi menjadi begitu angkuh dalam menghadapi manusia, kita akan terkenang kepada puisi-puisi Emha, seperti juga kita mengingat karya-karya Rendra atau Taufiq Ismail.

Halim HD
Halim HD