CakNun.com

Buatlah Orang Lain Berterima Kasih Kepada Anda

Helmi Mustofa
Waktu baca ± 4 menit

Adik kita duduk di shaf paling depan tepat di depan panggung Mocopat Syafaat. Duduk bersatu bersama teman-temannya yang lain yang berasal dari berbagai tempat dan dari beragam latar belakang. Majelis ilmu Maiyah membangun dirinya sejak awal untuk sebisa mungkin tidak ada jarak antara panggung dengan jamaah. Sedekat-dekatnya. Sehingga beliau-beliau yang duduk di panggung dan jamaah di depannya semuanya dalam kedekatan hati yang memudahkan keperluan komunikasi, interaksi, dan tatap mata.

Dalam kesatuan yang demikian itu, senantiasa Mbah Nun ingin menyapa mereka dan bertanya secara lebih intim, lebih sungguh-sungguh, dan dari hati ke hati, apalagi mereka adalah cucu-cucunya. Setiap kali berlangsung Mocopat Syafaat, kita dapat menjumpai beragam ekspresi sapaan Mbah Nun yang semuanya berangkat dari kesatuan itu. Di Mocopat Syafaat 17 Januari 2020 lalu, sapaan Mbah Nun untuk mereka adalah sebuah pertanyaan sederhana tapi fundamental, “Kenapa kalian kok datang ke sini? Apa nggak bosan?”

Apakah mungkin pertanyaan Mbah Nun ini sudah ditunggu-tunggu ataukah tidak, atau itukah yang bernama chemistry, sehingga tidak perlu waktu lama bagi jamaah untuk merespons pertanyaan yang bersifat penggalian dari Mbah Nun itu. Tiga orang remaja telah bersiap, dan adik kita yang datang sebuah kota di Jawa Tengah, yang duduk di shaf paling depan itu, adalah salah satunya.

Saat di atas panggung, duduk bersimpuh dengan posisi arah jam sepuluh dari posisi duduk Mbah Nun, adik kita memulai mengemukakan responsnya. Wajahnya diusahakan menatap kepada Mbah Nun. Walau wajahnya terlihat serius campur sedikit berupaya menenangkan gejolak dalam dirinya, tampaknya dia telah memahami bahwa majelis ilmu Mocopat Syafaat atau majelis ilmu Maiyah mengedepankan penerimaan dan cinta kasih kepada siapapun. Maka, ia bisa dengan apa adanya dan nyaman bercerita di depan Mbah Nun dan para jamaah.

Ia mengatakan baru kali ini hadir di Mocopat Syafaat. Tujuan dia datang ke majelis ini adalah mencari cahaya sejati. “Karena saya bukan orang baik,” tuturnya dengan kesungguhan tapi juga kerendahan hati. Minum minuman keras dulu dia lakukan. Bahkan juga mengonsumi narkoba. Dia bilang, “Orang memakai narkoba kan tujuannya supaya nge-fly. Tapi pada saat saya nge-fly ndilalah malah eling Allah.” Sebagian jamaah tertawa mendengar pengakuan yang unik ini. Mbah Nun dan para narasumber lain juga tersenyum.

Maka ketika Mbah Nun menanggapi pun, dikatakan oleh beliau, “Anda ini luar biasa, udah narkoba, dan nge-fly masih dipergoki Allah. Masih dibikin ingat Allah.” Sudah pasti tidak bisa ditarik kesimpulan bahwa agar ingat Allah maka nge-fly-lah, dan bagi Mbah Nun hal ini menegaskan bagaimana hidayah Allah itu bekerja dalam cara yang seringkali tidak kita kuasai atau kita duga-duga. Mbah Nun menyebut ayat: innaka la tahdi man ahbabta wa lakinnallaha yahdi man yasyaa’. Ayat ini mengingatkan bahwa kita tak bisa memberi petunjuk bahkan kepada orang yang paling kita cintai, namun Allahlah yang memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.

Namun yang menarik adalah apa kira-kira jawaban atau panduan yang diberikan Mbah Nun kepada adik kita ini yang, dalam bahasa dia sendiri, tengah mencari cahaya sejati. Biasanya, terhadap permintaan akan saran atau nasihat mengenai berbagai soal yang dialami teman-teman, sesudah membantu mengurai atau menganalisis secara kognitif Mbah Nun memberikan pesan berupa wirid yang teman-teman perlu lakukan. Tetapi untuk adik kita ini, Mbah Nun memberikan jawaban yang berbeda.

Mbah Nun memulai dengan sedikit menerangkan salah satu kemungkinanan pemahaman mengenai cahaya sejati, yaitu cahaya sejati adalah pancaran yang terpuji, ialah nur Muhammad, dan yang memuji adalah Allah sendiri. “Maka untuk mencari dan mendapatkan cahaya sejati, buatlah orang lain berterima kasih kepada Anda,” kata Mbah Nun. Begitulah pesan Mbah Nun kepada adik kita ini. Pesan yang merupakan aplikasi dari upaya untuk mendapatkan cahaya sejati dan aplikasi itu bersifat sosial integratif. Lakukanlah kebaikan atau kontribusi kepada orang lain, sehingga orang lain akan berterima kasih, dan memujimu.

Adik kita menyimak dengan sebaik-baiknya sepanjang Mbah Nun menguraikan respons atas apa yang disampaikannya. Tidak ada paket wirid yang dipesankan kepadanya. Mungkin Mbah Nun sudah merasa adik kita ini sudah menjalankannya. Sementara, entah dengan metode diagnosis yang bagaimana dan sangat cepat itu, Mbah Nun segera melihat ke titik yang paling penting dan urgen bagi dia, yaitu kembali berintegrasi dengan orang-orang di sekitarnya, dengan lingkungan, atau dengan masyarakat.

Barangkali Mbah Nun menemukan salah satu efek, pada diri adik kita ini, yang ditimbulkan oleh minum minuman keras dan mengkonsumi narkoba adalah keterlepasan dia dari dunia sekitarnya, maka dengan segera Mbah Nun meletakkan integrasi kembali ke lingkungan sebagai jalan bagi pemulihan dia. Tentu saja Mbah Nun tidak mengatakan secara teoretik demikian kepada dia. Yang dilakukan Mbah Nun adalah meminjam bahasa adik kita ini, yaitu mencari cahaya sejati, dan memformulasikannya secara motivasional tetapi juga berbobot spiritual. Sehingga dikatakan, “Cahaya sejati adalah pendaran cahaya yang terpuji, cahaya nur Muhammad, dan yang memuji adalah Allah sendiri. Maka untuk mendapatkan cahaya sejati itu, buatlah orang lain berterima kasih kepada Anda.”

Satu momen dialog atau tanya-respons di Mocopat Syafaat 17 Januari 2020 ini untuk kesekian kalinya memberikan gambaran bagaimana Mbah Nun menjalankan salah satu fungsi agama yaitu fungsi psikoterapeutik. Peran yang konon di masa moderen ini makin dibutuhkan banyak orang. Dalam caranya yang khas, otentik, dan organik, Mbah Nun telah menyuguhkan contoh fungsi tersebut dengan baik. Dan banyak contoh yang lain dari beliau dalam hal ini.

Demikianlah malam itu, Mbah Nun melihat, di ujung setiap berbuat baik kepada orang lain yang dilakukan adik kita ini, kegiatan yang menyatukan kembali dia dengan orang-orang di sekitarnya atau yang ditemuinya, Mbah Nun melihat cahaya sejati yang dicarinya itu telah menantinya.

Yogyakarta, 22 Januari 2020

Lainnya

Warung Uncluk Barokah KiaiKanjeng

Waktu adalah sebuah bentangan yang teramat panjang, betapapun secara teknis ia dapat dibagi-bagi ke dalam detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, dan satuan atau putaran lainnya.

Helmi Mustofa
Helmi Mustofa
Exit mobile version